I. Pendahuluan
Manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, maka manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. “Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuhnya sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta”.
Ulat bulu. adalah kata yang saat ini (belum lama ini) menjadi momok yang menakutkan dan membuat trauma. Lihat saja masyarakat Probolinggo, Jawa Timur. Mereka bahkan tidak segan-segan meninggalkan rumah mereka untuk sementara waktu dikarenakan serangan wabah ulat bulu yang sangat dahsyat. Satu ulat bulu saja dapat membuat bulu kuduk kita berdiri, dan sangat menggelikan terlebih lagi jumlahnya ribuan bahkan jutaan yang saat ini terjadi. Inilah salah satu dari kekalahan manusia atas habitat atau ekosistem yang kehilangan keseimbangannya.
Yang menjadi persoalan di sini, titik tekankannya bukan pada persoalan seberapa besar atau jenis ulat apa yang menyerang. Akan tetapi mengapa ulat bulu ini begitu dahsyat mewabah di beberapa daerah negeri ini? Adakah kaitannya dengan sikap manusia yang cenderung eksploitatif yang sama sekali tidak mempertimbangkan kelangsungan ekosistem kehidupan ini? Lalu bagaimana kita memahami keseimbangan antara habit, habitus, dan habitat? Bukankah keseimbangan ketiga sangat menentukan kelangsungan kehidupan yang tentram dan damai di muka bumi ini? Dan, bagaimana peran kita sebagai hamba Allah, yang pasti dibimbing bila kita mengikuti aturan-aturan-Nya?
Tulisan ini merupakan refleksi terhadap persoalan yang dihadapi sebagian masyarakat di negeri ini, dengan pendekatan makna sebagai hamba Tuhan, Allah Swt.
II. Ta’alluq, Takhalluq, & Tahaqquq
Keseimbangan antara habit, habitus, dan habitat merupakan langkah yang ‘harus’ apabila kita menginginkan ketentraman dan keamanan dalam mengarungi kehidupan ini. Untuk mendapatkan keseimbangan tersebut, manusia sebagai habitus harus menjaga sikap atau perbuatan (habit) guna mendapatkan habitat yang terjaga dan tidak malah berbalik merepotkan atau mengalahkan habitusnya. Dengan menggunakan pendekatan psikologi ibadah (tasawuf) setidaknya kita bisa memaknai dan memahami kearifan sikap dan perbuatan sebagai hamba Allah dan sekaligus wakil-Nya (khalifatullah) untuk memakmurkan bumi yang terpampang luas.
A. Ta’alluq: Meningkatkan Kesadaran Hati & Pikiran kepada Allah.
• Makhluk Antroposentris yang Egois
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, tak seorang pun bisa mandiri dan lepas dari bantuan orang lain. Tidak ada orang yang sanggup menunaikan semua tugas dan kewajibannya tanpa uluran tangan pihak lain. Semua orang pasti tergantung satu sama lain. Anak tergantung pada orang tuanya, karyawan tergantung pada pengusaha, atasan tergantung pada bawahan, dan seterusnya. Fenomena ketergantungan ini terjadi sejak manusia tercipta di dalam rahim hingga resmi menghuni liang lahat.
Secara natural, manusia memang memiliki kecenderungan egois dan antroposentris: memandang segala sesuatu berdasarkan perspektif kemanusiannya. Bukti betapa besarnya egoism manusia adalah ketika terjadi bencana alam. Katakan saja tsunami. Apabila ombak besar itu menggulung manusia, segera saja disebut bencana. Tapi kalau ada di tengah laut dan tidak memberikan ekses negative apa pun, hal itu tidak disebut bencana. Contoh lain keegoisan manusia adalah wabah ulat bulu. Ketika ulat bulu mewabah dalam komunitas manusia, disebut saja sebagai bencana. Akan tetapi manusia tidak menyadari bahwa selama ini manusialah yang menghilangkan salah satu mata rantai dalam ekosistem ini. Manusia memburu dan menangkap burung-burung pemakan ulat, yang sebenarnya bisa menanggulangi berkembangnya ulat bulu yang berlebihan. Itulah manusia yang berkecenderungan egois dalam kehidupan ini. Padahal sebenarnya mereka tidak akan mampu hidup dengan tentram tanpa bantuan dari pihak lain, termasuk pada apa yang ada di alam semesta ini.
Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan manusia untuk bisa ber-ta’alluq adalah dengan menyadari hakikat dirinya sendiri. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (orang yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya). Pengenalan ini dapat menumbuhkan kesadaran hati dan akal untuk selalu mengingat Tuhan di mana dan kapan pun. Itulah arti ta’alluq-berusaha mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah Swt.
• Lā Ilāha illā Allāh (Tiada Tuhan Selain Allah)
Substansi penting yang terkandung dalam kalimat ini ada dua: al-nafyu (penafian) dan al-itsbāt (penegasan). Lantas apa yang dinafikan dan apa yang ditegaskan? Dan apa pula kaitannya dengan ta’alluq?
Secara harfiah, ketika mengucapkan kalimat lā ilāha (tiada Tuhan) yang kita nafikan adalah tuhan-tuhan nisbi, dan saat menyempurnakannya dengan illā Allah (selain Allah), kita mengukuhkan keberadaan Tuhan yang sejati. Penafian tuhan nisbi dan pengukuhan Tuhan sejati inilah yang harus benar-benar kita resapi dan kita internalisasikan dalam diri.
Ketika mengucapkan lā ilāha yang kita nafikan bukan tuhan palsu saja, melainkan juga mencakup semua kekuatan, seluruh kehebatan, dan segala keperkasaan yang kita miliki dan yang dimiliki oleh makhluk yang lain, untuk kemudian menyandarkan kembali kepada Zat Mahakuat yang meminjamkan kekuatan tersebut. Dialah Zat Yang Mahahebat, Mahaperkasa, lagi Mahakuasa mewujudkan segala sesuatu.
Ketika mengucapkan lā ilāha, kita harus menyingkirkan semua oknum yang kita takuti, baik atasan, direktur, dan lainnya. Tak ada satu pun makhluk yang layak ditakuti. Karena memang tak ada yang bisa memberikan manfaat dan mudarat bagi kita selain Dia. Dialah tempat bergantung sejati yang tidak bergantung kepada apa pun. Dialah Zat yang wajib ditakuti yang tidak takut kepada siapa pun.
Namun, jangan sampai ketergantungan kita kepada Tuhan membuat kita menafikan keberadaan manusia di sekeliling kita. Ini jelas sikap keliru. Benar bahwa manusia tidak bisa memberikan manfaat dan madarat kepada kita tanpa seizin-Nya, akan tetapi, mereka adalah perantara yang membuat kita bahagia atau menderita.
Jadi, muatan nafi-itsbat yang terkandung dalam kalimat lā ilāha illā Allah harus kita sikapi secara seimbang. Insafilah bahwa semua kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenalan dengan Allah Yang Mahakuasa. Dialah Aktor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang Dia gunakan untuk mewujudkan kehendak-Nya tersebut.
• Aku Beriman maka Aku Ada
Kita harus ingat bahwa nafi-istbat mengandung dua domain. Pertama domain negatif yang terdapat dalam nafi, kedua domain positif yang terdapat dalam istbat. Kedua domain ini harus selalu disejajarkan, disandingkan, dan disikapi secara seimbang. Jangan menitikberatkan domain nafi dengan memfokuskan diri pada kata la ilaha, karena sikap itu potensial membuat kita menjadi makhluk sekuler yang mengecikan peranan Tuhan dalam kehidupan. Tapi, juga jangan menitikberatkan pada domain positif dengan memfokuskan diri pada kata illa Allah karena sikap itu bisa memancing kita untuk bersikap apatis dalam pergaulan sosial.
B. Takhalluq: Meneladani Akhlak Allah
• Asmaul Husna sebagai Pedoman
Asmaul Husna adalah nama-nama indah Tuhan yang bukan hanya memiliki makna, tapi juga memiliki kekuatan untuk merekonstruksi kehidupan manusia. Ia bukan nama lain dari Tuhan yang hanya cukup untuk diketahui dan dihafalkan. Sebab, dengan memosisikan Asmaul Husna seperti ini, berarti secara tidak langsung kita menyamakannya dengan nama-nama makhluk yang lain. Misalnya pohon, banyak nama-nama pohon, bahkan sampai lebih dari 99 nama pohon.
Oleh karenanya, pemaknaan hafizha (dalam hadis: Lillahi tis’atun wa tis’una isman, man hafizhaha dakhalal jannah. Wa inna Allaha witrun yuhibbul witra. H.R Bukhari-Muslim) bukan lagi diterjemahkan ‘menghafal’ akan tetapi ‘memelihara’. Dengan merekonstruksi paradigm pemaknaan kata hafizha dalam hadis di atas, sedikitnya kita akan mendapatkan dua manfaat: [1] kita akan menginsafi betapa banyaknya dimensi Ilahi yang bisa ditumbuhkembangkan dalam diri manusia; [2] kita akan menyadari bahwa jalan untuk mencapai surga adalah dengan ber-takhalluq; menerjemahkan sifat-sifat Tuhan yang Maha dan tak terbatas ke dalam perilaku manusia yang sangat terbatas
• Meniru Tuhan secara Utuh
Sebagai makhluk yang terbatas dan sarat kekurangan, terlalu utopis - bahkan bombastis – memang jika manusia harus meniru semua sifat Tuhan Yang Mahasempurna secara utuh dan menyeluruh. Dalam Asmaul Husna ada nama-nama tertentu yang khusus dimiliki Tuhan dan tidak bisa ditiru oleh manusia. Nama-nama yang bermakna metafisik inilah yang membedakan antara sang Khalik dengan makhluk-Nya secara tegas dan jelas. Misalnya, al-Zhahir (Mahajelas), al-Bathin (Maha Tersembunyi), al-Awwal (Mahaawal), al-Akhir (Mahaakhir), dan sebagainya.
Jadi, yang dimaksud dengan meniru Tuhan secara utuh dan menyeluruh di sini adalah meniru sifat-sifat yang konkret dan aplikatif secara seimbang, tidak berat sebelah apalagi parsial (hanya sebagian). Dengan kata lain meniru Tuhan secara kulli, bukan juz’i. Hanya peniruan semacam inilah yang akan menghasilkan pribadi luhur nan agung. Sebagai contoh, Tuhan memiliki nama al-‘Alim (Mahatahu), sifat ini harus dibarengi dengan al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk). Dengan begitu, potensi kecerdasan dalam diri menjadi bermanfaat bagi orang lain. Tuhan memiliki nama atau sifat ¬al-Waliy (Maha Melindungi), sifat ini harus dibarengi dengan al-Raqib (Maha Mengawasi), sehingga perlindungan yang diberikan tepat sasaran. Tuhan punya nama al-Qahir dan al-Qahhar (Maha Berkuasa lagi Maha Perkasa), sifat ini harus disertai dengan al-Wadud (Maha Pengasih). Begitu seterusnya.
Intinya, kita harus mampu menyandingkan dua sifat Tuhan yang sepintas terkesan paradoks (berlawanan) itu agar melahirkan keseimbangan. Sebab, tanpa keseimbangan, setidaknya akan timbul tiga dampak negatif, yakni; [1] minimnya efektifitas takhalluq, [2] terjebak dalam penghambaan terhadap hawa nafsu. Dalam Asmaul Husna ada beberapa nama yang biasanya ditiru manusia secara sepihak dan tidak tepat waktu. Al-Jabbar (Maha Perkasa), al-Qahhar (Maha Memaksa), al-Qawiy (Maha Kuat), al-Matin (Maha Kokoh), dan sebagainya. Nama-nama inilah yang biasanya diteladani manusia pada situasi dan kondisi yang salah, sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan. Hal ini terjadi karena dalam dir manusia ada hawa nafsu (keinginan diri) yang tergerak untuk mereguk kepuasan sepintas, dan mengabaikan kenikmatan yang abadi. [3] memanfaatkan takhalluq untuk melegitimasi kesalahan. Dampak negatif ini hanya berlaku bagi orang-orang cerdas untuk membenarkan kesalahan yang dilakukannya. Misalnya, Anda adalah orang sosok pendendam yang selalu berambisi membalas setiap perlakuan yang Anda pandang menyakiti fisik atau hati. Untuk membenarkan tindakan balas dendam itu, Anda kemudian beralasan bahwa Tuhan memiliki sifat al-Muntaqim (Maha Membalas Dendam). Atau Anda membenci seseorang, kemudian melakukan segala cara untuk menghina dan menjatuhkan harga diri orang itu. Untuk membenarkan tindakan bodoh tersebut, Anda lantas membawa-bawa nama Tuhan al-Mudzill (Maha Menghinakan). Dan sebagainya.
Perbedaan situasi dan kondisi meniscayakan peniruan sifat Tuhan yang berbeda pula. Di sinilah letak vitalitas kecerdasan dalam ber-takhalluq sangat diperlukan. Pepatah Arab mengatakan; “Likulli maqamin maqalun, likulli maqalin maqamun” (Setiap tempat memiliki perkataan yang cocok, dan setiap perkataan memiliki tempat yang cocok pula). Takhalluq yang benar akan menghasilkan pribadi yang lentur dalam menghadapi kehidupan. Tahu harus bersikap seperti apa dalam segala situasi dan kondisi.
• Muhammad: Dimensi Tuhan yang Menyejarah
Muhammad menjadi cermin paling baik untuk bertakhalluq karena secara factual manusia tidak mungkin meniru Tuhan secara langsung. Asmaul Husna memang bisa dijadikan pedoman, tapi hanya sebatas pada tataran teoritis, sedangkan pada tataran praktis, kita memerlukan tindakan nyata yang bisa ditiru. Dialah Muhammad Saw. Terlalu utopis kedengarannya, apabila ada orang yang mengatakan bisa meniru Allah secara langsung tanpa perantara Muhammad.
Tuhan menyadari bahwa diri-Nya Maha Absolut dan tak terhingga, sementara manusia adalah makhluk yang berproses dan terbatas. Dia kemudian mengutus Muhammad untuk memperkenalkan sifat-sifat luhur-Nya. Nah, dalam konteks inilah, Muhammad bisa dikatakan sebagai dimensi Tuhan yang menyejarah.
C. Tahaqquq: Menjadi Mitra Allah di Bumi
Manusia bisa dikatakan sebagai ‘tukang sulap’. Artinya, manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan keajaiban luar biasa dalam segala hal. Ambil contoh Albert Einstein. Kecerdasan intelektualnya bukan hanya mengubah cara pandang manusia terhadap fisika mekanis yang digagas Sir Issac Newton. Lebih dari itu, ia juga sukses mengubah peradaban manusia secara radikal. Teori E=mc2 yang ditemukannya berdampak luas dan masih terasa hingga kini. Baik yang digunakan sebagai sarana untuk mempermudah manusia dalam mengeksplorasi sumber daya alam maupun yang digunakan untuk kepentingan perang. Kemudian ada Stephen William Hawking, fisikawan modern yang disebut-sebut orang nomor dua setelah Einstein. Teorinya tentang Black Hole berhasil membongkar misteri besar proses kejadian alam raya.
Ironisnya, walaupun kedua ilmuan itu sukses menemukan teori-teori yang sangat fenomenal, ternyata menurut para pakar psikologi, mereka masih belum maksimal menggunakan potensi kecerdasannya. Malah menurut mereka, Einstein dan Hawking hanya memanfaatkan 10 persen dari total potensi mereka. Coba renungkan! Kalau yang sehebat mereka saja ternyata baru bisa memanfaatkan 10 persen dari seluruh potensi yang mereka miliki, lantas bagaimana dengan kita? Kalau orang yang bisa memanfaatkan 10 persen potensi intelektualitasnya saja bisa secerdas itu, lantas bagaimana dengan yang bisa memanfaatkannya hingga batas yang paling maksimal. 100 persen?
Mengapa manusia bisa sehebat itu dan secerdas itu? Paling tidak, ada dua kerangka yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, secara biologis, manusia adalah makhluk yang memiliki anatomi paling rumit dan kompleks. Saraf otak manusia mampu menyimpan berjuta-juta informasi, lalu mengolahnya dengan kreatif sehingga lahir karya-karya baru. Otak manusia mampu memilah jutaan data yang masuk ke dalamnya untuk kemudian digabung-gabungkan menjadi satu sintesis baru. Proses ini terus berlangsung dan sambung-menyambung dari satu generasi ke generasi lain. Dengan begitu, ke depan, manusia masih akan melahirkan karya-karya baru yang spektakuler.
Kedua adalah kerangka teologis. Artinya dalam diri manusia terkandung dimensi Ilahi. Dalam surat a-Baqarah ayat 30, manusia adalah khalifah-Nya di muka bumi. Secara etimologis, arti khalifah adalah pengganti atau wakil. Dengan kata lain, manusia adalah wakil Tuhan di bumi ini. Maka, manusia menjadi satu-satunya makhluk yang memiliki kemiripan sifat dengan Tuhan. Allah mencipta, manusia juga mencipta. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha; Maha Pencipta. Allah tahu, manusia juga tahu. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha; Mahatahu. Demikian seterusnya. Intinya, semua sifat yang dimiliki Tuhan juga dimiliki manusia, walaupun tentu saja dengan perbedaan kualitas dan kuantitasnya. Pengetahuan Allah jauh lebih luas dibandingkan dengan pengetahuan manusia, dan hasil ciptaan Allah jauh lebih hebat dari ciptaan makhluk-Nya.
Di sinilah makna tahaqquq, yakni menjadi wakil Tuhan yang menciptakan peradaban di muka bumi ini. Menciptakan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi sekalian manusia baik untuk masa sekarang berlanjut sampai yang akan datang. Manusia bukanlah manusia suci yang turun dari langit, yang pekerjaannya adalah berdzikir saja. Akan tetapi, manusia adalah insan peradaban yang dalam pengembaraan hidupnya di muka bumi ini berusaha untuk menciptakan sesuatu yang bermakna (peradaban).
III. Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut:
1. Dalam ber-ta’alluq kepada Tuhan, kita harus menyerap energi yang dipancarkan kalimat tauhid secara proporsional, agar iman kita bisa membuat kita aktif dan dinamis. Sosok yang memiliki kedudukan mulia di sisi Tuhan dan juga terhormat di tengah-tengah manusia. Sosok yang mampu mewujudkan tujuan penciptaannya sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan bumi dan beribadah kepada-Nya. “Singa siang hari, rahib malam hari. Ketika siang berperang segarang singa, ketika malam telah hening, ia bersimpuh bercucuran air mata dihadapan Allah Swt.
2. Takhalluq adalah suatu usaha untuk meneladani sifat-sifat Tuhan. Dengan kata lain usaha untuk meniru akhlak Tuhan, yakni meniru secara utuh dan menyeluruh. Yang dimaksud meniru Tuhan secara utuh dan menyeluruh di sini adalah meniru sifat-sifat yang konkret dan aplikatif secara seimbang, tidak berat sebelah apalagi parsial (hanya sebagian). Meniru Tuhan secara kulli, bukan juz’i.
3. Manusia adalah mitra Tuhan di muka bumi ini. Sebagaimana mitra (khalifatullah fil ardh) tugas manusia adalah menciptakan peradaban yang bermanfaat bagi kehidupan, bukan justru membuat kerusakan yang dapat menyebabkan kesulitan manusia itu sendiri. Manusia bukanlah ‘insan malaikat’ yang tugasnya hanya berdzikir, akan tetapi manusia adalah ‘insan peradaban’ yang disamping beribadah (dalam arti vertikal, maghdhoh) kepada Allah, juga setiap saat menghasilkan karya-karya yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia, sekarang dan yang akan datang.
Semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini sarat dengan kebermanfaatan bagi kita semua. Amin. Wallahu a’lam bishshowab. Kepatihan, 30 April 201
Moch. Iskarim's Weblog
"DIBALIK AKTIVITAS KESALEHAN PRIBADI DI SITULAH DIAJARKAN KESALEHAN SOSIAL"
Senin, 09 Mei 2011
Minggu, 20 Maret 2011
THE POWER OF SHALAT : Membentuk Kesalehan Pribadi & Sosial
I. Pendahuluan
Tulisan ini dilatarbelakangi kegelisahan penulis melihat realitas kehidupan sebagian muslim (khususnya di negeri ini) yang notabene jauh dari sikap sebagai ‘abdi Tuhan, Allah Swt. Banyak kita jumpai muslim (orang yang berislam) tetapi jarang kita temukan islam dalam pribadi muslim itu. Banyak orang mengaku beragama Islam, namun jauh dari etika dan moralitas bangsa yang beragama Islam. Mereka banyak melakukan rutinitas ibadah setiap hari namun fungsinya belum berimbas pada kehidupan masyarakat secara luas. Dalam redaksi lain, ibadah yang dijalankan muslim masih pada ranah pembentukan kesalehan pribadi belum mampu menyentuh ke ranah pembentukan kesalehan sosial. Contohnya ibadah shalat kita.
Ibadah shalat memiliki aspek fungsional dalam kehidupan ini. ‘Penegakkan’ shalat –karena bukan hanya sekedar melakukan- di samping membentuk pribadi bertakwa juga harus mampu membentuk pribadi muslim yang bermanfaat bagi kehidupan. Hal ini selaras dengan Firman Allah:
Dan dirikanlah shalat. Sesunggungnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
(Q.S Al Ankabut [29]:45)
Saya kok heran, dari jumlah penduduk Indonesia yang luar biasa banyaknya (230 juta lebih) dan mayoritas memeluk agama Islam -bahkan termasuk negara beragama Islam terbesar di dunia- akan tetapi praktik kemaksiatan dan dekadensi moral justru memperlihatkan ‘prestasi’ (ironis-pen) yang luar biasa dalam kehidupan ini. Korupsi, mafia hukum, mafia pajak, markus, pergaulan bebas, kekerasan atas nama agama, pelecehan seksual, kumpul kebo, narkoba, konflik SARA, pembunuhan, perzinahan, pelacuran, dan lain-lain adalah fenomena yang sering terjadi bak ‘sajian makanan’ yang disuguhkan setiap harinya. Sekali lagi saya mempertanyakan, dimanakah fungsi Islam mereka? Dimanakah imbas ibadah shalat mereka? Bukankah shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar?
Semoga tulisan ini dapat menemukan titik terang dari beberapa persoalan yang disampaikan di atas. Amin
II. Shalat for Character Building
Shalat adalah tiang agama. Hal ini memberi pengertian bahwa shalat merupakan ibadah yang sangat urgent (penting dan utama). Kalau diilustrasikan agama seperti bangunan rumah, maka keberadaan tiang sangatlah diperlukan demi tegak dan kokohnya bangunan tersebut. Sungguh pentingnya kehadiran shalat dalam kehidupan beragama Islam ini, maka shalat seharusnya juga dapat menjadi ‘wahana’ dalam pembentukan karakter bangsa –khususnya muslim-, sehingga keteraturan, keserasian, dan kedamaian akan tercipta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Beberapa prinsip yang dapat kita petik dari ibadah shalat adalah sebagai berikut.
