Senin, 17 Januari 2011

PEMBELAJARAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Penelusuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik)

A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Bukanlah suatu kebetulan jika ayat pertama Al-Quran, surat al-‘Alaq memulai dengan perintah membaca, iqra’. Di samping itu, pesan-pesan Al-Qur’an dalam hubungannya dengan pendidikanpun dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaan dan kisah. Lebih khusus lagi, kata ilm dan derivasinya digunakan paling dominan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan
Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar bisa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara . Pendidikan, jika dilihat dari jalurnya dapat dikelompokkan menjadi pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal, jika dilihat dari jenjangnya, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi
Pendidikan Agama Islam, sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan pada pendidikan dasar dan menengah, telah disediakan dokumen standar kompetensinya oleh Depdiknas pusat. Dokumen standar kompetensi pendidikan agama Islam yang telah dikeluarkan oleh Depdiknas tersebut tidak boleh dikurangi, tetapi boleh ditambahkan dan dikembangkan. Dari dokumen tersebut, silabus dikembangkan, materi pembelajaran dipersiapkan, strategi pembelajaran dipilih, dan instrumen evaluasi dibuat
Mata pelajaran PAI di sekolah secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghasilkan peserta didik yang memilki kepribadian utuh dan terintegrasi, serta jangan sampai menjadi pribadi yang terpecah-pecah. PAI yang utuh dan bulat itu meliputi Al-Qur’an/Hadi, Keimanan, Akhlak, Fiqh/Ibadah, dan Tarikh. Ini sekaligus menggambarkan ruang lingkup PAI yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah Swt, dengan diri sendiri, sesama, makhluk lainnya, maupun lingkungannya
PAI di sekolah, jika dilihat dari tujuannya, tidak saja menekankan pentingnya hasil atau produk, tetapi sekaligus prosesnya. PAI bertujuan untuk menumbuhkan, menanamkan, dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia Muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya kepada Allah Swt., serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,dan juga untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi
Nah, dalam makalah ini akan dibahas tentang pembelajaran dalam perspektif Pendidikan Agama Islam meliputi : (1) Pandangan tentang pembelajaran, (2) Tujuan Pendidikan Agama Islam, (3) Pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam Pendidikan Agama Islam (PAI)

B. Pandangan tentang Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses terjadinya interaksi antara pelajar (mahasiswa) dan pengajar (dosen) dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran , yang berlangsung dalam suatu lokasi tertentu dalam jangka satuan waktu tertentu pula
Proses pembelajaran berlangsung melalui tahap-tahap persiapan (desain pembelajaran), pelaksanaan (kegiatan belajar mengajar) yang melibatkan pengajar dan siswa, berlangsung di dalam kelas dan di luar kelas dalam satuan waktu untuk mencapai tujuan kompetensi (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan selanjutnya dirumuskan dalam bentuk tujuan-tujuan pembelajaran
Proses terjadinya fase-fase dalam belajar yag demikian telah dicontohkan oleh Rasulallah Saw dengan ungkapan-ungkapan haditsnya :
“Apakah engkau tahu ke mana perginya matahari?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 89)
“Apakah engkau mau hatimu menjadi lembut dan kebutuhanmu terpenuhi?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 87)
“Apakah kalian ingin bersugguh-sungguh dalam berdo’a?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 81)
“Apakah engkau ingin menjadi seperempat penduduk surga?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 84)
Menumbuhkan motivasi, menarik perhatian dan proses pengondisian dan modeling merupakan metode pendidikan modern. Tetapi perlu diingat bahwa hal tersebut telah dilakukan oleh Rasulallah dengan ungkapan berupa pertanyaan seperti pada hadits di atas. Pelajaran yang dapat kita ambil dari ungkapan –ungkapan Rasulallah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ketika pertanyaan itu di ajukan, dapat memotivasi pendengan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Artinya, pikiran pendengar telah terfokus terhadap pertanyaan dan inderanya tidak lagi disibukkan dengan hal-hal lain. Dengan demikian seorang pembicara telah berhasil mengarahkan konsentrasi pendengar kepadanya.
2. Pertanyaan dapat menjadikan pendengar merasa tertantang oleh pembicara. Ini yang disebut dengan kompetisi untuk mendapatkan informasi/pengetahuan. Sehingga terjadilah interaksi yang seimbang.
3. Mengajukan pertanyaan dapat mencapai tiga tujuan moral dan edukasi, yaitu : kognitif, emosi dan kinetik
Contoh tercapainya tujuan kognitif, seperti pertanyaan Nabi, “apakah engkau mengetahui ke mana matahari akan pergi ?” Tercapainya tujuan moral dan kinetik seperti pertanyaan Nabi, “apakah engkau ingin hatimu menjadi lembut ?” Pertanyaan ini sangat berkesan dalam pikiran dan perasaan pendengarnya. Hal ini dapat menjadikan pendengar ingin sekali mengetahuinya (tercapai tujuan sikap/emosi) yang kemudian dibuktikan dengan tindakan nyata (tercapainya tujuan kinetik/psikomotorik)
4. Pertanyaan juga dapat lebih menonjolkan informasi/pengetahuan. Perbedaannya seperti dapat dilihat dalam dua penyampaian berikut :
a. Ghibah adalah engkau membicarakan saudaramu yang tidak disukainya.
b. “Apakah engkau tahu ghibah itu ?” Mereka berkata : Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Nabi bersabda, “Ghibah adalah engkau membicarakan saudaramu yang tidak disukai.
Kita perhatikan, menyampaikan informasi/pengetahuan dengan cara yang pertama kurang dapat menarik perhatian, sementara cara kedua dapat menarik perhatian pendengarnya.
5. Pertanyaan dapat membuat rangsangan bagi pendengarnya, sehingga dia begitu antusias untuk mengetahui jawabannya sebelum meninggalkan tempat itu. Ini merupakan pengajaran langsung sekaligus cepat dalam mendapatkan pengetahuan, di samping adnya kesiapan pikiran yang sempurna.
Di sisi lain tujuan pendidikan Islam yang dituangkan dalam standard kompetensi, kemudian dijabarkan ke dalam kompetensi dasar, selanjutnya dijabarkan menjadi hasil belajar, dan akhirnya dapat diukur dengan indicator hasil belajar. Misalnya, mata pelajaran mengarang memiliki kompetensi untuk mengembangkan nalar dan kreatif siswa. Dalam hal ini, siswa disuruh membuat suatu karangan bebas hasilnya diperiksa oleh guru satu-persatu. Guru akan mudah mengetahui seberapa jauh perkembangan nalar dan kreatif mereka. Kalau karangan siswa itu hanya sekedar mencontoh tipe atau pola-pola karangan yang sudah ada, berarti nalar dan kreatif mereka belum berkembang dengan baik. Berdasar pengalaman itu, guru dapat membimbingnya sampai nalar dan kreatif mereka menjadi berkembang dengan baik. Sehingga dari ketiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dapat berkembang pada diri anak didik.

C. Pengembangan Tiga Ranah dalam