A. Sungguh, Engkau Maha Besar ya Robb (Allahu Akbar)
Salah satu rukun shalat adalah takbirah al-ihram (baca: takbirotul ikhrom), yaitu ucapan Allâhu Akbar, karena apabila Rasulallah Saw hendak mengerjakan shalat dan telah menghadap kiblat, maka beliau biasa memulainya dengan ucapan “Allahu Akbar” (HR. Muslim dan Ibn Majah). Inilah yang disebut dengan takbirah al-ihram. Shalat seseorang tidak akan sah tanpa diawali dengan mengucapkannya. Nabi Saw bersabda, “Apabila kamu telah berdiri untuk mengerjakan shalat, maka bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila diperhatikan, yang paling banyak diucapkan dalam shalat adalah Takbir (Allâhu Akbar, Allah Maha Besar). Di setiap pergantian posisi senantiasa diucapkan takbir -hanya pergantian antara ruku’ ke berdiri saja yang berbeda-. Hal ini menunjukkan bahwa shalat diharapkan akan membentuk kepribadian “Allâhu Akbar”, artinya yang perlu “diakbarkan, diagungkan, dibesar-besarkan” hanyalah Allah Swt, sedangkan yang lain adalah kecil.
Dengan begitu diharapakan semua persoalan dalam kehidupan ini hendaknya dikembalikan kepada Allah Swt, sehingga tidak akan menimbulkan perasaan sombong, ujub, takabur, arogan, congkak, “adigang adigung adiguna”, merasa paling pintar, paling benar, paling shaleh, dan perasaan negatif lainnya. Karena Allah tidak menyukai orang yang sombong. Hal ini ditegaskan dalam sebuah Hadits Nabi : “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya masih terdapat perasaan sombong, meskipun hanya satu zarah (atom)”. Dengan kata lain manusia yang mempunyai multi peran ini, misalnya Individual role, social role, political role, family role dan sebagainya, akan senantiasa diawali dengan Allâhu Akbar (Allah Maha Besar). Sehingga jiwa kita selalu bernafaskan Allah Swt., sikap kita menunjukkan pada kebesaran Allah Swt., perkataan dan perbuatan kita atas dasar perintah dan larangan Allah Swt., keputusan-keputusan hidup kita sejalan dengan ilmu Allah Swt., bukan pada nafsu semata. Allah Swt is my God, He is Enormous, and Always guides my Soul.
B. Jangan ‘Egois’ masuk Surga sendirian
Sebelum shalat dimulai biasanya didahului dengan kumandang azan. Azan mempunyai tujuan untuk mengingatkan kepada khalayak bahwa pelaksanaan shalat sudah dapat dimulai. Kumandang azan bermaksud pula mengajak segenap kaum muslimin untuk segera melaksanakan shalat, terlebih lagi shalat berjamaah di masjid atau surau-surau. Secara garis besar, azan merupakan sarana untuk mengajak kepada kebaikan dan kemenangan.
Dengan adanya azan sebagai bukti sudah masuk shalat, sebenarnya kita dapat mengambil hikmah berharga darinya. Azan menyeru kepada segenap muslimin untuk mengajak kepada kebaikan, dengan begitu seharusnya kita juga dapat mengajak kebaikan kepada sesama dalam kehidupan ini. Mengajak saudara, tetangga, dan khalayak ramai untuk menuju suatu kemenangan, yakni kebahagian hidup di dunia dan akherat. Hal ini juga mengandung ajaran untuk saling membantu dalam menjalani kehidupan ini yang terkadang ada yang beruntung dan ada juga yang butuh uluran tangan kita. Bukankah Allah Swt telah mengajarkan kepada kita tentang hal itu? Yakni untuk saling mengingatkan dan menasehati dalam hal kebaikan. Tentunya, sebagai sesama hamba Allah Swt dan umat Muhammad Saw, jangan sampai kita mendapatkan kebaikan atau kebahagiaan hidup sendirian. Jangan ‘egois’ masuk surga sendirian.
1 Demi masa. 2 Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3 Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al ‘Ashr [103]:1-3)
C. Koreksilah Aku jika Salah!
Sungguh luar biasa ibadah shalat itu. Bukan saja menjadikan seseorang dekat dengan Allah Swt semata, namun ibadah shalat betul-betul sarat dengan materi pembelajaran bagi sang pembelajar (ulul albab).
Dalam shalat (jamaah) kita mengenal adanya imam dan makmum. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, yakni keberadaan salah satunya tergantung keberadaan lainnya. Seseorang akan dikatakan imam ketika ada makmum, begitu sebaliknya makmum ada karena ada imamnya. Keduanya memiliki hubungan give and take. Imam bertanggungjawab terhadap perjalanan shalat berjamaah. Dimulai dari perintah untuk meluruskan shof makmum, membaca bacaan shalat, memimpin gerakan shalat, dan seterusnya. Begitu juga dengan makmum, mereka harus menjadi pengikut yang senantiasa mendengarkan dan taat pada pimpinan (imam). Tidak boleh bacaan dan gerakan makmum mendahului atau membarengi bacaan atau gerakan yang dilakukan imam. Betul-betul ibadah yang harmonis sekali dan membentuk sinergi yang penuh arti.
Ada suatu kejadian menarik dalam shalat berjamaah yang dapat dijadikan ibroh. Imam sebagai leader memang harus ditaati dalam bacaan dan gerakannya, meskipun begitu makmum juga punya hak mengingatkan (mengoreksi) apabila imam melakukan kesalahan. Makmum laki-laki mengucapkan “subhânallâh” sebagai metode mengingatkan kesalahan imam, sedangkan makmum perempuan dengan menepukkan telapak tangan. Lalu apa pelajaran yang dapat diambil?
Pelajaran yang dapat diambil, dan kemudian dapat dijadikan akhlak hidup adalah ‘sikap Introspektif’ (muhasabah). Bahasa yang lebih membumi adalah: “koreksilah aku jika salah”. Dalam kajian sumber daya manusia, seseorang yang berkepribadian unggul (high-personality) jika melakukan kesalahan akan mengatakan: “saya salah”. Berbeda halnya dengan pribadi rendah (low-personality), ia akan mengatakan: “ini bukan kesalahan saya”. Orang pintar tetapi berkepribadian rendah, jika melakukan kesalahan, akan sulit mengakui kesalahannya, ia akan mencari argumen-argumen atau dalil-dalil untuk seakan-akan membenarkan kesalahan yang telah diperbuat.
Oleh karena itu, kita sebagai orang yang mengakui Islam sebagai agama kita, Allah Swt sebagai Tuhan kita, Muhammad Saw sebagai Nabi kita, Al Qur’an sebagai kitab suci kita, dan sampai shalat sebagai ibadah rutin kita, maka semestinya kita berusaha menjadi manusia yang senang menjalankan kebenaran dan senang mendapatkan koreksi atau kritikan atas kesalahan-kesalahan kita. Kita adalah insan biasa yang tiada luput dari salah dan dosa. Kita adalah sang pembelajar yang membutuhkan koreksi demi menuju perbaikan (progresifitas). Dan kita sama sekali tidak akan mendapatkan apa-apa, bila kita berlaku sombong dan membanggakan diri atas apa yang kita miliki. Kita butuh ‘cermin’ untuk mematut diri, dan hanya orang lainlah yang dapat menjadi cermin bagi kita. Karena cermin yang kita miliki tidak seobjektif cermin yang dimiliki orang lain. Duhai sekalian manusia,, Koreksilah Aku jika Salah!, begitulah yang diajarkan shalat kepada kita.
D. Time is Money
Masalah waktu di era global ini merupakan hal yang sangat penting dan diperhatikan, apalagi kalau sudah menyangkut bisnis, sehingga sering kita menerjemahkan waktu sebagai “time is money”. Bahkan menurut Toffler hal ini sudah kuno, yang betul adalah “Waktu adalah lebih banyak uang (Time is much money)”. Shalat diperintahkan untuk umat Islam lewat Nabi Muhammad Saw yang waktunya telah diatur sedemikian rupa oleh Allah Swt mulai dari Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan Shalat (mu), ingatlah kepada Allah di waktu berdiri, duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah Shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. An Nisa’ : 103)
Demikian pula shalat-shalat sunnat juga ada waktu tertentu untuk mengerjakannya, misalnya shalat tahajud, sebaiknya dilakukan sepertiga malam terakhir. Hal ini didukung oleh beberapa hadits Nabi:
Amr bin Abbas berkata:“Aku bertanya, wahai Rasulullah Saw malam apakah yang lebih didengar? Ia bersabda:“Pertengahan malam yang terakhir”. (HR Abu Dawud)
Shalat sunnat yang paling baik adalah shalat malam. (Hadits Hasan)
Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud, ia tidur separuh malam dan bangun pertiga malam dan tidur perempatnya. (HR Mutafaqun ‘Alaih)
Hikmah yang dapat kita petik dari waktu shalat ini adalah ‘kedisiplinan’. Siapapun kita dan apapun pekerjaan kita sikap disiplin adalah suatu keharusan guna mendapatkan kesuksesan. Kedisiplinan membutuhkan latihan dan keistiqomahan (continue) untuk melakukannya. Dalam hal ini, saya terkadang heran dengan sebagian umat Islam sendiri. Mereka mempunyai ajaran-ajaran yang termaktub dalam Qur’an & Hadits tentang pentingnya kedisiplinan dalam segala hal, akan tetapi justru mereka enggan dan jauh dari sikap disiplin. Yang lebih mengherankan lagi ‘sikap disiplin’ itu banyak dianut oleh non-muslim, semisal bangsa Jepang dan negara maju lainnya. Oleh karena itu, disiplin adalah bagian dari ajaran agama, dan ajaran agama tidaklah akan berdampak apa-apa dalam kehidupan ini tanpa adanya praktik nyata secara berkelanjutan (istiqomah). Kedisiplinan adalah masalah waktu, dan waktu sangat berharga (time is money). Dengan begitu, bukan waktu saja yang bernilai uang, akan tetapi kedisiplinan juga dapat benilai uang, bahkan nilainya lebih dari itu, yakni kesuksesan hidup di dunia hattal akhirat. Bukankah kita dituntut untuk melakukan shalat tepat pada waktunya? Yang berarti juga melatih kedisiplinan?
E. Memelihara Kesucian Diri
Ibadah shalat di samping sebagai sarana ‘ingat’ kepada Allah Swt, juga merupakan sarana yang tepat untuk menjadikan kita cinta kesucian atau kebersihan. Hal ini dikarenakan wajibnya bersuci (berwudlu) sebelum melaksanakan shalat. Posisi wudlu dalam shalat adalah sama wajibnya dengan ibadah shalat itu sendiri. Sah dan tidaknya shalat tergantung pada sah dan tidaknya wudlu yang kita lakukan. Bukankah sesuatu yang menyebabkan tidak sempurnanya sesuatu yang wajib itu juga wajib?. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan: “mâ lâ yatimmul wâjibu illa bihi fahuwa wâjibun” (tidak sempurnanya sesuatu yang wajib karena sesuatu, maka sesuatu itu juga wajib).
Begitu halnya jika kesucian itu merupakan kunci dari ibadah shalat. Seperti dipaparkan dalam hadis Nabi: Miftâkhush-Shalâti duhûru (kunci shalat itu adalah kesucian). (HR. Imam Ahmad)
Seorang muslim yang biasa bersuci (dalam bahasa fiqh, Thoharoh) sebelum melakukan shalat seharusnya dapat mengambil ibroh yang berharga. Yakni, kesucian diri. Kesucian diri di sini tidak hanya sebatas pada bersih atau suci dari kotoran atau najis saja akan tetapi menyeluruh pada aspek-aspek yang terkait dalam diri pribadi kita. Dimulai dari kesucian sikap kita, kesucian perkataan kita, kesucian perbuatan kita, kesucian pikiran kita, dan secara garis besar, menyeluruh pada kesucian jiwa dan fisik kita dari hal-hal yang menodai dan membuat hina di hadapan sesama manusia dan Allah Swt.
Saya kira, makna Thoharoh atau bersuci ini perlu dijabarkan lebih luas dan komprehensif, sehingga mampu memberikan dampak atau hikmah pada perbaikan sikap dan perbuatan seorang muslim dalam memelihara kesucian diri, baik dalam hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh), hubungan dengan sesama manusia (hablumminannâs), maupun hubungan dengan alam semesta ini (hablumminal ‘âlam).
F. Peace Lover
Islam oleh para Orientalis Barat sering digambarkan sebagai; “seorang dengan wajah yang bengis dengan membawa pedang yang berlumuran darah di tangan kanan dan Al Qur’an di tangan kiri”. Artinya, dalam penyebarannya, Islam diidentikkan dengan kekerasan dan perang (violence and war). Di samping itu Islam juga sering dikaitkan dengan teroris dan kekejaman dengan disertai pekikan ”Allâhu Akbar” yang sangat keras. Itu menurut pandangan mereka yang memang sejak awal membenci dan menaruh curiga terhadap Islam.
Shalat adalah serangkaian ucapan dan gerakan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Diawali dengan takbir (Allâhu Akbar) mengisyaratkan bahwa dalam menjalani kehidupan ini sangat membutuhkan dampingan akidah ketauhidan pada Sang Khaliq (Teologis-teosentris/Tauhidi). Lalu shalat diakhiri dengan salam (Assalâmu’alaikum Warahmatullâh) mengisyaratkan bahwa seorang muslim semestinya mencintai kedamaian, menyebarkan keselamatan ke arah kanan dan kiri (Humanisme). Hal ini juga berarti bahwa seorang muslim yang melaksanakan shalat harus mampu membuat ketenangan dan kedamaian untuk lingkungan sekitarnya, menjadi problem-solver bukan problem-maker. Dalam bahasa awal tulisan ini, shalat harus mampu menjadikan seorang muslim memiliki kesalehan pribadi (iman, islam) dan kesalehan sosial (ihsan, akhlaq al-karimah). “Innâsh-shalâta tanhâ ‘anil fakhsyâ’i wal munkar”
Hal senada juga dikemukakan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, ‘salam’ dalam shalat mengisyaratkan bahwa setelah menghadap Allah Swt, yaitu awalnya adalah “Allâhu Akbar” (Takbirah al-ikhram). Namun akhirnya harus membawa dampak ke demensi sosial. Artinya, antara hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh) itu merupakan satu kesatuan. Hal ini telah ditegaskan dalam ajaran Islam, bahwa tidak ada dikhotomi antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia, misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan iman senantiasa berkaitan dengan amal saleh, shalat selalu berkaitan dengan zakat, kelahiran anak berkaitan dengan aqiqah, syukur berkaitan dengan shalat dan qurban, dan sebagainya. Bahkan manusia akan senantiasa diliputi kehinaan dimanapun ia berada, kecuali mereka yang berpegang pada ‘tali’ Allah dan ‘tali’ (hubungan) dengan manusia.
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Ali Imran : 112)
III. Kesimpulan
Untuk menutup tulisan yang singkat ini, kiranya perlu saya sampaikan beberapa kesimpulan yang dapat menjadi renungan kita bersama.
1. Shalat adalah ibadah yang bukan hanya membentuk saleh pribadi saja, tetapi juga saleh sosial.
2. Ketika muslim mengakui kebesaran Allah dengan ucapan “Allâhu Akbar” maka konsekuensi logisnya adalah bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Swt. Berusaha menjauhkan dari sifat sombong, ujub, takabur, arogan, congkak, “adigang adigung adiguna”, merasa paling pintar, paling benar, paling shaleh, dan perasaan negatif lainnya.
3. Shalat juga mengajarkan pada kita untuk saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan. Mengajak dan membantu sesama manusia untuk bersama-sama mereguk kebahagian hidup di dunia sampai akhirat kelak. Jangan ‘egois’ masuk surga sendirian.
4. Kita adalah insan biasa yang tidak akan pernah luput dari kesalahan. Sungguh kita membutuhkan masukan dan koreksi dari orang lain agar kita menjadi pribadi unggul yang senantiasa progresif dari waktu ke waktu. Merasa hauslah akan koreksi yang membangun dari orang lain. (Mohon dibedakan antara ‘mengoreksi’ dan ‘menyalahkan’. ‘Mengoreksi’ adalah upaya yang memperbaiki, membangun, konstruktif. Sedangkan ‘menyelahkan’ identik dengan sikap yang menjatuhkan, merendahkan, membuat hina orang lain, destruktif.)
5. Disiplin adalah kunci meraih keberhasilan dalam segala aktivitas. Ibadah shalat mengajarkan akan hal itu.
6. Thoharoh atau bersuci memberi pelajaran kepada kita untuk memelihara kesucian diri, baik dalam hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh), hubungan dengan sesama manusia (hablumminannâs), maupun hubungan dengan alam semesta ini (hablumminal ‘âlam).
7. Ibadah shalat dibuka dengan takbiratul ikhram, dan ditutup dengan salam. Mengajarkan pada kita bahwa ketauhidan yang hakiki adalah ketauhidan yang dampaknya sampai pada perwujudan kehidupan yang harmonis, sejahtera, dan penuh kedamaian.
8. Innash-shalâta tanhâ ‘anil fakhsyâ’i wal munkar (Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.) (Q.S. al-Ankabut [29]:45)
Lâ shalâta li man lâ tanhâhu shalâtuhu ‘anil fakhsyâ’i wal munkar. (Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkannya dari kekejian dan kemungkaran). Al-Hadits
Akhirnya, semoga Allah Swt mencurahkan hidayahnya, sehingga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Tulisan ini hanya produk insan biasa yang tiada luput dari kesalahan. Tulisan ini hanya sebuah upaya yang mencari titik terang dari persoalan-persoalan yang membelenggu, dan yang namanya upaya pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan dengan penuh kerendahan hati, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan. Ya Allah, pengetahuan yang sedikit ini sudah saya sampaikan. Saksikanlah! Dan ampunilah hamba bila jauh dari kebenaran. Wallâhu a’lam bish-showab.
Kepatihan, 05 Maret 2011
Kritik & Saran ke. 085643217999
Email: moch.iskarim@yahoo.com
Tulisan ini dilatarbelakangi kegelisahan penulis melihat realitas kehidupan sebagian muslim (khususnya di negeri ini) yang notabene jauh dari sikap sebagai ‘abdi Tuhan, Allah Swt. Banyak kita jumpai muslim (orang yang berislam) tetapi jarang kita temukan islam dalam pribadi muslim itu. Banyak orang mengaku beragama Islam, namun jauh dari etika dan moralitas bangsa yang beragama Islam. Mereka banyak melakukan rutinitas ibadah setiap hari namun fungsinya belum berimbas pada kehidupan masyarakat secara luas. Dalam redaksi lain, ibadah yang dijalankan muslim masih pada ranah pembentukan kesalehan pribadi belum mampu menyentuh ke ranah pembentukan kesalehan sosial. Contohnya ibadah shalat kita.
Ibadah shalat memiliki aspek fungsional dalam kehidupan ini. ‘Penegakkan’ shalat –karena bukan hanya sekedar melakukan- di samping membentuk pribadi bertakwa juga harus mampu membentuk pribadi muslim yang bermanfaat bagi kehidupan. Hal ini selaras dengan Firman Allah:
Dan dirikanlah shalat. Sesunggungnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
(Q.S Al Ankabut [29]:45)
Saya kok heran, dari jumlah penduduk Indonesia yang luar biasa banyaknya (230 juta lebih) dan mayoritas memeluk agama Islam -bahkan termasuk negara beragama Islam terbesar di dunia- akan tetapi praktik kemaksiatan dan dekadensi moral justru memperlihatkan ‘prestasi’ (ironis-pen) yang luar biasa dalam kehidupan ini. Korupsi, mafia hukum, mafia pajak, markus, pergaulan bebas, kekerasan atas nama agama, pelecehan seksual, kumpul kebo, narkoba, konflik SARA, pembunuhan, perzinahan, pelacuran, dan lain-lain adalah fenomena yang sering terjadi bak ‘sajian makanan’ yang disuguhkan setiap harinya. Sekali lagi saya mempertanyakan, dimanakah fungsi Islam mereka? Dimanakah imbas ibadah shalat mereka? Bukankah shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar?
Semoga tulisan ini dapat menemukan titik terang dari beberapa persoalan yang disampaikan di atas. Amin
II. Shalat for Character Building
Shalat adalah tiang agama. Hal ini memberi pengertian bahwa shalat merupakan ibadah yang sangat urgent (penting dan utama). Kalau diilustrasikan agama seperti bangunan rumah, maka keberadaan tiang sangatlah diperlukan demi tegak dan kokohnya bangunan tersebut. Sungguh pentingnya kehadiran shalat dalam kehidupan beragama Islam ini, maka shalat seharusnya juga dapat menjadi ‘wahana’ dalam pembentukan karakter bangsa –khususnya muslim-, sehingga keteraturan, keserasian, dan kedamaian akan tercipta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Beberapa prinsip yang dapat kita petik dari ibadah shalat adalah sebagai berikut.
A. Sungguh, Engkau Maha Besar ya Robb (Allahu Akbar)
Salah satu rukun shalat adalah takbirah al-ihram (baca: takbirotul ikhrom), yaitu ucapan Allâhu Akbar, karena apabila Rasulallah Saw hendak mengerjakan shalat dan telah menghadap kiblat, maka beliau biasa memulainya dengan ucapan “Allahu Akbar” (HR. Muslim dan Ibn Majah). Inilah yang disebut dengan takbirah al-ihram. Shalat seseorang tidak akan sah tanpa diawali dengan mengucapkannya. Nabi Saw bersabda, “Apabila kamu telah berdiri untuk mengerjakan shalat, maka bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila diperhatikan, yang paling banyak diucapkan dalam shalat adalah Takbir (Allâhu Akbar, Allah Maha Besar). Di setiap pergantian posisi senantiasa diucapkan takbir -hanya pergantian antara ruku’ ke berdiri saja yang berbeda-. Hal ini menunjukkan bahwa shalat diharapkan akan membentuk kepribadian “Allâhu Akbar”, artinya yang perlu “diakbarkan, diagungkan, dibesar-besarkan” hanyalah Allah Swt, sedangkan yang lain adalah kecil.
Dengan begitu diharapakan semua persoalan dalam kehidupan ini hendaknya dikembalikan kepada Allah Swt, sehingga tidak akan menimbulkan perasaan sombong, ujub, takabur, arogan, congkak, “adigang adigung adiguna”, merasa paling pintar, paling benar, paling shaleh, dan perasaan negatif lainnya. Karena Allah tidak menyukai orang yang sombong. Hal ini ditegaskan dalam sebuah Hadits Nabi : “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya masih terdapat perasaan sombong, meskipun hanya satu zarah (atom)”. Dengan kata lain manusia yang mempunyai multi peran ini, misalnya Individual role, social role, political role, family role dan sebagainya, akan senantiasa diawali dengan Allâhu Akbar (Allah Maha Besar). Sehingga jiwa kita selalu bernafaskan Allah Swt., sikap kita menunjukkan pada kebesaran Allah Swt., perkataan dan perbuatan kita atas dasar perintah dan larangan Allah Swt., keputusan-keputusan hidup kita sejalan dengan ilmu Allah Swt., bukan pada nafsu semata. Allah Swt is my God, He is Enormous, and Always guides my Soul.
B. Jangan ‘Egois’ masuk Surga sendirian
Sebelum shalat dimulai biasanya didahului dengan kumandang azan. Azan mempunyai tujuan untuk mengingatkan kepada khalayak bahwa pelaksanaan shalat sudah dapat dimulai. Kumandang azan bermaksud pula mengajak segenap kaum muslimin untuk segera melaksanakan shalat, terlebih lagi shalat berjamaah di masjid atau surau-surau. Secara garis besar, azan merupakan sarana untuk mengajak kepada kebaikan dan kemenangan.
Dengan adanya azan sebagai bukti sudah masuk shalat, sebenarnya kita dapat mengambil hikmah berharga darinya. Azan menyeru kepada segenap muslimin untuk mengajak kepada kebaikan, dengan begitu seharusnya kita juga dapat mengajak kebaikan kepada sesama dalam kehidupan ini. Mengajak saudara, tetangga, dan khalayak ramai untuk menuju suatu kemenangan, yakni kebahagian hidup di dunia dan akherat. Hal ini juga mengandung ajaran untuk saling membantu dalam menjalani kehidupan ini yang terkadang ada yang beruntung dan ada juga yang butuh uluran tangan kita. Bukankah Allah Swt telah mengajarkan kepada kita tentang hal itu? Yakni untuk saling mengingatkan dan menasehati dalam hal kebaikan. Tentunya, sebagai sesama hamba Allah Swt dan umat Muhammad Saw, jangan sampai kita mendapatkan kebaikan atau kebahagiaan hidup sendirian. Jangan ‘egois’ masuk surga sendirian.
1 Demi masa. 2 Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3 Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al ‘Ashr [103]:1-3)
C. Koreksilah Aku jika Salah!
Sungguh luar biasa ibadah shalat itu. Bukan saja menjadikan seseorang dekat dengan Allah Swt semata, namun ibadah shalat betul-betul sarat dengan materi pembelajaran bagi sang pembelajar (ulul albab).
Dalam shalat (jamaah) kita mengenal adanya imam dan makmum. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, yakni keberadaan salah satunya tergantung keberadaan lainnya. Seseorang akan dikatakan imam ketika ada makmum, begitu sebaliknya makmum ada karena ada imamnya. Keduanya memiliki hubungan give and take. Imam bertanggungjawab terhadap perjalanan shalat berjamaah. Dimulai dari perintah untuk meluruskan shof makmum, membaca bacaan shalat, memimpin gerakan shalat, dan seterusnya. Begitu juga dengan makmum, mereka harus menjadi pengikut yang senantiasa mendengarkan dan taat pada pimpinan (imam). Tidak boleh bacaan dan gerakan makmum mendahului atau membarengi bacaan atau gerakan yang dilakukan imam. Betul-betul ibadah yang harmonis sekali dan membentuk sinergi yang penuh arti.
Ada suatu kejadian menarik dalam shalat berjamaah yang dapat dijadikan ibroh. Imam sebagai leader memang harus ditaati dalam bacaan dan gerakannya, meskipun begitu makmum juga punya hak mengingatkan (mengoreksi) apabila imam melakukan kesalahan. Makmum laki-laki mengucapkan “subhânallâh” sebagai metode mengingatkan kesalahan imam, sedangkan makmum perempuan dengan menepukkan telapak tangan. Lalu apa pelajaran yang dapat diambil?
Pelajaran yang dapat diambil, dan kemudian dapat dijadikan akhlak hidup adalah ‘sikap Introspektif’ (muhasabah). Bahasa yang lebih membumi adalah: “koreksilah aku jika salah”. Dalam kajian sumber daya manusia, seseorang yang berkepribadian unggul (high-personality) jika melakukan kesalahan akan mengatakan: “saya salah”. Berbeda halnya dengan pribadi rendah (low-personality), ia akan mengatakan: “ini bukan kesalahan saya”. Orang pintar tetapi berkepribadian rendah, jika melakukan kesalahan, akan sulit mengakui kesalahannya, ia akan mencari argumen-argumen atau dalil-dalil untuk seakan-akan membenarkan kesalahan yang telah diperbuat.
Oleh karena itu, kita sebagai orang yang mengakui Islam sebagai agama kita, Allah Swt sebagai Tuhan kita, Muhammad Saw sebagai Nabi kita, Al Qur’an sebagai kitab suci kita, dan sampai shalat sebagai ibadah rutin kita, maka semestinya kita berusaha menjadi manusia yang senang menjalankan kebenaran dan senang mendapatkan koreksi atau kritikan atas kesalahan-kesalahan kita. Kita adalah insan biasa yang tiada luput dari salah dan dosa. Kita adalah sang pembelajar yang membutuhkan koreksi demi menuju perbaikan (progresifitas). Dan kita sama sekali tidak akan mendapatkan apa-apa, bila kita berlaku sombong dan membanggakan diri atas apa yang kita miliki. Kita butuh ‘cermin’ untuk mematut diri, dan hanya orang lainlah yang dapat menjadi cermin bagi kita. Karena cermin yang kita miliki tidak seobjektif cermin yang dimiliki orang lain. Duhai sekalian manusia,, Koreksilah Aku jika Salah!, begitulah yang diajarkan shalat kepada kita.
D. Time is Money
Masalah waktu di era global ini merupakan hal yang sangat penting dan diperhatikan, apalagi kalau sudah menyangkut bisnis, sehingga sering kita menerjemahkan waktu sebagai “time is money”. Bahkan menurut Toffler hal ini sudah kuno, yang betul adalah “Waktu adalah lebih banyak uang (Time is much money)”. Shalat diperintahkan untuk umat Islam lewat Nabi Muhammad Saw yang waktunya telah diatur sedemikian rupa oleh Allah Swt mulai dari Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan Shalat (mu), ingatlah kepada Allah di waktu berdiri, duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah Shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. An Nisa’ : 103)
Demikian pula shalat-shalat sunnat juga ada waktu tertentu untuk mengerjakannya, misalnya shalat tahajud, sebaiknya dilakukan sepertiga malam terakhir. Hal ini didukung oleh beberapa hadits Nabi:
Amr bin Abbas berkata:“Aku bertanya, wahai Rasulullah Saw malam apakah yang lebih didengar? Ia bersabda:“Pertengahan malam yang terakhir”. (HR Abu Dawud)
Shalat sunnat yang paling baik adalah shalat malam. (Hadits Hasan)
Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud, ia tidur separuh malam dan bangun pertiga malam dan tidur perempatnya. (HR Mutafaqun ‘Alaih)
Hikmah yang dapat kita petik dari waktu shalat ini adalah ‘kedisiplinan’. Siapapun kita dan apapun pekerjaan kita sikap disiplin adalah suatu keharusan guna mendapatkan kesuksesan. Kedisiplinan membutuhkan latihan dan keistiqomahan (continue) untuk melakukannya. Dalam hal ini, saya terkadang heran dengan sebagian umat Islam sendiri. Mereka mempunyai ajaran-ajaran yang termaktub dalam Qur’an & Hadits tentang pentingnya kedisiplinan dalam segala hal, akan tetapi justru mereka enggan dan jauh dari sikap disiplin. Yang lebih mengherankan lagi ‘sikap disiplin’ itu banyak dianut oleh non-muslim, semisal bangsa Jepang dan negara maju lainnya. Oleh karena itu, disiplin adalah bagian dari ajaran agama, dan ajaran agama tidaklah akan berdampak apa-apa dalam kehidupan ini tanpa adanya praktik nyata secara berkelanjutan (istiqomah). Kedisiplinan adalah masalah waktu, dan waktu sangat berharga (time is money). Dengan begitu, bukan waktu saja yang bernilai uang, akan tetapi kedisiplinan juga dapat benilai uang, bahkan nilainya lebih dari itu, yakni kesuksesan hidup di dunia hattal akhirat. Bukankah kita dituntut untuk melakukan shalat tepat pada waktunya? Yang berarti juga melatih kedisiplinan?
E. Memelihara Kesucian Diri
Ibadah shalat di samping sebagai sarana ‘ingat’ kepada Allah Swt, juga merupakan sarana yang tepat untuk menjadikan kita cinta kesucian atau kebersihan. Hal ini dikarenakan wajibnya bersuci (berwudlu) sebelum melaksanakan shalat. Posisi wudlu dalam shalat adalah sama wajibnya dengan ibadah shalat itu sendiri. Sah dan tidaknya shalat tergantung pada sah dan tidaknya wudlu yang kita lakukan. Bukankah sesuatu yang menyebabkan tidak sempurnanya sesuatu yang wajib itu juga wajib?. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan: “mâ lâ yatimmul wâjibu illa bihi fahuwa wâjibun” (tidak sempurnanya sesuatu yang wajib karena sesuatu, maka sesuatu itu juga wajib).
Begitu halnya jika kesucian itu merupakan kunci dari ibadah shalat. Seperti dipaparkan dalam hadis Nabi: Miftâkhush-Shalâti duhûru (kunci shalat itu adalah kesucian). (HR. Imam Ahmad)
Seorang muslim yang biasa bersuci (dalam bahasa fiqh, Thoharoh) sebelum melakukan shalat seharusnya dapat mengambil ibroh yang berharga. Yakni, kesucian diri. Kesucian diri di sini tidak hanya sebatas pada bersih atau suci dari kotoran atau najis saja akan tetapi menyeluruh pada aspek-aspek yang terkait dalam diri pribadi kita. Dimulai dari kesucian sikap kita, kesucian perkataan kita, kesucian perbuatan kita, kesucian pikiran kita, dan secara garis besar, menyeluruh pada kesucian jiwa dan fisik kita dari hal-hal yang menodai dan membuat hina di hadapan sesama manusia dan Allah Swt.
Saya kira, makna Thoharoh atau bersuci ini perlu dijabarkan lebih luas dan komprehensif, sehingga mampu memberikan dampak atau hikmah pada perbaikan sikap dan perbuatan seorang muslim dalam memelihara kesucian diri, baik dalam hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh), hubungan dengan sesama manusia (hablumminannâs), maupun hubungan dengan alam semesta ini (hablumminal ‘âlam).
F. Peace Lover
Islam oleh para Orientalis Barat sering digambarkan sebagai; “seorang dengan wajah yang bengis dengan membawa pedang yang berlumuran darah di tangan kanan dan Al Qur’an di tangan kiri”. Artinya, dalam penyebarannya, Islam diidentikkan dengan kekerasan dan perang (violence and war). Di samping itu Islam juga sering dikaitkan dengan teroris dan kekejaman dengan disertai pekikan ”Allâhu Akbar” yang sangat keras. Itu menurut pandangan mereka yang memang sejak awal membenci dan menaruh curiga terhadap Islam.
Shalat adalah serangkaian ucapan dan gerakan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Diawali dengan takbir (Allâhu Akbar) mengisyaratkan bahwa dalam menjalani kehidupan ini sangat membutuhkan dampingan akidah ketauhidan pada Sang Khaliq (Teologis-teosentris/Tauhidi). Lalu shalat diakhiri dengan salam (Assalâmu’alaikum Warahmatullâh) mengisyaratkan bahwa seorang muslim semestinya mencintai kedamaian, menyebarkan keselamatan ke arah kanan dan kiri (Humanisme). Hal ini juga berarti bahwa seorang muslim yang melaksanakan shalat harus mampu membuat ketenangan dan kedamaian untuk lingkungan sekitarnya, menjadi problem-solver bukan problem-maker. Dalam bahasa awal tulisan ini, shalat harus mampu menjadikan seorang muslim memiliki kesalehan pribadi (iman, islam) dan kesalehan sosial (ihsan, akhlaq al-karimah). “Innâsh-shalâta tanhâ ‘anil fakhsyâ’i wal munkar”
Hal senada juga dikemukakan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, ‘salam’ dalam shalat mengisyaratkan bahwa setelah menghadap Allah Swt, yaitu awalnya adalah “Allâhu Akbar” (Takbirah al-ikhram). Namun akhirnya harus membawa dampak ke demensi sosial. Artinya, antara hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh) itu merupakan satu kesatuan. Hal ini telah ditegaskan dalam ajaran Islam, bahwa tidak ada dikhotomi antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia, misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan iman senantiasa berkaitan dengan amal saleh, shalat selalu berkaitan dengan zakat, kelahiran anak berkaitan dengan aqiqah, syukur berkaitan dengan shalat dan qurban, dan sebagainya. Bahkan manusia akan senantiasa diliputi kehinaan dimanapun ia berada, kecuali mereka yang berpegang pada ‘tali’ Allah dan ‘tali’ (hubungan) dengan manusia.
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Ali Imran : 112)
III. Kesimpulan
Untuk menutup tulisan yang singkat ini, kiranya perlu saya sampaikan beberapa kesimpulan yang dapat menjadi renungan kita bersama.
1. Shalat adalah ibadah yang bukan hanya membentuk saleh pribadi saja, tetapi juga saleh sosial.
2. Ketika muslim mengakui kebesaran Allah dengan ucapan “Allâhu Akbar” maka konsekuensi logisnya adalah bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Swt. Berusaha menjauhkan dari sifat sombong, ujub, takabur, arogan, congkak, “adigang adigung adiguna”, merasa paling pintar, paling benar, paling shaleh, dan perasaan negatif lainnya.
3. Shalat juga mengajarkan pada kita untuk saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan. Mengajak dan membantu sesama manusia untuk bersama-sama mereguk kebahagian hidup di dunia sampai akhirat kelak. Jangan ‘egois’ masuk surga sendirian.
4. Kita adalah insan biasa yang tidak akan pernah luput dari kesalahan. Sungguh kita membutuhkan masukan dan koreksi dari orang lain agar kita menjadi pribadi unggul yang senantiasa progresif dari waktu ke waktu. Merasa hauslah akan koreksi yang membangun dari orang lain. (Mohon dibedakan antara ‘mengoreksi’ dan ‘menyalahkan’. ‘Mengoreksi’ adalah upaya yang memperbaiki, membangun, konstruktif. Sedangkan ‘menyelahkan’ identik dengan sikap yang menjatuhkan, merendahkan, membuat hina orang lain, destruktif.)
5. Disiplin adalah kunci meraih keberhasilan dalam segala aktivitas. Ibadah shalat mengajarkan akan hal itu.
6. Thoharoh atau bersuci memberi pelajaran kepada kita untuk memelihara kesucian diri, baik dalam hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh), hubungan dengan sesama manusia (hablumminannâs), maupun hubungan dengan alam semesta ini (hablumminal ‘âlam).
7. Ibadah shalat dibuka dengan takbiratul ikhram, dan ditutup dengan salam. Mengajarkan pada kita bahwa ketauhidan yang hakiki adalah ketauhidan yang dampaknya sampai pada perwujudan kehidupan yang harmonis, sejahtera, dan penuh kedamaian.
8. Innash-shalâta tanhâ ‘anil fakhsyâ’i wal munkar (Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.) (Q.S. al-Ankabut [29]:45)
Lâ shalâta li man lâ tanhâhu shalâtuhu ‘anil fakhsyâ’i wal munkar. (Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkannya dari kekejian dan kemungkaran). Al-Hadits
Akhirnya, semoga Allah Swt mencurahkan hidayahnya, sehingga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Tulisan ini hanya produk insan biasa yang tiada luput dari kesalahan. Tulisan ini hanya sebuah upaya yang mencari titik terang dari persoalan-persoalan yang membelenggu, dan yang namanya upaya pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan dengan penuh kerendahan hati, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan. Ya Allah, pengetahuan yang sedikit ini sudah saya sampaikan. Saksikanlah! Dan ampunilah hamba bila jauh dari kebenaran. Wallâhu a’lam bish-showab.
Kepatihan, 05 Maret 2011
Kritik & Saran ke. 085643217999
Email: moch.iskarim@yahoo.com
Rabu, 16 Februari 2011
Muhammad Saw: Rasul Zaman Kita
Moch. Iskarim, M.S.I **)
I. Pendahuluan
Puji syukur yang kita panjatkan kepada Ilahi Robbiy, Allah SWT, yang menguasai alam semesta ini, seharusnya bukanlah merupakan ucapan lisan semata yang merupakan “lip-servis”, akan tetapi harus mampu terwujud dalam perilaku nyata sebagai akhlaqul karimah. Begitu juga ketika kita menyampaikan sholawat dan salam kepada junjungan kita, Muhammad Ibn Abdillah, tiada berbeda, harus juga memiliki konsekuensi logis menjalankan ajaran yang beliau sampaikan dalam keseharian kita sebagai indikasi untuk mendapatkan pertolongannya (safa’at) di dunia juga akherat. Semoga kita tergolong hamba-Nya (Allah, Robbul’izzat) dan ummatnya (Muhammad, khotamul ambiya’) yang muslim, mukmin, sekaligus taqwa.
---
Muhammad Saw adalah putra ‘Abdullah cucu ‘Abdul Mutholib dari urutan Hasyim ibn ‘Abdu Manaf ibn Qushai (saudara Zuhrah yakni klan ibu Nabi, Aminah) ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ay ibn Ghalib dari Firh (dikenal sebagai Quraisy). Sedangkan Ibunda Muhammad adalah Aminah bint Wahab bint Zuhrah saudaranya Qushai. Dilihat dari Nasab antara Ayah dan Ibunda akan bertemu pada keturunan Murrah, yakni dari Kilab yang bersaudara dengan Taim (klan Abu Bakar dan Thalhah) dan Yaqazhah (mempunyai keturunan bani Makhzum, klan Abu Salamah dan Khalid ibn Walid).
Muhammad Saw bagaikan matahari yang menyinari kegelapan. Sinarnya membantu kita mengetahui sesuatu yang kita lihat. Dengan bantuan pancaran ajarannya kita bisa memilah dan memilih mana sesuatu yang baik dan mana pula yang buruk, mana hal yang membangun peradaban dan mana pula yang merusak. Melalui perannya sebagai utusan Allah (Rasulallah) kita bisa merasakan indahnya dan begitu teraturnya kehidupan ini. Bagaikan dalam sistem lalu lintas, ajaran Muhammad bak trafic-light (lampu pengatur lalu lintas) yang mengatur jalannya kendaraan dalam keteraturan tanpa benturan. Sungguh, Muhammad Saw adalah Sang teladan ummat. Tak terbatas pada ummat yang bersimbol Islam, akan tetapi keseluruhan ummat manusia, menembus batas tanpa membedakan latar belakang budaya, suku, bangsa, dan agama. Beliaulah Sang pembawa nilai-nilai mulia sebagai rahmatan lil ‘alamin (bagi totalitas kehidupan manusia), Muhammad ibn Abdillah, Abul Qosim.
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Q.S. Al Anbiya’ : 107)
Kalau di dunia ini ditanyakan siapa yang tepat dijadikan sumber inspirasi, sumber petunjuk kemuliaan, Top figur teladan ummat, maka jawaban yang tidaklah mungkin disangkal adalah Muhammad Saw. Sehingga tak mustahil Muhammad Saw dijadikan 100 tokoh berpengaruh dunia dalam urutan no.1
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab [33] : 21)
Bisa saja Muhammad Saw telah meninggalkan kita kurang lebih 1377 tahun yang lalu (w. 634 M), namun terasa Beliau masih bersama kita dalam kehidupan sampai saat ini. Beliau selalu menuntun setiap langkah kita. Menunjukkan bagaimana kita harus bersikap, berpikir, dan berbuat demi kemajuan kita. Ajaran Muhammad tidak terbatasi oleh usia yang terhentikan oleh kemangkatannya kepada Yang Maha Agung, Allah Swt. Sampai saat ini, bersama kita, Muhammad Saw masih hidup dan selalu akan hidup dalam setiap aktifititas kita sehari-hari. Allahumma Sholli ‘ala Muhammad..
II. Muhammad Saw; Rasul Zaman Kita
Setiap tahun, di bulan Robiul awwal, atau orang jawa bilang wulan mulud, kita selalu disuguhkan berbagai agenda untuk memperingati kelahiran Muhammad Saw. Dimulai dari acara pembacaan berzanji selama 12 hari lalu diadakan arak-arakan keliling dengan membawa oncor (penerang yang terbuat dari bambu dengan minyak tanah), pengajian-pengajian, ada juga yang mengadakan grebeg maulud yang biasa diadakan di keraton Jogja dan Solo, dan sebagainya. Kesemua agenda tersebut seakan-akan merupakan agenda “yang harus ada” di setiap bulan Maulud datang.
Namun, sebagai insan pembelajar, jangan sampai agenda yang setiap tahun dilaksanakan itu sampai kehilangan makna sejatinya, yakni mengambil pelajaran (ibroh) dari kehidupan Muhammad Saw. Serta, bagaimana pula akhlak Muhammad selalu mengiringi langkah dan aktifitas kita sehari-hari menuju peradaban ummat yang unggul dan bermartabat. Kuntum khoero ummatin ukhrijat linnas. Muhammad Saw adalah Rasul Zaman kita, diamana ajaran-ajarannya selalu hidup dalam kehidupan kita sehari-hari.
Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari sirah nabawiyah –sedikit dari banyaknya pelajaran- adalah sebagaimana dijelaskan berikut.
1. Kebersahajaan
Kebersahajaan atau biasa kita kenal dengan kesederhanaan, adalah suatu sikap dan perbuatan yang apa adanya, bukan merupakan sesuatu yang di-design/dibentuk, dihias, sedemikian rupa oleh pelaku. Kebersahajaan juga diartikan sebagai sifat yang fungsionalistik, dimana keberadaan ‘fungsi’ dari sesuatu sangat ditekankan dibandingkan dengan ‘emosi’ si pelaku. Kebersahajaan jangan sampai dimaknai sebagai sikap dan perbuatan yang mencoba ‘memiskinkan diri’ atau ‘merendahkan diri’ dari keberadaan kita sesungguhnya. Terkadang kita melihat beberapa orang di sekitar kita yang berlaku demikian. Misalnya, orang tersebut memiliki mobil –karena dia mampu membeli mobil, bukan karena sarat gengsi- akan tetapi dia justru memilih naik sepeda ontel atau malah berjalan kaki. Harapannya biar dia dianggap sebagai orang yang berlaku ‘sahaja’ atau sederhana. Saya kira, dari kasus orang yang beli mobil ini bisa dikatakan sebagai orang yang berlaku sahaja/sederhana jika memang kehadiran mobil itu sangat fungsional dengan keadaannya dan sesuai dengan kemampuannya. Kecuali jika setiap minggu atau setiap bulan atau setiap tahun ia berkeinginan mengganti mobil biar dikatakan lux (mewah) dihadapan orang lain. Ini sudah persoalan lain, yang justru mengarah ke sifat sombong dan takabur.
Kebersahajaan akan menjadi kekuatan yang luar biasa, terutama dalam menjalani kehidupan saat ini yang sarat dengan gengsi dan kemunafikan. Kebersahajaan akan membuat hidup kita lebih tenang, damai, dan tidak ngoyo (memaksakan diri). Seseorang yang memiliki sifat bersahaja akan lebih mampu bertahan hidup dan terhindar dari berbagai penyakit. Lihat saja pada orang sekeliling kita yang suka ‘membohongi diri’ itu. Mereka lebih mudah terserang penyakit stres atau depresi. Jiwa mereka mudah tergoncang akibat gaya hidup yang tidak disesuaikan dengan kemampuannya.
Mari kita tilik sejarah kehidupan Muhammad Saw, Sang teladan Umat.
Dalam sirah nabawiyah; suatu ketika Umar mengunjungi Rasulallah. Beliau tengah berbaring di atas tikar. Tidak ada benda lain di sekitar tikar itu. Tikarnya meninggalkan bekas pada muka dan tangan Beliau. Umar melihat ke sekeliling untuk mencari persediaan makanan Rasullah. Umar hanya menemukan segenggam gandum dan daun-daun mimosa tergeletak di sudut ruangan. Di atas kedua benda itu tergantung kantong dari kulit domba yang disamak.
Di sisi lain, ketika Muhammad Saw akan menikah dengan Khadijah maka diutuslah Hamzah, paman Nabi, untuk menemui keluarga Khadijah. Dari pihak Khadijah diwakili ‘Amr Ibn Asad karena Khuwaylid, ayah Khadijah telah meninggal dunia. Dalam pertemuan antara keluarga Bani Hasyim dan Bani Asad ini dicapai suatu keputusan bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor unta betina.
Petikan sejarah nabi yang pertama menunjukkan kepada kita kondisi kesederhanaan Nabi yang sarat dengan keberfungsionalan atau kebermanfaatan terhadap kepemilikan benda, di samping sifat Nabi yang zuhud secara sempurna –dan saya kira jarang sekali orang yang bisa mencontoh seperti zuhudnya Nabi ini-. Sedangkan petikan sejarah Nabi ketika proses menuju pelaminan antara Nabi dan Khadijah, menunjukkan pada kita tentang kemewahan yang disesuaikan dengan kemampuan kita. Bayangkan ketika itu Nabi harus memberi mahar dua puluh ekor unta betina. Kalau diperhitungkan dengan sudut pandang ekonomis akan diperoleh nominal uang yang tidak bisa dianggap sedikit. Misal saja, kalau harga unta saat ini Rp. 10 juta/ekor, maka mahar nabi sebesar Rp. 200 juta (20 x 10juta), nominal yang sangat fantastis.
Jadi, menurut saya, ada dua poin penting tentang kebersahajaan, yaitu:
a. Kebersahajaan adalah fungsionalistik, dimana kepemilikan suatu benda didasarkan pada fungsinya, bukan pada kemewahan atau gengsi yang akan didapat.
b. Kebersahajaan bisa juga berarti ‘mewah’, apabila sesuai dengan kemampuan dan keadaan diri kita, serta tidak ada tekanan batin yang meliputinya.
2. Jadilah seperti Ikan
Sebelum Muhammad Saw lahir dan sampai Beliau diangkat menjadi Rasul, keadaan masyarakat Makkah saat itu sangat memprihatinkan. Kita mengenalnya dengan istilah masyarakat jahiliyyah. Keseharian masyarakatnya selalu menyuguhkan hal-hal yang jauh dari keimanan, dan jauh dari gambaran masyarakat bermoral. Penyembahan berhala Latta dan Uzza selalu dilakukan. Setiap orang yang datang mengunjungi Rumah Suci (Ka’bah) selalu menambah koleksi berhala sebagai manifestasi keimanan politeistik. Unta, domba, dan binatang lain dipersembahkan untuk berhala mereka -disediakan tempat khusus di samping Rumah Suci sebagai tempat persembahan-. Meskipun demikian, ada juga yang menganut agama Ibrahim dengan setia, dia tidak mau menyembah berhala namun tetap larut dalam kehidupan masyarakat Makkah yang cenderung Jahiliyyah.
Di samping itu, dekadensi moral hampir ditemukan di setiap sudut kota Makkah. Pesta-pesta dan perayaan tidak mempersoalkan batasan antara laki-laki dan perempuan, semuanya bercampur aduk tanpa batas. Minuman keras ditemukan di sana-sini, bagaikan minuman ‘aqua’ atau ‘aguaria’ kalau saat ini. Perzinahan dan prostitusi menjadi suguhan yang menggiurkan dan terbuka secara umum, meski ada yang dilakukan sembunyi-sembunyi.
Perpecahan diantara suku di Makkah juga sering terjadi. Siapa yang kuat akan menindas dan menguasai yang lemah. Siapa yang saat itu sedang tinggi pamornya dan sedang berkuasa, dengan seenaknya merendahkan dan menghina yang sedang jatuh sekarat. Hukum sebagaimana hukum rimba menjadi pegangan bagi mereka, keeksistensian suatu suku tergantung pada seberapa besar kekuatan yang dimiliki suku tersebut. Hanya gara-gara persoalan sepele mereka tidak segan-segan mengangkat pedang untuk berperang dan saling membunuh. Demikian juga ketika diinformasikan bahwa anak perempuan menjadi penyebab rendahnya kehormatan suatu suku, maka mereka tidak segan-segan membunuh anak mereka yang lahir dengan berkelamin perempuan. Sungguh ironis masyarakat Makkah saat itu, Jahiliyyah, zaman yang jauh dari etika dan moralitas suatu bangsa.
Namun dari kondisi masyarakat Makkah yang seperti itu, Muhammad muda mampu menjaga diri agar tidak terlarut di dalamnya. Muhammad bukanlah manusia yang mudah terlibat dalam suatu masyarakat amoral, penuh dekadensi moral. Beliau bagaikan mutiar indah yang ditemukan dari tumpukan sekam yang berceceran. Khadijah sendiri mengatakan bahwa dia mencintai Muhammad karena Beliau mampu membaur dan berperan di masyarakat tanpa harus menjadi partisan di dalamnya. Ketika orang-orang sibuk dengan aktifitas masing-masing, Muhammad justru lebih suka menyendiri (bertahanus) untuk mencari makna kebenaran, dan sampailah saat Beliau menerima wahyu pertama ketika bertahanus di Gua Hira’. Muhammad tampil dengan sosok yang gagah dan penuh pendirian, tidak mudah terinveksi oleh virus dekadensi moral yang berkembang pada saat itu.
Pelajaran yang dapat diambil dari petikan sirah di atas adalah keteguhan dalam memegang prinsip dalam kehidupan ini. Kita tahu bahwa zaman yang kita arungi ini tidak jauh berbeda dengan gambaran masyarakat jahiliyah saat itu. Perkosaan, perzinahan, dan pelecehan seksual sudah menjadi pemandangan umum. Minum-munaman keras, kehidupan malam dengan pesta-pesta telanjangnya, dugem, narkoba, pembuhunan, perjudian, dan masih banyak lainnya sudah menjadi tontonan yang tidak asing lagi bagi kita. Pencurian yang dilakukan kaum ‘kerah putih’, pertikaian dan pertumbahan darah atas nama agama, penistaan agama, dll. semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat saat ini, di negeri tercinta ini. Bahkan untuk hal tertentu justru masyarakat sekarang bisa dibilang lebih jahiliyah dibandingkan dengan kondisi masyarakat Makkah saat itu. Lihat saja masalah aborsi. Saat ini justru lebih brutal dibandingkan dengan dulu (jahiliyah). Masyarakat jahiliyah membunuh anak yang lahir dengan berkelamin perempuan. Saat ini tidak perlu menunggu sampai persalinan datang, dan tidak perlu tahu berkelamin laki-laki atau perempuan, mereka tega membunuh anak meski masih dalam kandungan.
Sebagai muslim yang mengakui Muhammad Saw sebagai teladan hidup tentunya kita bisa menjadi muslim yang mampu beradaptasi dengan masyarakat tanpa harus ikut larut di dalamnya. Tetap mengikuti arus kehidupan ini, namun tetap memiliki pegangan kuat (agama), sehingga sederas apapun arus kehidupan ini mengalir kita tetap kuat dan terarah. Istilah peribahasanya, ‘jadilah seperti ikan’ di lautan. Air laut rasanya asin namun ikan-ikan di dalamnya tetap segar dan tidak ikut asin.
3. Kemandirian
Perlu diingat bahwa meskipun keturunan pemuka Quraisy yang disegani dan kaya, Abu Thalib ditakdirkan hidup dalam kondisi penuh kekurangan, ditambah lagi banyaknya anak yang dimiliki, selain Ja’far dan Ali. Saat Nabi hidup bersamanya, kira-kira dalam usia 8 tahunan lebih, Beliau membantu perekonomian keluarga pamannya dengan mengembala domba dan kambing milik orang lain sebagai mata pencaharian. Kemudian ketika menginjak usia 12 tahun Beliau ikut berdagang ke negeri Syam (sekarang Syria) bersama Abu Thalib dan kafilah-kafilah dagang lain. Sampailah pada usia 20 tahun Beliau dipercaya Khadijah, saudagar kaya dari Bani Asad, untuk membawa barang dagangan bersama pembantu setianya, Maysarah. Kepandaian Nabi dalam berdagang sangat memberikan keuntungan berlipat atas barang dagangan yang mereka bawa. Beliau mampu menjual barang dagangan hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Hal inilah yang diutarakan Maysarah kepada Khadijah, saat menceritakan perihal perdagangannya di Syria bersama Nabi. Karena kejujuran dan kecakapan Nabi dalam berdagang, Khadijah menaruh hati pada Beliau. Sampai akhirnya ketika Beliau berusia 25 tahun, Khadijah dengan terang-terangan mengutarakan isi hatinya kepada Nabi dengan didampingi seorang teman, Nufaysah. Khadijah berkata: “Wahai putra pamanku, Aku mencintaimu karena kebaikanmu padaku, juga karena engkau selalu terlibat dalam segala urusan di masyarakat tanpa menjadi partisan. Aku mencintaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran budi dan kejujuran perkataanmu”.
Dari petikan sirah nabawiyah di atas kita bisa mengambil pelajaran berharga dalam kehidupan ini, yaitu ‘kemandirian’. Kemandirian adalah sikap yang tidak lagi menggantungkan pada pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang yang memiliki sifat mandiri, ia selalu berusaha semaksimal mungkin mengembangkan diri dalam berkarya dan berproduksi di manapun berada. ‘Waktu’ yang dimilikinya (orang mandiri) dilukiskan seperti emas dan berlian yang bernilai jual tinggi. Oleh karena itu orang yang mandiri sangat memperhitungkan waktu dalam kesehariannya.
Orang yang memiliki kemandirian akan memiliki etos kerja tinggi, serta ia mampu berjalan dengan tegak di hadapan orang lain karena ia merasa bahwa tidak ada ‘balas jasa’ yang harus dibayarkan atas jasa orang lain kepada dirinya. Ia memiliki kepercayaan tinggi dalam mengarungi samudra kehidupan ini tanpa harus dirundung kekhawatiran karena tidak bisa menghidupi diri sendiri. Di samping itu pula, orang yang memiliki sifat kemandirian selalu mempunyai ide-ide cemerlang yang dijadikan formula untuk mendapatkan suatu hasil yang bermanfaat. Sampai-sampai Nabi sendiri pernah mengucapkan bahwa “produk kerja yang baik adalah produk kerja yang dihasilkan oleh tangan sendiri”.
Saat ini, orang yang memiliki sifat kemandirian memiliki banyak peluang menggapai berbagai kepentingan dalam kehidupan ini. Misalnya, (1) orang yang memiliki kemandirian, ia tidak takut lagi dan terikat oleh pekerjaan yang diberikan oleh orang lain; (2) orang yang mandiri lebih aktif untuk menjemput rizki; (3) orang yang mandiri lebih punya keberanian untuk meminang dan menikahi anak gadis orang, karena dia yakin bisa menghidupinya setelah menjadi istrinya; (4) orang yang mandiri tidak lagi ‘stres’ karena pekerjaan tidak kunjung didapatkannya; (5) orang yang mandiri menjadi ‘bos’ bagi dirinya sendiri, tidak ada lagi bos lagi yang menyuruhnya atau memarahinya jika ada kesalahan; (6) orang yang mandiri lebih tenang hidupnya; dan masih banyak keuntungan lain yang akan didapatkan jika kita memiliki sifat kemandirian.
4. Bacalah !
Nabi Saw menuturkan:
Malaikat itu mendekapku sampai aku sulit bernafas. Kemudian ia melepaskanku dan berkata, “Bacalah!” kujawab, “Aku tak dapat membaca.” Ia mendekapku lagi hingga aku pun merasa tersesak. Ia melepaskanku dan berkata, “Bacalah!” dan kembali kujawab, “Aku tak dapat membaca!” Lalu, ketiga kalinya, ia mendekapku seperti sebelumnya, kemudian melepaskanku dan berkata:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan! Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantara pena (qalam). Dia mengajarkan kepada manusia yang tidak diketahuinya.” (Q.S. 96: 1-5)
Ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi, yang tidak bisa membaca dan menulis, segera mengarahkan perhatian kita pada ilmu pengetahuan/pendidikan. Kendati Beliau tidak bisa membaca, Allah menyerunya untuk membaca; dengan nama Tuhanmu (Rabb, “Pendidik”), menjelaskan hubungan antara Tuhan (Allah Swt) dan ilmu pengetahuan. Pencipta dan manusia terhubung oleh keimanan yang membutuhkan dan bersandarkan ilmu pengetahuan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada manusia agar mereka mampu menjawab panggilan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Akal, kecerdasan, bahasa, dan tulisan membekali manusia dengan berbagai kemampuan yang dibutuhkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sejak awal, al-Qur’an mengaitkan pengakuan terhadap Sang Pencipta dengan ilmu pengetahuan, yang dengan sendirinya menegaskan asal usul penciptaan itu sendiri.
Terkait dengan bidang pendidikan Islam, makna ‘membaca’ seperti dalam surat al-Alaq sungguh mempunyai makna yang sangat penting. Fungsi pertama dan utama dari pendidikan Islam adalah memberikan kemampuan membaca (iqra’) pada peserta didik. Kemampuan membaca ini bukan hanya sebatas membaca tulisan, namun maknanya lebih luas, yakni mampu membaca fenomena alam, gejala sosial, dan berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, termasuk kejadian manusia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan Islam perlu adanya paradigma humanisme-teosentris, yakni mengembangkan keilmuan-keilmuan secara umum dengan tetap mengiringi nilai-nilai agama dalam pengembangannya. Humanisme-teosentris berperan aktif dalam firman yang disampaikan Allah Swt dalam surat Al-Alaq. Segenap manusia diperintahkan untuk membaca sebagai unsur humanisme yang didasari kekuatan spiritual Ilahiyah (unsur teosentris/tauhidi) yaitu “membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan manusia” (“iqra’ bismirabbik alladzi khalaq”)
5. From Zero to Hero
Mengaca pada sirah nabawiyah kita bisa mengambil suatu pelajaran berharga dari kehidupan baginda Rasulallah Saw. Meskipun berasal dari keturunan pemuka Quraisy yang terpandang dan terhormat, Muhammad kecil hidup dalam keterbatasan dan minimalis. Sebelum Beliau lahir – 2 bulan dalam kandungan – Ayahanda tercinta wafat di Yasrib (Madinah) ketika pulang berdagang dari Palestina dan Syria (Syam). Lalu setelah lahir (570 M, versi lain 571 M) beliau dititipkan kepada Halimah bint Abu Dhu’aib dari bani Sa’d suku Badui. Hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Makkah yang apabila melahirkan seorang bayi maka dibawa ke daerah padang pasir (suku Badui) untuk disusukan sampai usia penyapihan (2 tahun) serta untuk menghindari berbagai penyakit yang sering menjalar di Makkah. Kira-kira selama 2 tahun lebih hidup bersama Halimah, kemudian Muhammad dikembalikan kepada Ibundanya, Aminah. Selama lebih kurang tiga tahun Beliau hidup bersama ibunya di Makkah. Ketika menginjak usia 6 tahun Ibunda tercinta meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Yasrib ke Makkah, yaitu tepatnya di Abwa’. Sepeninggal Ibunda, Muhammad hidup bersama kakeknya, Abdul Mutholib, sampai berusia 8 tahun. Setelah kakeknya meninggal dunia, Muhammad dititipkan kepada pamannya, Abu Thalib, sampai usia dewasa. Dalam usia 6 tahun Muhammad Saw menyandang status ‘yatim’ sekaligus ‘piatu’, usia yang sangat butuh dampingan orang tua dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Kondisi Muhammad yang telah dipaparkan di atas menunjukkan kondisi rendah atau kondisi yang sangat perlu dikembangkan lebih lanjut. Dengan keteguhan, kerja keras, dan diiringi akhlak mulia, lalu Beliau mulai merangkak naik meningkatkan kualitas diri dalam kondisi kehidupan masyarakat Arab yang notabene memiliki watak mobilitas tinggi. Sampai beliau menjadi ‘staf’ kepercayaan Khadijah, yang selanjutnya menjadi suami tercinta. Khadijah adalah saudagar wanita terkaya putri Khuwaylid dari suku Asad keturunan Abdul Uzzah (saudara Abdu Manaf, klan Muhammad Saw).
Kembali pada pembahasan pelajaran ‘from zero to hero’. Dalam sebuah kamus, ‘zero’ diartikan sebagai kondisi nol, posisi rendah. Akan tetapi secara lebih luas, ‘zero’ di sini (dalam pandangan pendidikan Islam) dimaknai sebagai kondisi awal manusia yang memiliki fitrah atau potensi yang dibawa manusia sebagai anugerah dari Sang Khaliq, Allah Swt. Sedangkan ‘hero’ diterjemahkan sebagai posisi tinggi manusia atau kesuksesan setelah memberdayakan potensi/fitrah yang dimilikinya.
Islam menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu masih merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan. Seperti dijelaskan oleh Attoumy:
“Betapa pun juga faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku hingga tidak bisa dipengaruhi. Bahkan ia bisa dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting.”
Ditegaskan pula oleh hadits Nabi:
Setiap kelahiran (anak yang lahir) berada dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang mempengaruhi anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR musnad Ahmad bin Hambal)
Fitrah di sini tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabularasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial. Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan. Allah Swt berfirman:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl : 78)
Pengertian syukur dalam ayat tersebut adalah memanfaatkan sebaik-baiknya SDM (sumber daya manusia) yang berupa pancaindera yakni daya penglihatan dan pendengaran serta akal pikiran dan hati untuk memahami ayat-ayat Allah baik ayat qauliyah maupun kauniyah. Makna syukur dalam perspektif pendidikan ialah optimalisasi penggunaan SDM dan seluruh kapasitas belajar dalam proses belajar mengajar.
6. Persahabatan
Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong, hal yang tak mudah mengubah jadi indah
Bait lagu yang pernah dinyanyikan sekelompok remaja Indonesia di atas kiranya dapat menjadi renungan bagi kita. Memang tidak dipungkiri bahwa persahabatan itu ibarat ‘kepompong’ dimana hasilnya adalah ‘kupu-kupu’ yang indah. kepompong adalah proses metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu. Ulat adalah binatang yang menggelikan bahkan menakutkan, akan tetapi dengan proses kepompong ulat tersebut dapat menjadi kupu-kupu indah nan menawan yang menjadi simbol keindahan.
Begitu juga sebagaimana dalam kehidupan kita. Persahabatan akan menjadikan hidup kita terasa lebih indah, damai, dan menyenangkan. Di samping menjadi makhluk individu kita juga termasuk makhluk sosial, yang dalam perannya di masyarakat membutuhkan gandengan tangan dan bantuan orang lain. Seseorang yang tidak memiliki sahabat, sejatinya ia sudah mengalami ‘kematian’ sebelum kematian yang sesungguhnya datang. Ia akan merasa terisolir (termarjinalkan) dan bahkan keberadaannya seperti tidak adanya (wujudihi kaadamihi) dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan persahabatan, sesuatu yang berat menjadi terasa ringan, sesuatu yang sulit terasa mudah, sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Bahkan benang yang kusut dan tidak beraturan pun dapat menjadi benang yang lurus dan tertata rapi. Itulah persahabatan.
Persahabatan mudah dicari, namun sulit dipelihara keeratannya. Menjalin hubungan persahabatan dan memeliharanya membutuhkan keahlian dan strategi yang tepat. Salah menggunakan strategi sama artinya memutuskan hubungan persahabatan secara sepihak. Karena bisa saja perilaku yang kita anggap biasa-biasa saja justru menjadi penyebab retaknya jalinan persahabatan yang selama ini kita pelihara. Saya meyakini bahwa jika ingin berguru tentang persahabatan, bergurulah pada Muhammad Saw. Beliau adalah manusia yang memiliki strategi handal dalam menjalin dan memelihara sebuah persahabatan.
Muhammad Saw mampu menundukkan hati Abu Bakar, bangsawan kaya dan terpandang di kalangan kaum Quraisy. Begitu juga keras kepalanya Umar ibn Khattab, bisa ditundukkan dengan keluhuran budi dan kehalusan akhlak Beliau. Ketika ada suatu pertikaian diantara suku-suku di Makkah, Beliau dapat memberikan solusi yang tepat tanpa merugikan salah satu pihak yang bertikai. Ibarat mencari ikan, dapat ikannya tetapi tidak keruh airnya. Selain Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, masih banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya, Ja’far ibn Abu Thalib, Abdurrahman ibn Auf, Abdullah ibn Mas’ud, Bilal ibn Rabah, Ali ibn Abu Thalib, Abu Dzar al Ghifari, Abu Hurairah, Ustman ibn Affan, dll.
Di samping kelihaian Nabi dalam menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain, Beliau juga mampu memelihara persahabatan itu dengan baik dan bijaksana. Pernah suatu ketika Umar ibn Khattab berniat menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya tenang. Hafshah menjadi janda setelah ditinggal mati suaminya, Khunais ibn Hudzafah as Sahami. Untuk itu, Umar pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya itu. Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikitpun. Kemudian Umar menemui Ustman ibn Affan dengan permintaan yang sama. Tapi Ustman ketika itu masih berkabung karena istrinya, Ruqayah bint Muhammad, baru saja meninggal dunia. Ustman pun menolak permintaan Umar. Umar kecewa. Ia lalu menemui Rasulallah, mengadukan sikap kedua sahabatnya itu. Mendengar penuturan Umar, Rasulallah berkata, “Hafshah akan menikah dengan lelaki yang lebih baik daripada Ustman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan perempuan yang lebik baik daripada Hafshah.” Umar langsung mengerti bahwa Nabi sendiri yang akan meminang putrinya itu. Di sinilah kiranya pelajaran yang bisa kita ambil, yakni kerelaan untuk berkorban demi sahabat tercinta.
Jangan salah memilih sahabat, karena ia bisa ‘membunuh’ kita. Jangan keliru memilih sahabat, karena ia bisa membinasakan kita. Jangan terlena memilih sahabat, karena ia bisa menghianati kita. Pilihlah sahabat yang mau bersama dalam suka maupun duka. Pilihlah sahabat yang tiada pamrih adanya. Pilihlah sahabat yang mengerti keadaan kita. Pilihlah sahabat yang mau berkorban demi kebaikan bersama. Dan pilihlah sahabat yang selalu mengingatkan kita pada jalan kebenaran yang diridhoi Allah Swt.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebersahajaan atau kesederhanaan adalah salah satu sikap yang dimiliki oleh Rasulallah Saw. Kebersahajaan di sini diartikan sebagai sikap yang apa adanya dan fungsionalistik, bukanlah sikap yang ‘men-design’ atau menghias sedemikian rupa dari keadaan kita yang sebenarnya.
2. “Jadilah seperti Ikan” adalah sebuah kiasan yang memiliki makna ‘kemampuan menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat tanpa harus larut di dalamnya’, ‘memiliki pendirian kukuh (istiqomah) memegang nilai-nilai kebaikan.’
3. Dalam era penuh tantangan ini, kemandirian adalah sebuah keharusan. Dengan kemandirian seseorang tidak lagi bergantung pada uluran tangan orang lain yang justru akan merendahkan martabatnya sendiri. Kemandirian adalah pilihan tepat mengentaskan bangsa dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan.
4. “Bacalah!” adalah kata yang terucap pertama kali oleh Jibril kepada Muhammad sebagai bagian awal darii wahyu pertama yang diturunkan. Dalam ilmu pendidikan makna “Bacalah!” adalah perintah untuk meneliti, mengamati, mengambil ibroh, dan menformulasikan cara penyelesaian (problem solving) atas fenomena-fenomena alam semesta untuk kepentingan ilmu dan pengetahuan.
5. “From Zero to Hero”, sebuah prinsip yang hendaknya dipegang dalam rangka mengembangkan potensi fitrah yang dianugerahkan Allah Swt kepada kita, yakni mengoptimalisasikan kekuatan dasar kita menjadi kekuatan besar yang sarat dengan kebermanfaatan, baik bagi kita maupun bagi sesamanya.
6. Persahabatan bagaikan ‘kepompong’, hasilnya adalah keseimbangan dan keserasian hidup bermasyarakat yang baik/indah, sebagaimana kupu-kupu indah nan menawan yang dihasilkan dari kepompong. Hal ini menunjukkan bahwa persahabatan adalah bukti eksistensi kita sebagai makhluk sosial, dimana setiap saat kita sangat membutuhkan dampingan dan bantuan orang lain.
Akhirnya, sebuah harapan, semoga tulisan ini diridhoi Allah Swt untuk dapat bermanfaat bagi semua. Tulisan ini hanya sebuah upaya insan biasa yang menginginkan model kehidupan yang baik dan indah. Yang namanya upaya pasti ada kurang dan lebihnya. Apabila ada kurangnya, semoga Allah Swt senantiasa mengampuni, dan sangat diharapkan kritik dan masukan dari para pembaca. Begitu juga apabila ada lebihnya, semoga menjadi amal baik dan perlu dikembangkan lebih lanjut. Wallahu a’lam bish-showab.
Tersono, 13/02/2011
Kritik & Saran ke 085643217999,
email: moch.iskarim@yahoo.com
I. Pendahuluan
Puji syukur yang kita panjatkan kepada Ilahi Robbiy, Allah SWT, yang menguasai alam semesta ini, seharusnya bukanlah merupakan ucapan lisan semata yang merupakan “lip-servis”, akan tetapi harus mampu terwujud dalam perilaku nyata sebagai akhlaqul karimah. Begitu juga ketika kita menyampaikan sholawat dan salam kepada junjungan kita, Muhammad Ibn Abdillah, tiada berbeda, harus juga memiliki konsekuensi logis menjalankan ajaran yang beliau sampaikan dalam keseharian kita sebagai indikasi untuk mendapatkan pertolongannya (safa’at) di dunia juga akherat. Semoga kita tergolong hamba-Nya (Allah, Robbul’izzat) dan ummatnya (Muhammad, khotamul ambiya’) yang muslim, mukmin, sekaligus taqwa.
---
Muhammad Saw adalah putra ‘Abdullah cucu ‘Abdul Mutholib dari urutan Hasyim ibn ‘Abdu Manaf ibn Qushai (saudara Zuhrah yakni klan ibu Nabi, Aminah) ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka’b ibn Lu’ay ibn Ghalib dari Firh (dikenal sebagai Quraisy). Sedangkan Ibunda Muhammad adalah Aminah bint Wahab bint Zuhrah saudaranya Qushai. Dilihat dari Nasab antara Ayah dan Ibunda akan bertemu pada keturunan Murrah, yakni dari Kilab yang bersaudara dengan Taim (klan Abu Bakar dan Thalhah) dan Yaqazhah (mempunyai keturunan bani Makhzum, klan Abu Salamah dan Khalid ibn Walid).
Muhammad Saw bagaikan matahari yang menyinari kegelapan. Sinarnya membantu kita mengetahui sesuatu yang kita lihat. Dengan bantuan pancaran ajarannya kita bisa memilah dan memilih mana sesuatu yang baik dan mana pula yang buruk, mana hal yang membangun peradaban dan mana pula yang merusak. Melalui perannya sebagai utusan Allah (Rasulallah) kita bisa merasakan indahnya dan begitu teraturnya kehidupan ini. Bagaikan dalam sistem lalu lintas, ajaran Muhammad bak trafic-light (lampu pengatur lalu lintas) yang mengatur jalannya kendaraan dalam keteraturan tanpa benturan. Sungguh, Muhammad Saw adalah Sang teladan ummat. Tak terbatas pada ummat yang bersimbol Islam, akan tetapi keseluruhan ummat manusia, menembus batas tanpa membedakan latar belakang budaya, suku, bangsa, dan agama. Beliaulah Sang pembawa nilai-nilai mulia sebagai rahmatan lil ‘alamin (bagi totalitas kehidupan manusia), Muhammad ibn Abdillah, Abul Qosim.
Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
(Q.S. Al Anbiya’ : 107)
Kalau di dunia ini ditanyakan siapa yang tepat dijadikan sumber inspirasi, sumber petunjuk kemuliaan, Top figur teladan ummat, maka jawaban yang tidaklah mungkin disangkal adalah Muhammad Saw. Sehingga tak mustahil Muhammad Saw dijadikan 100 tokoh berpengaruh dunia dalam urutan no.1
Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (Q.S. al-Ahzab [33] : 21)
Bisa saja Muhammad Saw telah meninggalkan kita kurang lebih 1377 tahun yang lalu (w. 634 M), namun terasa Beliau masih bersama kita dalam kehidupan sampai saat ini. Beliau selalu menuntun setiap langkah kita. Menunjukkan bagaimana kita harus bersikap, berpikir, dan berbuat demi kemajuan kita. Ajaran Muhammad tidak terbatasi oleh usia yang terhentikan oleh kemangkatannya kepada Yang Maha Agung, Allah Swt. Sampai saat ini, bersama kita, Muhammad Saw masih hidup dan selalu akan hidup dalam setiap aktifititas kita sehari-hari. Allahumma Sholli ‘ala Muhammad..
II. Muhammad Saw; Rasul Zaman Kita
Setiap tahun, di bulan Robiul awwal, atau orang jawa bilang wulan mulud, kita selalu disuguhkan berbagai agenda untuk memperingati kelahiran Muhammad Saw. Dimulai dari acara pembacaan berzanji selama 12 hari lalu diadakan arak-arakan keliling dengan membawa oncor (penerang yang terbuat dari bambu dengan minyak tanah), pengajian-pengajian, ada juga yang mengadakan grebeg maulud yang biasa diadakan di keraton Jogja dan Solo, dan sebagainya. Kesemua agenda tersebut seakan-akan merupakan agenda “yang harus ada” di setiap bulan Maulud datang.
Namun, sebagai insan pembelajar, jangan sampai agenda yang setiap tahun dilaksanakan itu sampai kehilangan makna sejatinya, yakni mengambil pelajaran (ibroh) dari kehidupan Muhammad Saw. Serta, bagaimana pula akhlak Muhammad selalu mengiringi langkah dan aktifitas kita sehari-hari menuju peradaban ummat yang unggul dan bermartabat. Kuntum khoero ummatin ukhrijat linnas. Muhammad Saw adalah Rasul Zaman kita, diamana ajaran-ajarannya selalu hidup dalam kehidupan kita sehari-hari.
Beberapa pelajaran yang bisa kita ambil dari sirah nabawiyah –sedikit dari banyaknya pelajaran- adalah sebagaimana dijelaskan berikut.
1. Kebersahajaan
Kebersahajaan atau biasa kita kenal dengan kesederhanaan, adalah suatu sikap dan perbuatan yang apa adanya, bukan merupakan sesuatu yang di-design/dibentuk, dihias, sedemikian rupa oleh pelaku. Kebersahajaan juga diartikan sebagai sifat yang fungsionalistik, dimana keberadaan ‘fungsi’ dari sesuatu sangat ditekankan dibandingkan dengan ‘emosi’ si pelaku. Kebersahajaan jangan sampai dimaknai sebagai sikap dan perbuatan yang mencoba ‘memiskinkan diri’ atau ‘merendahkan diri’ dari keberadaan kita sesungguhnya. Terkadang kita melihat beberapa orang di sekitar kita yang berlaku demikian. Misalnya, orang tersebut memiliki mobil –karena dia mampu membeli mobil, bukan karena sarat gengsi- akan tetapi dia justru memilih naik sepeda ontel atau malah berjalan kaki. Harapannya biar dia dianggap sebagai orang yang berlaku ‘sahaja’ atau sederhana. Saya kira, dari kasus orang yang beli mobil ini bisa dikatakan sebagai orang yang berlaku sahaja/sederhana jika memang kehadiran mobil itu sangat fungsional dengan keadaannya dan sesuai dengan kemampuannya. Kecuali jika setiap minggu atau setiap bulan atau setiap tahun ia berkeinginan mengganti mobil biar dikatakan lux (mewah) dihadapan orang lain. Ini sudah persoalan lain, yang justru mengarah ke sifat sombong dan takabur.
Kebersahajaan akan menjadi kekuatan yang luar biasa, terutama dalam menjalani kehidupan saat ini yang sarat dengan gengsi dan kemunafikan. Kebersahajaan akan membuat hidup kita lebih tenang, damai, dan tidak ngoyo (memaksakan diri). Seseorang yang memiliki sifat bersahaja akan lebih mampu bertahan hidup dan terhindar dari berbagai penyakit. Lihat saja pada orang sekeliling kita yang suka ‘membohongi diri’ itu. Mereka lebih mudah terserang penyakit stres atau depresi. Jiwa mereka mudah tergoncang akibat gaya hidup yang tidak disesuaikan dengan kemampuannya.
Mari kita tilik sejarah kehidupan Muhammad Saw, Sang teladan Umat.
Dalam sirah nabawiyah; suatu ketika Umar mengunjungi Rasulallah. Beliau tengah berbaring di atas tikar. Tidak ada benda lain di sekitar tikar itu. Tikarnya meninggalkan bekas pada muka dan tangan Beliau. Umar melihat ke sekeliling untuk mencari persediaan makanan Rasullah. Umar hanya menemukan segenggam gandum dan daun-daun mimosa tergeletak di sudut ruangan. Di atas kedua benda itu tergantung kantong dari kulit domba yang disamak.
Di sisi lain, ketika Muhammad Saw akan menikah dengan Khadijah maka diutuslah Hamzah, paman Nabi, untuk menemui keluarga Khadijah. Dari pihak Khadijah diwakili ‘Amr Ibn Asad karena Khuwaylid, ayah Khadijah telah meninggal dunia. Dalam pertemuan antara keluarga Bani Hasyim dan Bani Asad ini dicapai suatu keputusan bahwa Muhammad harus memberinya mahar dua puluh ekor unta betina.
Petikan sejarah nabi yang pertama menunjukkan kepada kita kondisi kesederhanaan Nabi yang sarat dengan keberfungsionalan atau kebermanfaatan terhadap kepemilikan benda, di samping sifat Nabi yang zuhud secara sempurna –dan saya kira jarang sekali orang yang bisa mencontoh seperti zuhudnya Nabi ini-. Sedangkan petikan sejarah Nabi ketika proses menuju pelaminan antara Nabi dan Khadijah, menunjukkan pada kita tentang kemewahan yang disesuaikan dengan kemampuan kita. Bayangkan ketika itu Nabi harus memberi mahar dua puluh ekor unta betina. Kalau diperhitungkan dengan sudut pandang ekonomis akan diperoleh nominal uang yang tidak bisa dianggap sedikit. Misal saja, kalau harga unta saat ini Rp. 10 juta/ekor, maka mahar nabi sebesar Rp. 200 juta (20 x 10juta), nominal yang sangat fantastis.
Jadi, menurut saya, ada dua poin penting tentang kebersahajaan, yaitu:
a. Kebersahajaan adalah fungsionalistik, dimana kepemilikan suatu benda didasarkan pada fungsinya, bukan pada kemewahan atau gengsi yang akan didapat.
b. Kebersahajaan bisa juga berarti ‘mewah’, apabila sesuai dengan kemampuan dan keadaan diri kita, serta tidak ada tekanan batin yang meliputinya.
2. Jadilah seperti Ikan
Sebelum Muhammad Saw lahir dan sampai Beliau diangkat menjadi Rasul, keadaan masyarakat Makkah saat itu sangat memprihatinkan. Kita mengenalnya dengan istilah masyarakat jahiliyyah. Keseharian masyarakatnya selalu menyuguhkan hal-hal yang jauh dari keimanan, dan jauh dari gambaran masyarakat bermoral. Penyembahan berhala Latta dan Uzza selalu dilakukan. Setiap orang yang datang mengunjungi Rumah Suci (Ka’bah) selalu menambah koleksi berhala sebagai manifestasi keimanan politeistik. Unta, domba, dan binatang lain dipersembahkan untuk berhala mereka -disediakan tempat khusus di samping Rumah Suci sebagai tempat persembahan-. Meskipun demikian, ada juga yang menganut agama Ibrahim dengan setia, dia tidak mau menyembah berhala namun tetap larut dalam kehidupan masyarakat Makkah yang cenderung Jahiliyyah.
Di samping itu, dekadensi moral hampir ditemukan di setiap sudut kota Makkah. Pesta-pesta dan perayaan tidak mempersoalkan batasan antara laki-laki dan perempuan, semuanya bercampur aduk tanpa batas. Minuman keras ditemukan di sana-sini, bagaikan minuman ‘aqua’ atau ‘aguaria’ kalau saat ini. Perzinahan dan prostitusi menjadi suguhan yang menggiurkan dan terbuka secara umum, meski ada yang dilakukan sembunyi-sembunyi.
Perpecahan diantara suku di Makkah juga sering terjadi. Siapa yang kuat akan menindas dan menguasai yang lemah. Siapa yang saat itu sedang tinggi pamornya dan sedang berkuasa, dengan seenaknya merendahkan dan menghina yang sedang jatuh sekarat. Hukum sebagaimana hukum rimba menjadi pegangan bagi mereka, keeksistensian suatu suku tergantung pada seberapa besar kekuatan yang dimiliki suku tersebut. Hanya gara-gara persoalan sepele mereka tidak segan-segan mengangkat pedang untuk berperang dan saling membunuh. Demikian juga ketika diinformasikan bahwa anak perempuan menjadi penyebab rendahnya kehormatan suatu suku, maka mereka tidak segan-segan membunuh anak mereka yang lahir dengan berkelamin perempuan. Sungguh ironis masyarakat Makkah saat itu, Jahiliyyah, zaman yang jauh dari etika dan moralitas suatu bangsa.
Namun dari kondisi masyarakat Makkah yang seperti itu, Muhammad muda mampu menjaga diri agar tidak terlarut di dalamnya. Muhammad bukanlah manusia yang mudah terlibat dalam suatu masyarakat amoral, penuh dekadensi moral. Beliau bagaikan mutiar indah yang ditemukan dari tumpukan sekam yang berceceran. Khadijah sendiri mengatakan bahwa dia mencintai Muhammad karena Beliau mampu membaur dan berperan di masyarakat tanpa harus menjadi partisan di dalamnya. Ketika orang-orang sibuk dengan aktifitas masing-masing, Muhammad justru lebih suka menyendiri (bertahanus) untuk mencari makna kebenaran, dan sampailah saat Beliau menerima wahyu pertama ketika bertahanus di Gua Hira’. Muhammad tampil dengan sosok yang gagah dan penuh pendirian, tidak mudah terinveksi oleh virus dekadensi moral yang berkembang pada saat itu.
Pelajaran yang dapat diambil dari petikan sirah di atas adalah keteguhan dalam memegang prinsip dalam kehidupan ini. Kita tahu bahwa zaman yang kita arungi ini tidak jauh berbeda dengan gambaran masyarakat jahiliyah saat itu. Perkosaan, perzinahan, dan pelecehan seksual sudah menjadi pemandangan umum. Minum-munaman keras, kehidupan malam dengan pesta-pesta telanjangnya, dugem, narkoba, pembuhunan, perjudian, dan masih banyak lainnya sudah menjadi tontonan yang tidak asing lagi bagi kita. Pencurian yang dilakukan kaum ‘kerah putih’, pertikaian dan pertumbahan darah atas nama agama, penistaan agama, dll. semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat saat ini, di negeri tercinta ini. Bahkan untuk hal tertentu justru masyarakat sekarang bisa dibilang lebih jahiliyah dibandingkan dengan kondisi masyarakat Makkah saat itu. Lihat saja masalah aborsi. Saat ini justru lebih brutal dibandingkan dengan dulu (jahiliyah). Masyarakat jahiliyah membunuh anak yang lahir dengan berkelamin perempuan. Saat ini tidak perlu menunggu sampai persalinan datang, dan tidak perlu tahu berkelamin laki-laki atau perempuan, mereka tega membunuh anak meski masih dalam kandungan.
Sebagai muslim yang mengakui Muhammad Saw sebagai teladan hidup tentunya kita bisa menjadi muslim yang mampu beradaptasi dengan masyarakat tanpa harus ikut larut di dalamnya. Tetap mengikuti arus kehidupan ini, namun tetap memiliki pegangan kuat (agama), sehingga sederas apapun arus kehidupan ini mengalir kita tetap kuat dan terarah. Istilah peribahasanya, ‘jadilah seperti ikan’ di lautan. Air laut rasanya asin namun ikan-ikan di dalamnya tetap segar dan tidak ikut asin.
3. Kemandirian
Perlu diingat bahwa meskipun keturunan pemuka Quraisy yang disegani dan kaya, Abu Thalib ditakdirkan hidup dalam kondisi penuh kekurangan, ditambah lagi banyaknya anak yang dimiliki, selain Ja’far dan Ali. Saat Nabi hidup bersamanya, kira-kira dalam usia 8 tahunan lebih, Beliau membantu perekonomian keluarga pamannya dengan mengembala domba dan kambing milik orang lain sebagai mata pencaharian. Kemudian ketika menginjak usia 12 tahun Beliau ikut berdagang ke negeri Syam (sekarang Syria) bersama Abu Thalib dan kafilah-kafilah dagang lain. Sampailah pada usia 20 tahun Beliau dipercaya Khadijah, saudagar kaya dari Bani Asad, untuk membawa barang dagangan bersama pembantu setianya, Maysarah. Kepandaian Nabi dalam berdagang sangat memberikan keuntungan berlipat atas barang dagangan yang mereka bawa. Beliau mampu menjual barang dagangan hampir dua kali lipat dari harga yang dibayarkan. Hal inilah yang diutarakan Maysarah kepada Khadijah, saat menceritakan perihal perdagangannya di Syria bersama Nabi. Karena kejujuran dan kecakapan Nabi dalam berdagang, Khadijah menaruh hati pada Beliau. Sampai akhirnya ketika Beliau berusia 25 tahun, Khadijah dengan terang-terangan mengutarakan isi hatinya kepada Nabi dengan didampingi seorang teman, Nufaysah. Khadijah berkata: “Wahai putra pamanku, Aku mencintaimu karena kebaikanmu padaku, juga karena engkau selalu terlibat dalam segala urusan di masyarakat tanpa menjadi partisan. Aku mencintaimu karena engkau dapat diandalkan, juga karena keluhuran budi dan kejujuran perkataanmu”.
Dari petikan sirah nabawiyah di atas kita bisa mengambil pelajaran berharga dalam kehidupan ini, yaitu ‘kemandirian’. Kemandirian adalah sikap yang tidak lagi menggantungkan pada pihak lain untuk memenuhi kebutuhan hidup. Orang yang memiliki sifat mandiri, ia selalu berusaha semaksimal mungkin mengembangkan diri dalam berkarya dan berproduksi di manapun berada. ‘Waktu’ yang dimilikinya (orang mandiri) dilukiskan seperti emas dan berlian yang bernilai jual tinggi. Oleh karena itu orang yang mandiri sangat memperhitungkan waktu dalam kesehariannya.
Orang yang memiliki kemandirian akan memiliki etos kerja tinggi, serta ia mampu berjalan dengan tegak di hadapan orang lain karena ia merasa bahwa tidak ada ‘balas jasa’ yang harus dibayarkan atas jasa orang lain kepada dirinya. Ia memiliki kepercayaan tinggi dalam mengarungi samudra kehidupan ini tanpa harus dirundung kekhawatiran karena tidak bisa menghidupi diri sendiri. Di samping itu pula, orang yang memiliki sifat kemandirian selalu mempunyai ide-ide cemerlang yang dijadikan formula untuk mendapatkan suatu hasil yang bermanfaat. Sampai-sampai Nabi sendiri pernah mengucapkan bahwa “produk kerja yang baik adalah produk kerja yang dihasilkan oleh tangan sendiri”.
Saat ini, orang yang memiliki sifat kemandirian memiliki banyak peluang menggapai berbagai kepentingan dalam kehidupan ini. Misalnya, (1) orang yang memiliki kemandirian, ia tidak takut lagi dan terikat oleh pekerjaan yang diberikan oleh orang lain; (2) orang yang mandiri lebih aktif untuk menjemput rizki; (3) orang yang mandiri lebih punya keberanian untuk meminang dan menikahi anak gadis orang, karena dia yakin bisa menghidupinya setelah menjadi istrinya; (4) orang yang mandiri tidak lagi ‘stres’ karena pekerjaan tidak kunjung didapatkannya; (5) orang yang mandiri menjadi ‘bos’ bagi dirinya sendiri, tidak ada lagi bos lagi yang menyuruhnya atau memarahinya jika ada kesalahan; (6) orang yang mandiri lebih tenang hidupnya; dan masih banyak keuntungan lain yang akan didapatkan jika kita memiliki sifat kemandirian.
4. Bacalah !
Nabi Saw menuturkan:
Malaikat itu mendekapku sampai aku sulit bernafas. Kemudian ia melepaskanku dan berkata, “Bacalah!” kujawab, “Aku tak dapat membaca.” Ia mendekapku lagi hingga aku pun merasa tersesak. Ia melepaskanku dan berkata, “Bacalah!” dan kembali kujawab, “Aku tak dapat membaca!” Lalu, ketiga kalinya, ia mendekapku seperti sebelumnya, kemudian melepaskanku dan berkata:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang menciptakan! Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantara pena (qalam). Dia mengajarkan kepada manusia yang tidak diketahuinya.” (Q.S. 96: 1-5)
Ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi, yang tidak bisa membaca dan menulis, segera mengarahkan perhatian kita pada ilmu pengetahuan/pendidikan. Kendati Beliau tidak bisa membaca, Allah menyerunya untuk membaca; dengan nama Tuhanmu (Rabb, “Pendidik”), menjelaskan hubungan antara Tuhan (Allah Swt) dan ilmu pengetahuan. Pencipta dan manusia terhubung oleh keimanan yang membutuhkan dan bersandarkan ilmu pengetahuan yang dikaruniakan oleh Allah Swt kepada manusia agar mereka mampu menjawab panggilan-Nya dan mendekatkan diri kepada-Nya. Akal, kecerdasan, bahasa, dan tulisan membekali manusia dengan berbagai kemampuan yang dibutuhkan untuk mengemban tugas sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Sejak awal, al-Qur’an mengaitkan pengakuan terhadap Sang Pencipta dengan ilmu pengetahuan, yang dengan sendirinya menegaskan asal usul penciptaan itu sendiri.
Terkait dengan bidang pendidikan Islam, makna ‘membaca’ seperti dalam surat al-Alaq sungguh mempunyai makna yang sangat penting. Fungsi pertama dan utama dari pendidikan Islam adalah memberikan kemampuan membaca (iqra’) pada peserta didik. Kemampuan membaca ini bukan hanya sebatas membaca tulisan, namun maknanya lebih luas, yakni mampu membaca fenomena alam, gejala sosial, dan berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan, termasuk kejadian manusia. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan Islam perlu adanya paradigma humanisme-teosentris, yakni mengembangkan keilmuan-keilmuan secara umum dengan tetap mengiringi nilai-nilai agama dalam pengembangannya. Humanisme-teosentris berperan aktif dalam firman yang disampaikan Allah Swt dalam surat Al-Alaq. Segenap manusia diperintahkan untuk membaca sebagai unsur humanisme yang didasari kekuatan spiritual Ilahiyah (unsur teosentris/tauhidi) yaitu “membaca dengan nama Tuhan yang menciptakan manusia” (“iqra’ bismirabbik alladzi khalaq”)
5. From Zero to Hero
Mengaca pada sirah nabawiyah kita bisa mengambil suatu pelajaran berharga dari kehidupan baginda Rasulallah Saw. Meskipun berasal dari keturunan pemuka Quraisy yang terpandang dan terhormat, Muhammad kecil hidup dalam keterbatasan dan minimalis. Sebelum Beliau lahir – 2 bulan dalam kandungan – Ayahanda tercinta wafat di Yasrib (Madinah) ketika pulang berdagang dari Palestina dan Syria (Syam). Lalu setelah lahir (570 M, versi lain 571 M) beliau dititipkan kepada Halimah bint Abu Dhu’aib dari bani Sa’d suku Badui. Hal ini sesuai dengan kebiasaan orang Makkah yang apabila melahirkan seorang bayi maka dibawa ke daerah padang pasir (suku Badui) untuk disusukan sampai usia penyapihan (2 tahun) serta untuk menghindari berbagai penyakit yang sering menjalar di Makkah. Kira-kira selama 2 tahun lebih hidup bersama Halimah, kemudian Muhammad dikembalikan kepada Ibundanya, Aminah. Selama lebih kurang tiga tahun Beliau hidup bersama ibunya di Makkah. Ketika menginjak usia 6 tahun Ibunda tercinta meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari Yasrib ke Makkah, yaitu tepatnya di Abwa’. Sepeninggal Ibunda, Muhammad hidup bersama kakeknya, Abdul Mutholib, sampai berusia 8 tahun. Setelah kakeknya meninggal dunia, Muhammad dititipkan kepada pamannya, Abu Thalib, sampai usia dewasa. Dalam usia 6 tahun Muhammad Saw menyandang status ‘yatim’ sekaligus ‘piatu’, usia yang sangat butuh dampingan orang tua dalam pertumbuhan dan perkembangannya.
Kondisi Muhammad yang telah dipaparkan di atas menunjukkan kondisi rendah atau kondisi yang sangat perlu dikembangkan lebih lanjut. Dengan keteguhan, kerja keras, dan diiringi akhlak mulia, lalu Beliau mulai merangkak naik meningkatkan kualitas diri dalam kondisi kehidupan masyarakat Arab yang notabene memiliki watak mobilitas tinggi. Sampai beliau menjadi ‘staf’ kepercayaan Khadijah, yang selanjutnya menjadi suami tercinta. Khadijah adalah saudagar wanita terkaya putri Khuwaylid dari suku Asad keturunan Abdul Uzzah (saudara Abdu Manaf, klan Muhammad Saw).
Kembali pada pembahasan pelajaran ‘from zero to hero’. Dalam sebuah kamus, ‘zero’ diartikan sebagai kondisi nol, posisi rendah. Akan tetapi secara lebih luas, ‘zero’ di sini (dalam pandangan pendidikan Islam) dimaknai sebagai kondisi awal manusia yang memiliki fitrah atau potensi yang dibawa manusia sebagai anugerah dari Sang Khaliq, Allah Swt. Sedangkan ‘hero’ diterjemahkan sebagai posisi tinggi manusia atau kesuksesan setelah memberdayakan potensi/fitrah yang dimilikinya.
Islam menegaskan bahwa manusia memiliki fitrah dan sumber daya insani, serta bakat-bakat bawaan atau keturunan, meskipun semua itu masih merupakan potensi yang mengandung berbagai kemungkinan. Seperti dijelaskan oleh Attoumy:
“Betapa pun juga faktor keturunan tidaklah merupakan suatu yang kaku hingga tidak bisa dipengaruhi. Bahkan ia bisa dilenturkan dalam batas tertentu. Alat untuk melentur dan mengubahnya ialah lingkungan dengan segala anasirnya. Lingkungan sekitar ialah aspek pendidikan yang penting.”
Ditegaskan pula oleh hadits Nabi:
Setiap kelahiran (anak yang lahir) berada dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang mempengaruhi anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (HR musnad Ahmad bin Hambal)
Fitrah di sini tidak berarti kosong atau bersih seperti teori tabularasa tetapi merupakan pola dasar yang dilengkapi dengan berbagai sumber daya manusia yang potensial. Karena masih merupakan potensi maka fitrah itu belum berarti bagi kehidupan manusia sebelum dikembangkan, didayagunakan dan diaktualisasikan. Allah Swt berfirman:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-Nahl : 78)
Pengertian syukur dalam ayat tersebut adalah memanfaatkan sebaik-baiknya SDM (sumber daya manusia) yang berupa pancaindera yakni daya penglihatan dan pendengaran serta akal pikiran dan hati untuk memahami ayat-ayat Allah baik ayat qauliyah maupun kauniyah. Makna syukur dalam perspektif pendidikan ialah optimalisasi penggunaan SDM dan seluruh kapasitas belajar dalam proses belajar mengajar.
6. Persahabatan
Persahabatan bagai kepompong, mengubah ulat menjadi kupu-kupu
Persahabatan bagai kepompong, hal yang tak mudah mengubah jadi indah
Bait lagu yang pernah dinyanyikan sekelompok remaja Indonesia di atas kiranya dapat menjadi renungan bagi kita. Memang tidak dipungkiri bahwa persahabatan itu ibarat ‘kepompong’ dimana hasilnya adalah ‘kupu-kupu’ yang indah. kepompong adalah proses metamorfosis dari ulat menjadi kupu-kupu. Ulat adalah binatang yang menggelikan bahkan menakutkan, akan tetapi dengan proses kepompong ulat tersebut dapat menjadi kupu-kupu indah nan menawan yang menjadi simbol keindahan.
Begitu juga sebagaimana dalam kehidupan kita. Persahabatan akan menjadikan hidup kita terasa lebih indah, damai, dan menyenangkan. Di samping menjadi makhluk individu kita juga termasuk makhluk sosial, yang dalam perannya di masyarakat membutuhkan gandengan tangan dan bantuan orang lain. Seseorang yang tidak memiliki sahabat, sejatinya ia sudah mengalami ‘kematian’ sebelum kematian yang sesungguhnya datang. Ia akan merasa terisolir (termarjinalkan) dan bahkan keberadaannya seperti tidak adanya (wujudihi kaadamihi) dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan persahabatan, sesuatu yang berat menjadi terasa ringan, sesuatu yang sulit terasa mudah, sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin. Bahkan benang yang kusut dan tidak beraturan pun dapat menjadi benang yang lurus dan tertata rapi. Itulah persahabatan.
Persahabatan mudah dicari, namun sulit dipelihara keeratannya. Menjalin hubungan persahabatan dan memeliharanya membutuhkan keahlian dan strategi yang tepat. Salah menggunakan strategi sama artinya memutuskan hubungan persahabatan secara sepihak. Karena bisa saja perilaku yang kita anggap biasa-biasa saja justru menjadi penyebab retaknya jalinan persahabatan yang selama ini kita pelihara. Saya meyakini bahwa jika ingin berguru tentang persahabatan, bergurulah pada Muhammad Saw. Beliau adalah manusia yang memiliki strategi handal dalam menjalin dan memelihara sebuah persahabatan.
Muhammad Saw mampu menundukkan hati Abu Bakar, bangsawan kaya dan terpandang di kalangan kaum Quraisy. Begitu juga keras kepalanya Umar ibn Khattab, bisa ditundukkan dengan keluhuran budi dan kehalusan akhlak Beliau. Ketika ada suatu pertikaian diantara suku-suku di Makkah, Beliau dapat memberikan solusi yang tepat tanpa merugikan salah satu pihak yang bertikai. Ibarat mencari ikan, dapat ikannya tetapi tidak keruh airnya. Selain Abu Bakar dan Umar ibn Khattab, masih banyak sahabat Nabi yang lain. Misalnya, Ja’far ibn Abu Thalib, Abdurrahman ibn Auf, Abdullah ibn Mas’ud, Bilal ibn Rabah, Ali ibn Abu Thalib, Abu Dzar al Ghifari, Abu Hurairah, Ustman ibn Affan, dll.
Di samping kelihaian Nabi dalam menjalin hubungan persahabatan dengan orang lain, Beliau juga mampu memelihara persahabatan itu dengan baik dan bijaksana. Pernah suatu ketika Umar ibn Khattab berniat menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya tenang. Hafshah menjadi janda setelah ditinggal mati suaminya, Khunais ibn Hudzafah as Sahami. Untuk itu, Umar pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya itu. Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikitpun. Kemudian Umar menemui Ustman ibn Affan dengan permintaan yang sama. Tapi Ustman ketika itu masih berkabung karena istrinya, Ruqayah bint Muhammad, baru saja meninggal dunia. Ustman pun menolak permintaan Umar. Umar kecewa. Ia lalu menemui Rasulallah, mengadukan sikap kedua sahabatnya itu. Mendengar penuturan Umar, Rasulallah berkata, “Hafshah akan menikah dengan lelaki yang lebih baik daripada Ustman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan perempuan yang lebik baik daripada Hafshah.” Umar langsung mengerti bahwa Nabi sendiri yang akan meminang putrinya itu. Di sinilah kiranya pelajaran yang bisa kita ambil, yakni kerelaan untuk berkorban demi sahabat tercinta.
Jangan salah memilih sahabat, karena ia bisa ‘membunuh’ kita. Jangan keliru memilih sahabat, karena ia bisa membinasakan kita. Jangan terlena memilih sahabat, karena ia bisa menghianati kita. Pilihlah sahabat yang mau bersama dalam suka maupun duka. Pilihlah sahabat yang tiada pamrih adanya. Pilihlah sahabat yang mengerti keadaan kita. Pilihlah sahabat yang mau berkorban demi kebaikan bersama. Dan pilihlah sahabat yang selalu mengingatkan kita pada jalan kebenaran yang diridhoi Allah Swt.
III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Kebersahajaan atau kesederhanaan adalah salah satu sikap yang dimiliki oleh Rasulallah Saw. Kebersahajaan di sini diartikan sebagai sikap yang apa adanya dan fungsionalistik, bukanlah sikap yang ‘men-design’ atau menghias sedemikian rupa dari keadaan kita yang sebenarnya.
2. “Jadilah seperti Ikan” adalah sebuah kiasan yang memiliki makna ‘kemampuan menyesuaikan diri dalam kehidupan masyarakat tanpa harus larut di dalamnya’, ‘memiliki pendirian kukuh (istiqomah) memegang nilai-nilai kebaikan.’
3. Dalam era penuh tantangan ini, kemandirian adalah sebuah keharusan. Dengan kemandirian seseorang tidak lagi bergantung pada uluran tangan orang lain yang justru akan merendahkan martabatnya sendiri. Kemandirian adalah pilihan tepat mengentaskan bangsa dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertindasan.
4. “Bacalah!” adalah kata yang terucap pertama kali oleh Jibril kepada Muhammad sebagai bagian awal darii wahyu pertama yang diturunkan. Dalam ilmu pendidikan makna “Bacalah!” adalah perintah untuk meneliti, mengamati, mengambil ibroh, dan menformulasikan cara penyelesaian (problem solving) atas fenomena-fenomena alam semesta untuk kepentingan ilmu dan pengetahuan.
5. “From Zero to Hero”, sebuah prinsip yang hendaknya dipegang dalam rangka mengembangkan potensi fitrah yang dianugerahkan Allah Swt kepada kita, yakni mengoptimalisasikan kekuatan dasar kita menjadi kekuatan besar yang sarat dengan kebermanfaatan, baik bagi kita maupun bagi sesamanya.
6. Persahabatan bagaikan ‘kepompong’, hasilnya adalah keseimbangan dan keserasian hidup bermasyarakat yang baik/indah, sebagaimana kupu-kupu indah nan menawan yang dihasilkan dari kepompong. Hal ini menunjukkan bahwa persahabatan adalah bukti eksistensi kita sebagai makhluk sosial, dimana setiap saat kita sangat membutuhkan dampingan dan bantuan orang lain.
Akhirnya, sebuah harapan, semoga tulisan ini diridhoi Allah Swt untuk dapat bermanfaat bagi semua. Tulisan ini hanya sebuah upaya insan biasa yang menginginkan model kehidupan yang baik dan indah. Yang namanya upaya pasti ada kurang dan lebihnya. Apabila ada kurangnya, semoga Allah Swt senantiasa mengampuni, dan sangat diharapkan kritik dan masukan dari para pembaca. Begitu juga apabila ada lebihnya, semoga menjadi amal baik dan perlu dikembangkan lebih lanjut. Wallahu a’lam bish-showab.
Tersono, 13/02/2011
Kritik & Saran ke 085643217999,
email: moch.iskarim@yahoo.com
Rabu, 19 Januari 2011
Value-Free
Ada sebuah pernyataan dari sebagian masyarakat, yang saya kira perlu dicermati dan alangkah lebih baiknya dijelaskan -mungkin mereka kurang begitu memahaminya-. Pernyataan ini terkait dengan moralitas dan prestasi anak didik. Secara tidak langsung saya uraikan begini;
ketika ada seorang siswa memiliki moralitas yang kurang baik -atau akhlakul madzmumah-, maka secara spontan mereka (masyakat) mengatakan "anak itu kok perilakunya jelek, suka membentak-bentak orang tua, suka mencuri, suka berkata jorok sih... siapa sih guru agamanya? siapa sih guru ngajinya?". Sebaliknya, ketika ada seorang anak yang pandai dan berprestasi seringkali masyarakat mengatakan: "si anu tuh kok pinter banget ya.. siapa sih orang tuanya?"
Terlepas dari pernyataan yang kedua, kita bisa menelaah pada pernyataan pertama di mana yang sering kena getahnya adalah para pendidik yang mengampu mata pelajaran yang kebetulan ada embel-embelnya "agama" atau "islam" atau mungkin juga agama lain. Pernyataan di atas -dipandang dari sudut pendidikan- bisa juga karena kita seringkali (menganggap) kewajiban menyampaikan dan mengajarkan nilai-nilai moralitas itu adalah guru ngaji, atau guru agama. Di sisi lain, guru mata pelajaran selain guru agama tidak berkewajiban membentuk moralitas anak atau ikut menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak didik. Saya kira inilah yang kemudian menjadikan pendidikan kita selama ini tergolong pendidikan sekuler, dimana yang tidak bebas nilai itu hanya pendidikan agama saja, sedangkan pendidikan umum lainnya bebas nilai.
Untuk menjembatani hal semacam itu, maka akan lebih baik bila kita memiliki pandangan bahwa setiap ilmu itu tidak ada yang bebas nilai (value-free). Pendidikan moral (nilai-nilai) tidak hanya dibebankan pada pendidikan agama saja, akan tetapi pelajaran lain pun memiliki andil di dalamnya. Bisa saja yang disampaikan di kelas itu pelajaran Biologi, akan tetapi guru harus mampu menanamkan nilai relegiusitas pada siswa dengan menumbuhkan perasaan takjub (tafakkur) pada kebesaran Ilahi. misal saja, ketika guru biologi menerangkan bab pembentukan janin yang kemudian menjadi manusia utuh yang bisa berjalan, berbicara, makan, minum dan lain sebagainya. Seorang guru tersebut harus mampu mengarahkan pada peserta didik akan kebesaran Tuhan dalam menciptakan dari setetes air mani menjadi bentuk manusia utuh seperti itu. Di sinilah value itu di sampaikan. Pokok persoalan di sini terletak pada esensi nilai yang akan disampaikan bukan pada media penyampainya. Semua ilmu dapat menyampaikan nilai-nilai yang diharapkan, hanya saja mungkin dengan menggunakan pendekatan yang berbeda di sesuaikan dengan bidang ilmu masing-masing.
Begitu juga dalam pelajaran atau ilmu-ilmu lain, semuanya tidak ada yang bebas nilai, seperti pandangan sekulerisme -yang mengatakan ilmu itu bebas nilai-.
Oleh karena itu saya kira, mulai dari sekarang pikiran yang berbau sekulerisme semacam yang disampaikan di atas tersebut betul-betul harus kita rubah menjadi paradigma yang lebih luas, yakni integralisme dalam ilmu. Apapun bidang keilmuan yang diajarkan di situlah terletak nilai (value) yang perlu diajarkan kepada peserta didik/siswa. Jangan sampai hanya dibebankan pada guru PAI atau lebih luasnya tokoh agama saja yang memiliki kewajiban menyampaikan nilai kemuliaan. Siapapun kita, bidang kajian apapun yang kita dalami, kita semua memiliki kewajiban menyampaikan nilai (moralitas) kepada si penerima. wallahu'alam bish-showab
tulisan yang sedikit dan -menurut penulis- banyak pengulangan di sana sini ini semoga bermanfaat. amien. jogja
ketika ada seorang siswa memiliki moralitas yang kurang baik -atau akhlakul madzmumah-, maka secara spontan mereka (masyakat) mengatakan "anak itu kok perilakunya jelek, suka membentak-bentak orang tua, suka mencuri, suka berkata jorok sih... siapa sih guru agamanya? siapa sih guru ngajinya?". Sebaliknya, ketika ada seorang anak yang pandai dan berprestasi seringkali masyarakat mengatakan: "si anu tuh kok pinter banget ya.. siapa sih orang tuanya?"
Terlepas dari pernyataan yang kedua, kita bisa menelaah pada pernyataan pertama di mana yang sering kena getahnya adalah para pendidik yang mengampu mata pelajaran yang kebetulan ada embel-embelnya "agama" atau "islam" atau mungkin juga agama lain. Pernyataan di atas -dipandang dari sudut pendidikan- bisa juga karena kita seringkali (menganggap) kewajiban menyampaikan dan mengajarkan nilai-nilai moralitas itu adalah guru ngaji, atau guru agama. Di sisi lain, guru mata pelajaran selain guru agama tidak berkewajiban membentuk moralitas anak atau ikut menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak didik. Saya kira inilah yang kemudian menjadikan pendidikan kita selama ini tergolong pendidikan sekuler, dimana yang tidak bebas nilai itu hanya pendidikan agama saja, sedangkan pendidikan umum lainnya bebas nilai.
Untuk menjembatani hal semacam itu, maka akan lebih baik bila kita memiliki pandangan bahwa setiap ilmu itu tidak ada yang bebas nilai (value-free). Pendidikan moral (nilai-nilai) tidak hanya dibebankan pada pendidikan agama saja, akan tetapi pelajaran lain pun memiliki andil di dalamnya. Bisa saja yang disampaikan di kelas itu pelajaran Biologi, akan tetapi guru harus mampu menanamkan nilai relegiusitas pada siswa dengan menumbuhkan perasaan takjub (tafakkur) pada kebesaran Ilahi. misal saja, ketika guru biologi menerangkan bab pembentukan janin yang kemudian menjadi manusia utuh yang bisa berjalan, berbicara, makan, minum dan lain sebagainya. Seorang guru tersebut harus mampu mengarahkan pada peserta didik akan kebesaran Tuhan dalam menciptakan dari setetes air mani menjadi bentuk manusia utuh seperti itu. Di sinilah value itu di sampaikan. Pokok persoalan di sini terletak pada esensi nilai yang akan disampaikan bukan pada media penyampainya. Semua ilmu dapat menyampaikan nilai-nilai yang diharapkan, hanya saja mungkin dengan menggunakan pendekatan yang berbeda di sesuaikan dengan bidang ilmu masing-masing.
Begitu juga dalam pelajaran atau ilmu-ilmu lain, semuanya tidak ada yang bebas nilai, seperti pandangan sekulerisme -yang mengatakan ilmu itu bebas nilai-.
Oleh karena itu saya kira, mulai dari sekarang pikiran yang berbau sekulerisme semacam yang disampaikan di atas tersebut betul-betul harus kita rubah menjadi paradigma yang lebih luas, yakni integralisme dalam ilmu. Apapun bidang keilmuan yang diajarkan di situlah terletak nilai (value) yang perlu diajarkan kepada peserta didik/siswa. Jangan sampai hanya dibebankan pada guru PAI atau lebih luasnya tokoh agama saja yang memiliki kewajiban menyampaikan nilai kemuliaan. Siapapun kita, bidang kajian apapun yang kita dalami, kita semua memiliki kewajiban menyampaikan nilai (moralitas) kepada si penerima. wallahu'alam bish-showab
tulisan yang sedikit dan -menurut penulis- banyak pengulangan di sana sini ini semoga bermanfaat. amien. jogja
Selasa, 18 Januari 2011
Objekftifikasi dalam Islam
Kata objektifikasi berasal dari kata objektif, yang berarti "the act of objectifying","membuat sesuatu menjadi objektif". Sesuatu dianggap objektif kalau keberadaannya tidak bergantung pada pikiran sang subjek, tetapi berdiri sendiri secara independen. Jadi, jika A adalah objektifikasi dari B, maka A adalah B yang telah dibuat objektif oleh sang subjek.
Dalam Islam ada kategori objektif yang hukumnya mubah (mengerjakan atau tidak, tidak berpahala atau pun dosa). Tarikh Nabi menceritakan bahwa tawanan perang Badar dipekerjakan untuk mengajari anak-anak Muslim belajar membaca dan menulis. Suatu Hadis menganjurkan agar umat islam mencari ilmu sampai negeri Cina, hal ini juga mengisyaratkan bahwa ada hal-hal yang objektif. Selain jaraknya jauh, Cina pada abad ke-7 -dimana Islam tumbuh dan berkembang- pastilah termasuk negeri kafir (komunis). Di samping itu Islam juga belajar filsafat dari Yunani, strategi perang dan pembuatan alat-alat perang serta sistem birokrasi dari Persia, belajar matematika dari India -yang notabene beragama Hindu-. Sekarang juga kita bisa saksikan banyak kaum Muslimin yang belajar di negera sekuler, semisal Amerika, Kanada, Australia, Turki dan Mesir. Tidak ditemukan dalam kewajiban Agama (teks normatif) yang mengajarkan pada kita untuk harus belajar ke Mekkah atau Madinah. Kewajiban agama hanya belajarnya, sedangkan tempatnya tidak ditentukan oleh agama, alias ditentukan berdasarkan kriteria secara objektif.
Objektifikasi juga berlaku saat kita mau membeli makanan, alat-alat elektronik, mobil, motor, sepeda, atau hal lainnya. Orang yang datang untuk membeli sesuatu tidaklah kemudian ditanya agamanya apa dulu, budayanya, asal daerahnya, dan lain sebagainya. Pembeli cenderung akan membeli sesuatu yang kira-kira harganya miring (mudah dijangkau) dengan kualitas yang bagus. Begitu juga saat aktris dan aktor bermain film, yang dilihat adalah kebolehan mereka dalam beraktingnya bukan dilihat latar belakang agamanya apa, daerah berasalnya mana, dan lain sebagainya. Pengecualian dalam hal membeli makanan, mungkin Islam menganjurkan utuk memilih makanan yang tidak adanya unsur haram -misalnya bahannya dari sesuatu yang haram, atau kadar zat yang dilarang, alkohol, dll-, secara objektif hal ini diterima secara objektif oleh non-muslim). Akan tetapi selebihnya orang akan memilih berdasarkan kriteria objektif.
Demikian halnya di tempat-tempat umum, objektifikasi sangat kental di dalamnya. misalnya, di angkutan umum, bank, pekerja pabrik, guru, supir, buruh, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memungkinkan berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini tidaklah kemudian mempertimbangkan latar belakang agama orang yang diajak berinteraksi akan tetapi sifat objektif, tidak memandang siapa yang diajak bicara, di sinilah objektifikasi berperan.
contoh-contoh di atas adalah perilaku objektif secara pasif, dalam arti menerima kenyataan objektif yang disodorkan kepda umat. Umat Islam juga dituntut untuk berlaku objektif secara aktif. Prinsip Islam adalah rahmat untuk alam semesta (rahmatan lil alamin), dalam arti Islam diturunkan sebagai rahmat untuk semua umat, kepada siapa pun, tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan oleh agama bahwa umat Islam harus berlaku adil, tanpa pandang bulu -kerabat, status, kelas golongan, atau yang membayar lebih. Supaya Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapa pun, obejektifikasi Islam kiranya perlu diketahui dan diaplikasikan secara luas dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu 'alam bish-showab.
semoga secercah pengetahuan yang ditulis di pagi hari ini dapat bermanfaat bagi pembaca. amin
Jogja, 19 Jan 2011, dalam kamar kecil saat menunggu waktu tuk berangkat kerja
Dalam Islam ada kategori objektif yang hukumnya mubah (mengerjakan atau tidak, tidak berpahala atau pun dosa). Tarikh Nabi menceritakan bahwa tawanan perang Badar dipekerjakan untuk mengajari anak-anak Muslim belajar membaca dan menulis. Suatu Hadis menganjurkan agar umat islam mencari ilmu sampai negeri Cina, hal ini juga mengisyaratkan bahwa ada hal-hal yang objektif. Selain jaraknya jauh, Cina pada abad ke-7 -dimana Islam tumbuh dan berkembang- pastilah termasuk negeri kafir (komunis). Di samping itu Islam juga belajar filsafat dari Yunani, strategi perang dan pembuatan alat-alat perang serta sistem birokrasi dari Persia, belajar matematika dari India -yang notabene beragama Hindu-. Sekarang juga kita bisa saksikan banyak kaum Muslimin yang belajar di negera sekuler, semisal Amerika, Kanada, Australia, Turki dan Mesir. Tidak ditemukan dalam kewajiban Agama (teks normatif) yang mengajarkan pada kita untuk harus belajar ke Mekkah atau Madinah. Kewajiban agama hanya belajarnya, sedangkan tempatnya tidak ditentukan oleh agama, alias ditentukan berdasarkan kriteria secara objektif.
Objektifikasi juga berlaku saat kita mau membeli makanan, alat-alat elektronik, mobil, motor, sepeda, atau hal lainnya. Orang yang datang untuk membeli sesuatu tidaklah kemudian ditanya agamanya apa dulu, budayanya, asal daerahnya, dan lain sebagainya. Pembeli cenderung akan membeli sesuatu yang kira-kira harganya miring (mudah dijangkau) dengan kualitas yang bagus. Begitu juga saat aktris dan aktor bermain film, yang dilihat adalah kebolehan mereka dalam beraktingnya bukan dilihat latar belakang agamanya apa, daerah berasalnya mana, dan lain sebagainya. Pengecualian dalam hal membeli makanan, mungkin Islam menganjurkan utuk memilih makanan yang tidak adanya unsur haram -misalnya bahannya dari sesuatu yang haram, atau kadar zat yang dilarang, alkohol, dll-, secara objektif hal ini diterima secara objektif oleh non-muslim). Akan tetapi selebihnya orang akan memilih berdasarkan kriteria objektif.
Demikian halnya di tempat-tempat umum, objektifikasi sangat kental di dalamnya. misalnya, di angkutan umum, bank, pekerja pabrik, guru, supir, buruh, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memungkinkan berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini tidaklah kemudian mempertimbangkan latar belakang agama orang yang diajak berinteraksi akan tetapi sifat objektif, tidak memandang siapa yang diajak bicara, di sinilah objektifikasi berperan.
contoh-contoh di atas adalah perilaku objektif secara pasif, dalam arti menerima kenyataan objektif yang disodorkan kepda umat. Umat Islam juga dituntut untuk berlaku objektif secara aktif. Prinsip Islam adalah rahmat untuk alam semesta (rahmatan lil alamin), dalam arti Islam diturunkan sebagai rahmat untuk semua umat, kepada siapa pun, tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan oleh agama bahwa umat Islam harus berlaku adil, tanpa pandang bulu -kerabat, status, kelas golongan, atau yang membayar lebih. Supaya Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapa pun, obejektifikasi Islam kiranya perlu diketahui dan diaplikasikan secara luas dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu 'alam bish-showab.
semoga secercah pengetahuan yang ditulis di pagi hari ini dapat bermanfaat bagi pembaca. amin
Jogja, 19 Jan 2011, dalam kamar kecil saat menunggu waktu tuk berangkat kerja
PAI dalam Menyikapi Era Pluralisme Agama
I. Pendahuluan
Pluralisme atau kemajemukan agama merupakan suatu fenomena yang mustahil dihindari. Manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Dalam suasana yang majemuk ini, ditambah klaim kebenaran (truth claim) dan watak misioner dari setiap agama, menjadikan umat beragama sebagai kelompok masyarakat yang amat rentan dengan konflik. Konflik yang cenderung disakralkan karena mengatasnamakan agama (kebenaran).
Secara historis-sosiologis, pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman, tak terkecuali agama. Tidak diturunkan agama dalam konteks ruang dan waktu yang sama, tetapi dalam penggalan kontinum ruang dan waktu, mengharuskan manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing, agama Yahudi dengan penganutnya, agama Kristen dengan umatnya, agama Hindu, Budha dan lain-lain. Bahkan tidak itu kitapun menghadapi kalau tidak di Negara kita tentu di Negara lain orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.
Pluralitas bukanlah hal yang merugikan bagi keberadaan kehidupan. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakikatnya menolak esensi kehidupan.
Sungguh pun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural, tetapi di dalamnya berlangsung ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan lemahnya hukum serta rendahnya disiplin masyarakat. Kalau itu yang terjadi, pluralitas dapat berubah menjadi ancaman yang seringkali memicu timbulnya ketegangan, pertentangan, bahkan konflik yang seringkali mengambil kekerasan.
Dalam menghadapi kenyataan adanya pluralitas keagamaan ini, adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk mengambil sikap anti pluralisme. Sikap keagamaan yang terbuka, toleran dan saling memahami menjadi relevan untuk dikembangkan termasuk di Indonesia. Itulah sebabnya, masa kini hubungan antar manusia dan antar agama sudah harus mengalami pergeseran pola. Kalau masa lalu hubungan antar agama ditandai oleh antagonism polemic dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita, masa kini hubungan tersebut lebih menekankan dialog dan saling pengertian. Di masa lampau kita berusaha untuk mengisolasi diri dan menganggap agama lain sesat dan musuh, takut dan curiga kepada usaha agama lain untuk mempengaruhi penganut agama kita, masa kini semangat keterbukaan labih diutamakan.
Dalam konteks inilah, pendidikan Agama Islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan tantangan bagaimana mengembangkan teologi pluralis sehingga dalam masyarakat Islam akan tumbuh pemahaman yang terbuka dan penuh toleransi demi harmonisasi agama di tengah kehidupan bermasyarakat. Tertanamnya kesadaran multicultural dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigm beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan agama Islam ke dalam arah yang toleran dan pluralis. Sebab, arah pendidikan Agama Islam yang eksklusif dan intoleran jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi etnik dan agama.
Selama ini pendidikan (pembelajaran) agama termasuk pembelajaran agama Islam masih mengandung kelemahan. Di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas pluralisme agama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terlalu menekankan pada pengembangan aspek kesalihan pribadi (kesalihan vertikal) dan kurang mengembangkan aspek kesalihan sosial. Dengan penekanan pendidikan agama seperti seperti itu seringkali kontra produktif dengan upaya penciptaan suasana harmoni di antara umat beragama di Negara kita. Imam Moedjono menyatakan bahwa penyampaian ajaran agama oleh sebagian tokoh agama kepada jamaahnya atau guru agama kepada anak didiknya masih sering cenderung member kesan dan pengertian yang kurang memberikan tempat bagi toleransi antar umat beragama.
II. Pluralisme Agama di Indonesia
1. Konsep Pluralisme
Akar kata pluralism adalah “plural”. Plural berasal dari bahasa Inggris yang bermakna jamak atau lebih dari satu. Dengan demikian pluralisme berarti hal yang menyatakan jamak atau lebih dari satu. Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monoisme), tidak dua (dualisme), akan tetapi banyak (jamak).
Sementara itu dalam kajian sosiologis kita sangat akrab dengan kata pluralisme yang oleh sebagian sosiolog diberi makna sebagai sistem nasional dalam suatu Negara yang hidup berbagai kelompok etnik, agama, kultural, status sosial, dan agama yang memelihara dan menjunjung tinggi derajat ketidak-terikatan atau kebebasan dan equalitas.
Dengan menggunakan dasar pemahaman tentang pluralisme seperti di atas, kita dapat mengidentifikasi sekurang-kurangnya lima ciri utama pluralisme. Pertama, selalu berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Kelompok pedagang, politisi, pegawai negeri, buruh dan sebagainya akan mempertahankan posisi agar mereka dapat terus memainkan peran yang selama ini mereka merasa menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Masyarakat yang benar-benar memiliki karakteristik plural meyakini bahwa masing-masing pihak berada dalam posisi yang sama. Mereka meyakini bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang unggul dari kelompok masyarakat lain dalam berbagai hal. Sebagai warga Negara, mereka mempunyai hak, kedudukan, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama. Perbedaan yang ada bukan dipahami sebagai ancaman terhadap eksistensi suatu kelompok.
Ketiga, pluralisme menunjukkan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkompetisi secara jujur, terbuka, dan adil. Karakteristik ini berkaitan dengan upaya menghilangkan pendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada kelompok ordinate yang mendominasi kelompok subordinate, kelompok mayoritas merasa lebih unggul dari kelompok minoritas.
Keempat, pluralisme harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Ini berarti bahwa pluralisme dicirikan oleh pandangan-pandangan yang berbeda yang nampak menjadi daya dorong untuk mendinamisasi kehidupan bermasyarakat, dan bukan mekanisme untuk menghancurkan satu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian pluralisme ada pada posisi yang netral, tidak memihak, dan objektif.
Kelima, menunjukkan adanya perasaan kepemilikan bersama, untuk kepentingan bersama dan diupayakan bersama. Karakteristik semacam ini pada hakikatnya merupakan puncak dan kesadaran bahwa pluralisme sebenarnya merupakan manifestasi jati diri kita.
2. Pluralisme Agama di Indonesia : Suatu Keniscayaan
Dilihat dari hampir seluruh sudut pandang geologis, historis, dan budaya Indonesia adalah kompleks. Oleh karena itu, bukan tidak beralasan semboyan Negara, “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi tetap satu), dicanangkan oleh para pendiri Negara Indonesia untuk menekankan keberagaman etnik dan kebersatuannya. Walaupun ada perbedaan etnik yang meliputi lebih dari 250 bahasa daerah, rakyat Indonesia disatukan oleh bahasa utama, yaitu bahasa Indonesia. Banyak agama/kepercayaan religius yang dianut oleh rakyat Indonesia. Agama-agama ini mencakup sebagian besar agama-agama yang ada di dunia saat ini. Sekitar delapan puluh lima persen penduduk memeluk agama Islam, dan sisanya yang lima belas persen terbagi dalam agama Hindu, Budha, dan Kristen, serta lainnya.
Kenyataan bahwa Indonesia senantiasa bersikap reseptif terhadap ide-ide asing dan ramah terhadap peradaban asing, membuatnya memiliki pola religius yang unik. Seperti kita ketahui, Islam bukanlah merupakan agama pertama yang masuk dan berkembang subur di wilayah ini. Jauh sebelumnya telah berkembang Animisme dan Dinamisme. Kemudian berkembang Hinduisme dan Budhisme yang terjalin erat dalam perkembangan kerajaan-kerajaan awal di negeri ini. Setelah sekitar satu milenium, dominasi Hindu-Budha, kebudayaan Islam menyebar di hampir seluruh Indonesia. Tahap selanjutnya datang agama Katholik dan Kristen.
Kalau kita lacak di Indonesia ternyata banyak sekali agama baik yang masuk kategori agama besar maupun agama lokal. Menurut tulisan Nur Khalik Ridwan, multiagama yang ada di Indonesia tidak hanya lima agama resmi yang diakui oleh Pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama) saja, tetapi ternyata cukup banyak. Ada agama-agama yang kemudian disebut agama lokal, bahkan agama formal besar yang lain di luar yang lima.
Untuk agama Yahudi misalnya, di daerah Surabaya, telah ada komunitas pemeluk agama Yahudi secara sembunyi-sembunyi. Pemeluk agama Yahudi di Surabaya sudah turun temurun sejak abad ke 18 M. Pasang surut pemeluk agama Yahudi di Surabaya ini terjadi seiring dnegan perjalanan bangsa yang cenderung diskriminatif atas agama-agama selain lima agama di Indonesia (Islam, Katholik, Protestan, Budha, dan Hindu). Sekarang ini, pemeluk agama Yahudi masih ada di Surabaya, dan mereka mengajarkan tradisi-tradisi Yahudi kepada anak-anak mereka.
Selain Yahudi, agama Baha’i juga telah memiliki komunitas. Beberapa aktivisnya di Jakarta bahkan telah ikut aktif dalam menggagas agama dan perdamaian. Bahkan, ketua badan eksekutif ICRP di Jakarta, pernah dipegang seorang yang beragama Baha’i.
Di luar komunitas agama Yahudi dan Baha’i ini, masih ada agama-agama local di bumi Indonesia. Misalnya di Gunung Kidul, sebagaimana diinformasikan oleh Darmaningtyas ketika meneliti fenomena bunuh diri di Gunung Kidul, ada hal menarik yang ditemukan. Menurut penemuan Darmaningtyas, di Gunung Kidul ada agama yang bernama Boda (bukan Budha) yang dipeluk oleh orang-orang tua Gunung Kidul yang juga memiliki ritual sacral dan mengakui adanya Tuhan. Agama ini hampir punah akibat kristenisasi dan islamisasi yang dilakukan oleh kalangan agama besar dan juga karena diskriminasi Negara.
Selain hal di atas, menurut catatan yang diberikan oleh Rahmat Subagya ketika meneliti Katholik dan Kebatinan, tercatat ada banyak sekali agama-agama lokal di bumi Indonesia. Misalnya di daerah Surakarta, kelompok-kelompok agama local di Jawa sebagian mendirikan Paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU) pada tahun 1949. Sedangkan sebagian agama-agama lokal lain di Jawa dan luar Jawa pada tahun 1955 mendirikan Badan Konggres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKSI) yang diketuai Mr. Wongsonegoro, dan tahun 1973 sudah memiliki 113 cabang. Bahkan, Depag tahun 1953 mencatat ada 350 agama baru di Indonesia. Pada tahun 1968, kelompok-kelompok agama lokal di seluruh Indonesia telah mendirikan Paguyuban Ulah Kebatinan Seluruh Indonesia (PUKSI).
Jadi, adanya agama-agama yang ada di Indonesia tidak hanya terbatas pada Islam, Katholik, Budha, Hindu, Protestan, dan Konghucu, tetapi juga masih ada yang lain, sebagaimana yang telah disebutkan yang merupakan hal yang faktual. Kita ketahui pula banyak agama-agama baru yang bermunculan pada akhir-akhir ini.
III. Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
1. Respon terhadap Pluralisme Agama
Perbincangan seputar isu pluralisme keagamaan di tanah air ini, lebih-lebih dnegan semakin sering terjadinya kasus konflik antar anggota masyarakat yang diduga dipicu oleh unsur SARA, begitu marak. Isu pluralisme keagamaan yang berkembang, apabila kita cermati setidaknya dapat kita rangkum dalam dua poin : pertama, pentingnya mengembangkan sikap toleransi/sikap saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan dalam beragama; dan kedua, perlunya pengakuan seseorang terhadap kebenaran agama lain, di luar agama yang dipeluk. Menurut sebagian pendapat, bahwa tidak ada agama yang benar secara absolute, tetapi yang ada adalah kebenaran yang relative (relativisme teologis).
Menanggapi isu pluralisme keagamaan seperti itu, harus bersikap hati-hati. Terhadap isu pertama memang kita harus menerima dan mendukungnya karena dalam agama kita (Islam) juga ada ajaran ke arah sana. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam QS. Al-Kafirun, QS. Al-Baqarah ayat 256, yang secara tegas mengajarkan kepada kita untuk bersikap toleran dan menghormati serta menghargai pemeluk agama lain serta member kebebasan bagi mereka untuk menjalankan keagamaan sesuai dengan keyakinannya.
Sedang terhadap isu yang kedua, kita harus berhati-hati jangan begitu saja menerima gagasan semacam itu. Dalam hal ini perlu kita perhatikan pernyataan Muhaimin, yaitu bahwa klaim kebenaran bagi setiap agama adalah sangat absah adanya, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi pengikutnya. Selain itu, agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai pelaku agamanya yang loyal, memiliki personal commitment (keterikatan diri) terhadap ajaran agamanya, memiliki semangat dedikasi dan bahkan berjuang, serta rela berkurban untuk agamanya kalau memang diperlukan.
Di samping itu, Adian Husaini menyatakan, bahwa pengembangan “relativisme teologis” sebenarnya membawa dampak yang sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Teologi ini mengajak penganutnya untuk “tidak meyakini” kebenaran agamanya dan berpangkal pada keimanan yang abstrak dan kabur. Ujungnya adalah pengingkaran kepada kebenaran “wahyu dan kenabian” serta menyerahkan kebenaran kepada “nurani” manusia yang serba nisbi dan tidak jelas parameter kebenarannya.
Faktanya, konsep teologis masing-masing agama seringkali begitu jauh bahkan bertabrakan. Islam, misalnya, menolak konsep Trinitas Kristen dan secara tegas menyebut penganut Trinitas sebagai kaum “kafir”. Begitulah, konsep ketuhanan Yesus ditolak keras oleh Islam. “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah ialah Al Masih, putra Maryam…” (Al-Maidah : 72). Pada ayat lain dikatakan : “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; bahwasanya Allah adalah satu dari yang tiga…” (Al-Maidah : 73)
Teologi Islam dengan tegas menyatakan bahwa agama yang benar dan diakui Allah adalah Islam. Surat Ali Imran ayat 19 menegaskan bahwa, “Sesungguhnya, agama (yang diridhai) Allah hanyalah Islam…”. Sedangkan ayat 85 menyatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Pada tataran teologis, keyakinan akan “kebenaran satu-satunya” pada agama yang dianutnya justru diperlukan. Keyakinan itu pun dalam konsepsi teologis Islam harus tidak disertai dengan keraguan (laa raiba fiihi). Masuknya unsur keraguan terhadap kebenaran teologis Islam dikategorikan sebagai “syirik” (kotor atau bercampur). Dalam urusan akidah, teologi Islam justru mensyaratkan “kebenaran dan keyakinan mutlak.” Karena itu, banyak ulama mensyaratkan : dalil-dalil dalam akidah haruslah bersifat pasti atau mutlak kebenarannya, baik dari sudut sumber (wurud) maupun maknanya (dalalah).
2. Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah di Indonesia sampai sekarang diakui memang masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan terutama kalau dikaitkan dengan pluralisme beragama. Haidar Baqir di dalam SKH Kompas menyatakan bahwa pendidikan agama kita tak lebih sebuah formalitas belaka, yang tidak “berbekas” pada anak didik. Pendidikan agama kita saat ini masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistic, dan legal formal. Ada survey yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesalihan-kesalihan ritual. Cara berpakaian ala muslim (misal; memakai jilbab) mengalami perkembangan. Model dan pemakaiannya semakin terlihat lebih banyak di jalanan. Melonjaknya arus yang menunaikan haji dan umroh, dan makin tingginya laju islamisasi di berbagai bidang –termasuk makin besarnya minat orang terhadap berbagai barang konsumsi dan aksesoris yang menampilkan citra Islam-, makin berkembangnya industri buku dan produk-produk informasi keislaman. Kita cenderung puas dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan. Penghayatan keagamaan kita cenderung berpusat pada pelaksanaan ritual.
Kelemahan lain pendidikan agama adalah hanya terfokus pada ranah kognitif (intelektual-pengetahuan), sehingga ukuran keberhasilan anak didik dinilai ketika mampu menghafal, menguasai materi pendidikan, bukan bagaimana nilai-nilai pendidikan agama seperti keadilan, menghormati, tasamuh, dan silaturahim, dihayati (mencakup emosi) sungguh-sungguh dan kemudian dipraktikkan (psikomotorik). Haidar Baqir menggugat pendidikan agama yang tidak mencakup dimensi psikomotorik dan afektif. Pendidikan agama yang menekankan aspek kognitif saja mengakibatkan anak didik tidak menjadi manusia yang tawadlu’, manusia yang salih secara individu dan sosial. Akibat dari pendidikan agama seperti itu sekalipun negeri ini dikatakan sebagai negeri religius, ternyata korupsinya nomor wahid.
Hal senada dengan pendapat di atas, menurut Musa Asy’ari, realitas pendidikan agama yang diberikan di sekolah, ternyata masih bersifat doktrinal, monolog, dan dipenuhi muatan formalitas yang cenderung menolak realitas plural dalam keagamaan. Selain itu, penilaiannya cenderung bias, karena tolok ukurnya yang tidak jelas apakah pada penguasaan formal ajaran keagamaan sebagai sebuah doktrin, atau lebih lagi pada realitas kesalihan sosial sebagai manifestasi dari iman seseorang yang beragama.
Inilah realitas pendidikan agama kita di sekolah-sekolah yang sedang diharapkan dapat memberikan kontribusinya terhadap perdamaian dan kerukunan agama di Indonesia. Harapan ini akan mustahil apabila kita tidak mampu mengubah arah dan watak pendidikan agama kita saat ini.
Pluralitas adalah anugerah Illahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya. Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi-religius. Kekeyaan ini harus dijaga menjadi keragaman di bawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan (agama).
Untuk menggapai hal tersebut kita membutuhkan instrument pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan berwawasan kemajemukan (pluralisme) adalah salah satu jawabannya. Pendidikan berwawasan kemajemukan adalah pendidikan yang mampu mengorientasikan peserta didik untuk melihat, menyapa, dan menghormati perbedaan.
Oleh karena itu, paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum harus memenuhi tiga hal. Pertama, membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.
Kedua, porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualistik-formalis. Sebab, dititik inilah setiap agama dapat bertemu dalam satu tujuan. Karena mustahil agama mengajak penganutnya untuk berbuat jelek terhadap orang lain. Harapannya sejak dini peserta didik telah diperkenalkan untuk bekerjasama dan berinteraksi tanpa kenal batas agama. Jadi, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekolah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertical (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan, anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
Ketiga, di dalam kurikulum nasional, terutama untuk level pendidikan menengah atas hingga perguruan tinggi, perlu diperkenalkan suatu mata pelajaran/mata kuliah yang mengulas tentang ajaran-ajaran agama lain. Sehingga dengan demikian anak didik akan memiliki wawasan yang cukup untuk menghargai/menghormati agama lain. Ketidakmengertian terhadap agama-agama lain sering kali menimbulkan asumsi miring bahkan negative terhadap agama lain. Mengajarkan mata pelajaran sejarah agama-agama, perbandingan agama ataupun ilmu agama menjadi satu keniscayaan bagi peserta didik. Pada era 30 sampai 40-an pola seperti ini pernah dilakukan di sekolah menengah di Indonesia. Harapannya peserta didik akan diberikan wawasan tentang agama lain sehingga tidak terjebak pada pandangan yang sinis dan minor terhadap agama lain.
IV. Penutup
Berdasar apa yang telah dipaparkan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, sikap pluralisme yang perlu kita kembangkan dalam menghadapi pluralisme beragama bukanlah pluralisme yang mengarah kepada pengembangan relativisme teologis, tetapi pluralisme konfensional, yakni meyakini kebenaran agamanya secara mantap tanpa ragu-ragu tetapi bersamaan itu dikembangkan sikap saling menghargai, menghormati keyakinan/agama lain.
Kedua, pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam konteks pluralisme beragama diakui memang masih mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas keberagaman beragama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terbatas pada pengembangan aspek kesalihan sosial. Oleh karena itu, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekoah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertikal (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah seperti itu diharapkan anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
--------------------------
Daftar Pustaka
Adian Husaini, “Paradigma Munafik : Tanggapan untuk Mohammad Ali” dalam www. Al-Islam.id
Akbar S. Ahmed, Posmodernism and Islam : Predicament and Promise, London : Roulledge, 1992
Alwi Shihab, “Pertemuan Islam-Kristen di Indonesia : Sebuah Tinjauan Historis”, dalam Islam Inklusif, Bandung : Mizan, 1999
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta : Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004
Haidar Baqir, Kompas, 28 Februari 2003
Imam Moedjono, “Peran Pendidikan Islam dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta : Aditya Media, 1997
John M. Echols dan Hasan Shadly, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1992
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam : Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003
Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, Yogyakarta : Lesfi, 2002
---------, Kompas, 29 Maret 2003
Nur Khalik Ridwan, “Dalih Agama untuk Kekerasan”, dalam Abdul Qodir Shalih, Agama Kekarasan, Yogyakarta : Prismasophie, 2003
Onghokham, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Elga Sarapung dkk (Ed), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : Interfidei, 2004
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholis Madjid, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999
Pluralisme atau kemajemukan agama merupakan suatu fenomena yang mustahil dihindari. Manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Dalam suasana yang majemuk ini, ditambah klaim kebenaran (truth claim) dan watak misioner dari setiap agama, menjadikan umat beragama sebagai kelompok masyarakat yang amat rentan dengan konflik. Konflik yang cenderung disakralkan karena mengatasnamakan agama (kebenaran).
Secara historis-sosiologis, pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman, tak terkecuali agama. Tidak diturunkan agama dalam konteks ruang dan waktu yang sama, tetapi dalam penggalan kontinum ruang dan waktu, mengharuskan manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing, agama Yahudi dengan penganutnya, agama Kristen dengan umatnya, agama Hindu, Budha dan lain-lain. Bahkan tidak itu kitapun menghadapi kalau tidak di Negara kita tentu di Negara lain orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.
Pluralitas bukanlah hal yang merugikan bagi keberadaan kehidupan. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakikatnya menolak esensi kehidupan.
Sungguh pun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural, tetapi di dalamnya berlangsung ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan lemahnya hukum serta rendahnya disiplin masyarakat. Kalau itu yang terjadi, pluralitas dapat berubah menjadi ancaman yang seringkali memicu timbulnya ketegangan, pertentangan, bahkan konflik yang seringkali mengambil kekerasan.
Dalam menghadapi kenyataan adanya pluralitas keagamaan ini, adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk mengambil sikap anti pluralisme. Sikap keagamaan yang terbuka, toleran dan saling memahami menjadi relevan untuk dikembangkan termasuk di Indonesia. Itulah sebabnya, masa kini hubungan antar manusia dan antar agama sudah harus mengalami pergeseran pola. Kalau masa lalu hubungan antar agama ditandai oleh antagonism polemic dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita, masa kini hubungan tersebut lebih menekankan dialog dan saling pengertian. Di masa lampau kita berusaha untuk mengisolasi diri dan menganggap agama lain sesat dan musuh, takut dan curiga kepada usaha agama lain untuk mempengaruhi penganut agama kita, masa kini semangat keterbukaan labih diutamakan.
Dalam konteks inilah, pendidikan Agama Islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan tantangan bagaimana mengembangkan teologi pluralis sehingga dalam masyarakat Islam akan tumbuh pemahaman yang terbuka dan penuh toleransi demi harmonisasi agama di tengah kehidupan bermasyarakat. Tertanamnya kesadaran multicultural dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigm beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan agama Islam ke dalam arah yang toleran dan pluralis. Sebab, arah pendidikan Agama Islam yang eksklusif dan intoleran jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi etnik dan agama.
Selama ini pendidikan (pembelajaran) agama termasuk pembelajaran agama Islam masih mengandung kelemahan. Di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas pluralisme agama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terlalu menekankan pada pengembangan aspek kesalihan pribadi (kesalihan vertikal) dan kurang mengembangkan aspek kesalihan sosial. Dengan penekanan pendidikan agama seperti seperti itu seringkali kontra produktif dengan upaya penciptaan suasana harmoni di antara umat beragama di Negara kita. Imam Moedjono menyatakan bahwa penyampaian ajaran agama oleh sebagian tokoh agama kepada jamaahnya atau guru agama kepada anak didiknya masih sering cenderung member kesan dan pengertian yang kurang memberikan tempat bagi toleransi antar umat beragama.
II. Pluralisme Agama di Indonesia
1. Konsep Pluralisme
Akar kata pluralism adalah “plural”. Plural berasal dari bahasa Inggris yang bermakna jamak atau lebih dari satu. Dengan demikian pluralisme berarti hal yang menyatakan jamak atau lebih dari satu. Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monoisme), tidak dua (dualisme), akan tetapi banyak (jamak).
Sementara itu dalam kajian sosiologis kita sangat akrab dengan kata pluralisme yang oleh sebagian sosiolog diberi makna sebagai sistem nasional dalam suatu Negara yang hidup berbagai kelompok etnik, agama, kultural, status sosial, dan agama yang memelihara dan menjunjung tinggi derajat ketidak-terikatan atau kebebasan dan equalitas.
Dengan menggunakan dasar pemahaman tentang pluralisme seperti di atas, kita dapat mengidentifikasi sekurang-kurangnya lima ciri utama pluralisme. Pertama, selalu berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Kelompok pedagang, politisi, pegawai negeri, buruh dan sebagainya akan mempertahankan posisi agar mereka dapat terus memainkan peran yang selama ini mereka merasa menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Masyarakat yang benar-benar memiliki karakteristik plural meyakini bahwa masing-masing pihak berada dalam posisi yang sama. Mereka meyakini bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang unggul dari kelompok masyarakat lain dalam berbagai hal. Sebagai warga Negara, mereka mempunyai hak, kedudukan, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama. Perbedaan yang ada bukan dipahami sebagai ancaman terhadap eksistensi suatu kelompok.
Ketiga, pluralisme menunjukkan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkompetisi secara jujur, terbuka, dan adil. Karakteristik ini berkaitan dengan upaya menghilangkan pendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada kelompok ordinate yang mendominasi kelompok subordinate, kelompok mayoritas merasa lebih unggul dari kelompok minoritas.
Keempat, pluralisme harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Ini berarti bahwa pluralisme dicirikan oleh pandangan-pandangan yang berbeda yang nampak menjadi daya dorong untuk mendinamisasi kehidupan bermasyarakat, dan bukan mekanisme untuk menghancurkan satu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian pluralisme ada pada posisi yang netral, tidak memihak, dan objektif.
Kelima, menunjukkan adanya perasaan kepemilikan bersama, untuk kepentingan bersama dan diupayakan bersama. Karakteristik semacam ini pada hakikatnya merupakan puncak dan kesadaran bahwa pluralisme sebenarnya merupakan manifestasi jati diri kita.
2. Pluralisme Agama di Indonesia : Suatu Keniscayaan
Dilihat dari hampir seluruh sudut pandang geologis, historis, dan budaya Indonesia adalah kompleks. Oleh karena itu, bukan tidak beralasan semboyan Negara, “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi tetap satu), dicanangkan oleh para pendiri Negara Indonesia untuk menekankan keberagaman etnik dan kebersatuannya. Walaupun ada perbedaan etnik yang meliputi lebih dari 250 bahasa daerah, rakyat Indonesia disatukan oleh bahasa utama, yaitu bahasa Indonesia. Banyak agama/kepercayaan religius yang dianut oleh rakyat Indonesia. Agama-agama ini mencakup sebagian besar agama-agama yang ada di dunia saat ini. Sekitar delapan puluh lima persen penduduk memeluk agama Islam, dan sisanya yang lima belas persen terbagi dalam agama Hindu, Budha, dan Kristen, serta lainnya.
Kenyataan bahwa Indonesia senantiasa bersikap reseptif terhadap ide-ide asing dan ramah terhadap peradaban asing, membuatnya memiliki pola religius yang unik. Seperti kita ketahui, Islam bukanlah merupakan agama pertama yang masuk dan berkembang subur di wilayah ini. Jauh sebelumnya telah berkembang Animisme dan Dinamisme. Kemudian berkembang Hinduisme dan Budhisme yang terjalin erat dalam perkembangan kerajaan-kerajaan awal di negeri ini. Setelah sekitar satu milenium, dominasi Hindu-Budha, kebudayaan Islam menyebar di hampir seluruh Indonesia. Tahap selanjutnya datang agama Katholik dan Kristen.
Kalau kita lacak di Indonesia ternyata banyak sekali agama baik yang masuk kategori agama besar maupun agama lokal. Menurut tulisan Nur Khalik Ridwan, multiagama yang ada di Indonesia tidak hanya lima agama resmi yang diakui oleh Pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama) saja, tetapi ternyata cukup banyak. Ada agama-agama yang kemudian disebut agama lokal, bahkan agama formal besar yang lain di luar yang lima.
Untuk agama Yahudi misalnya, di daerah Surabaya, telah ada komunitas pemeluk agama Yahudi secara sembunyi-sembunyi. Pemeluk agama Yahudi di Surabaya sudah turun temurun sejak abad ke 18 M. Pasang surut pemeluk agama Yahudi di Surabaya ini terjadi seiring dnegan perjalanan bangsa yang cenderung diskriminatif atas agama-agama selain lima agama di Indonesia (Islam, Katholik, Protestan, Budha, dan Hindu). Sekarang ini, pemeluk agama Yahudi masih ada di Surabaya, dan mereka mengajarkan tradisi-tradisi Yahudi kepada anak-anak mereka.
Selain Yahudi, agama Baha’i juga telah memiliki komunitas. Beberapa aktivisnya di Jakarta bahkan telah ikut aktif dalam menggagas agama dan perdamaian. Bahkan, ketua badan eksekutif ICRP di Jakarta, pernah dipegang seorang yang beragama Baha’i.
Di luar komunitas agama Yahudi dan Baha’i ini, masih ada agama-agama local di bumi Indonesia. Misalnya di Gunung Kidul, sebagaimana diinformasikan oleh Darmaningtyas ketika meneliti fenomena bunuh diri di Gunung Kidul, ada hal menarik yang ditemukan. Menurut penemuan Darmaningtyas, di Gunung Kidul ada agama yang bernama Boda (bukan Budha) yang dipeluk oleh orang-orang tua Gunung Kidul yang juga memiliki ritual sacral dan mengakui adanya Tuhan. Agama ini hampir punah akibat kristenisasi dan islamisasi yang dilakukan oleh kalangan agama besar dan juga karena diskriminasi Negara.
Selain hal di atas, menurut catatan yang diberikan oleh Rahmat Subagya ketika meneliti Katholik dan Kebatinan, tercatat ada banyak sekali agama-agama lokal di bumi Indonesia. Misalnya di daerah Surakarta, kelompok-kelompok agama local di Jawa sebagian mendirikan Paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU) pada tahun 1949. Sedangkan sebagian agama-agama lokal lain di Jawa dan luar Jawa pada tahun 1955 mendirikan Badan Konggres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKSI) yang diketuai Mr. Wongsonegoro, dan tahun 1973 sudah memiliki 113 cabang. Bahkan, Depag tahun 1953 mencatat ada 350 agama baru di Indonesia. Pada tahun 1968, kelompok-kelompok agama lokal di seluruh Indonesia telah mendirikan Paguyuban Ulah Kebatinan Seluruh Indonesia (PUKSI).
Jadi, adanya agama-agama yang ada di Indonesia tidak hanya terbatas pada Islam, Katholik, Budha, Hindu, Protestan, dan Konghucu, tetapi juga masih ada yang lain, sebagaimana yang telah disebutkan yang merupakan hal yang faktual. Kita ketahui pula banyak agama-agama baru yang bermunculan pada akhir-akhir ini.
III. Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
1. Respon terhadap Pluralisme Agama
Perbincangan seputar isu pluralisme keagamaan di tanah air ini, lebih-lebih dnegan semakin sering terjadinya kasus konflik antar anggota masyarakat yang diduga dipicu oleh unsur SARA, begitu marak. Isu pluralisme keagamaan yang berkembang, apabila kita cermati setidaknya dapat kita rangkum dalam dua poin : pertama, pentingnya mengembangkan sikap toleransi/sikap saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan dalam beragama; dan kedua, perlunya pengakuan seseorang terhadap kebenaran agama lain, di luar agama yang dipeluk. Menurut sebagian pendapat, bahwa tidak ada agama yang benar secara absolute, tetapi yang ada adalah kebenaran yang relative (relativisme teologis).
Menanggapi isu pluralisme keagamaan seperti itu, harus bersikap hati-hati. Terhadap isu pertama memang kita harus menerima dan mendukungnya karena dalam agama kita (Islam) juga ada ajaran ke arah sana. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam QS. Al-Kafirun, QS. Al-Baqarah ayat 256, yang secara tegas mengajarkan kepada kita untuk bersikap toleran dan menghormati serta menghargai pemeluk agama lain serta member kebebasan bagi mereka untuk menjalankan keagamaan sesuai dengan keyakinannya.
Sedang terhadap isu yang kedua, kita harus berhati-hati jangan begitu saja menerima gagasan semacam itu. Dalam hal ini perlu kita perhatikan pernyataan Muhaimin, yaitu bahwa klaim kebenaran bagi setiap agama adalah sangat absah adanya, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi pengikutnya. Selain itu, agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai pelaku agamanya yang loyal, memiliki personal commitment (keterikatan diri) terhadap ajaran agamanya, memiliki semangat dedikasi dan bahkan berjuang, serta rela berkurban untuk agamanya kalau memang diperlukan.
Di samping itu, Adian Husaini menyatakan, bahwa pengembangan “relativisme teologis” sebenarnya membawa dampak yang sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Teologi ini mengajak penganutnya untuk “tidak meyakini” kebenaran agamanya dan berpangkal pada keimanan yang abstrak dan kabur. Ujungnya adalah pengingkaran kepada kebenaran “wahyu dan kenabian” serta menyerahkan kebenaran kepada “nurani” manusia yang serba nisbi dan tidak jelas parameter kebenarannya.
Faktanya, konsep teologis masing-masing agama seringkali begitu jauh bahkan bertabrakan. Islam, misalnya, menolak konsep Trinitas Kristen dan secara tegas menyebut penganut Trinitas sebagai kaum “kafir”. Begitulah, konsep ketuhanan Yesus ditolak keras oleh Islam. “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah ialah Al Masih, putra Maryam…” (Al-Maidah : 72). Pada ayat lain dikatakan : “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; bahwasanya Allah adalah satu dari yang tiga…” (Al-Maidah : 73)
Teologi Islam dengan tegas menyatakan bahwa agama yang benar dan diakui Allah adalah Islam. Surat Ali Imran ayat 19 menegaskan bahwa, “Sesungguhnya, agama (yang diridhai) Allah hanyalah Islam…”. Sedangkan ayat 85 menyatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Pada tataran teologis, keyakinan akan “kebenaran satu-satunya” pada agama yang dianutnya justru diperlukan. Keyakinan itu pun dalam konsepsi teologis Islam harus tidak disertai dengan keraguan (laa raiba fiihi). Masuknya unsur keraguan terhadap kebenaran teologis Islam dikategorikan sebagai “syirik” (kotor atau bercampur). Dalam urusan akidah, teologi Islam justru mensyaratkan “kebenaran dan keyakinan mutlak.” Karena itu, banyak ulama mensyaratkan : dalil-dalil dalam akidah haruslah bersifat pasti atau mutlak kebenarannya, baik dari sudut sumber (wurud) maupun maknanya (dalalah).
2. Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah di Indonesia sampai sekarang diakui memang masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan terutama kalau dikaitkan dengan pluralisme beragama. Haidar Baqir di dalam SKH Kompas menyatakan bahwa pendidikan agama kita tak lebih sebuah formalitas belaka, yang tidak “berbekas” pada anak didik. Pendidikan agama kita saat ini masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistic, dan legal formal. Ada survey yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesalihan-kesalihan ritual. Cara berpakaian ala muslim (misal; memakai jilbab) mengalami perkembangan. Model dan pemakaiannya semakin terlihat lebih banyak di jalanan. Melonjaknya arus yang menunaikan haji dan umroh, dan makin tingginya laju islamisasi di berbagai bidang –termasuk makin besarnya minat orang terhadap berbagai barang konsumsi dan aksesoris yang menampilkan citra Islam-, makin berkembangnya industri buku dan produk-produk informasi keislaman. Kita cenderung puas dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan. Penghayatan keagamaan kita cenderung berpusat pada pelaksanaan ritual.
Kelemahan lain pendidikan agama adalah hanya terfokus pada ranah kognitif (intelektual-pengetahuan), sehingga ukuran keberhasilan anak didik dinilai ketika mampu menghafal, menguasai materi pendidikan, bukan bagaimana nilai-nilai pendidikan agama seperti keadilan, menghormati, tasamuh, dan silaturahim, dihayati (mencakup emosi) sungguh-sungguh dan kemudian dipraktikkan (psikomotorik). Haidar Baqir menggugat pendidikan agama yang tidak mencakup dimensi psikomotorik dan afektif. Pendidikan agama yang menekankan aspek kognitif saja mengakibatkan anak didik tidak menjadi manusia yang tawadlu’, manusia yang salih secara individu dan sosial. Akibat dari pendidikan agama seperti itu sekalipun negeri ini dikatakan sebagai negeri religius, ternyata korupsinya nomor wahid.
Hal senada dengan pendapat di atas, menurut Musa Asy’ari, realitas pendidikan agama yang diberikan di sekolah, ternyata masih bersifat doktrinal, monolog, dan dipenuhi muatan formalitas yang cenderung menolak realitas plural dalam keagamaan. Selain itu, penilaiannya cenderung bias, karena tolok ukurnya yang tidak jelas apakah pada penguasaan formal ajaran keagamaan sebagai sebuah doktrin, atau lebih lagi pada realitas kesalihan sosial sebagai manifestasi dari iman seseorang yang beragama.
Inilah realitas pendidikan agama kita di sekolah-sekolah yang sedang diharapkan dapat memberikan kontribusinya terhadap perdamaian dan kerukunan agama di Indonesia. Harapan ini akan mustahil apabila kita tidak mampu mengubah arah dan watak pendidikan agama kita saat ini.
Pluralitas adalah anugerah Illahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya. Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi-religius. Kekeyaan ini harus dijaga menjadi keragaman di bawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan (agama).
Untuk menggapai hal tersebut kita membutuhkan instrument pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan berwawasan kemajemukan (pluralisme) adalah salah satu jawabannya. Pendidikan berwawasan kemajemukan adalah pendidikan yang mampu mengorientasikan peserta didik untuk melihat, menyapa, dan menghormati perbedaan.
Oleh karena itu, paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum harus memenuhi tiga hal. Pertama, membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.
Kedua, porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualistik-formalis. Sebab, dititik inilah setiap agama dapat bertemu dalam satu tujuan. Karena mustahil agama mengajak penganutnya untuk berbuat jelek terhadap orang lain. Harapannya sejak dini peserta didik telah diperkenalkan untuk bekerjasama dan berinteraksi tanpa kenal batas agama. Jadi, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekolah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertical (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan, anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
Ketiga, di dalam kurikulum nasional, terutama untuk level pendidikan menengah atas hingga perguruan tinggi, perlu diperkenalkan suatu mata pelajaran/mata kuliah yang mengulas tentang ajaran-ajaran agama lain. Sehingga dengan demikian anak didik akan memiliki wawasan yang cukup untuk menghargai/menghormati agama lain. Ketidakmengertian terhadap agama-agama lain sering kali menimbulkan asumsi miring bahkan negative terhadap agama lain. Mengajarkan mata pelajaran sejarah agama-agama, perbandingan agama ataupun ilmu agama menjadi satu keniscayaan bagi peserta didik. Pada era 30 sampai 40-an pola seperti ini pernah dilakukan di sekolah menengah di Indonesia. Harapannya peserta didik akan diberikan wawasan tentang agama lain sehingga tidak terjebak pada pandangan yang sinis dan minor terhadap agama lain.
IV. Penutup
Berdasar apa yang telah dipaparkan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, sikap pluralisme yang perlu kita kembangkan dalam menghadapi pluralisme beragama bukanlah pluralisme yang mengarah kepada pengembangan relativisme teologis, tetapi pluralisme konfensional, yakni meyakini kebenaran agamanya secara mantap tanpa ragu-ragu tetapi bersamaan itu dikembangkan sikap saling menghargai, menghormati keyakinan/agama lain.
Kedua, pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam konteks pluralisme beragama diakui memang masih mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas keberagaman beragama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terbatas pada pengembangan aspek kesalihan sosial. Oleh karena itu, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekoah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertikal (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah seperti itu diharapkan anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
--------------------------
Daftar Pustaka
Adian Husaini, “Paradigma Munafik : Tanggapan untuk Mohammad Ali” dalam www. Al-Islam.id
Akbar S. Ahmed, Posmodernism and Islam : Predicament and Promise, London : Roulledge, 1992
Alwi Shihab, “Pertemuan Islam-Kristen di Indonesia : Sebuah Tinjauan Historis”, dalam Islam Inklusif, Bandung : Mizan, 1999
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta : Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004
Haidar Baqir, Kompas, 28 Februari 2003
Imam Moedjono, “Peran Pendidikan Islam dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta : Aditya Media, 1997
John M. Echols dan Hasan Shadly, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1992
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam : Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003
Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, Yogyakarta : Lesfi, 2002
---------, Kompas, 29 Maret 2003
Nur Khalik Ridwan, “Dalih Agama untuk Kekerasan”, dalam Abdul Qodir Shalih, Agama Kekarasan, Yogyakarta : Prismasophie, 2003
Onghokham, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Elga Sarapung dkk (Ed), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : Interfidei, 2004
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholis Madjid, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999
Langganan:
Postingan (Atom)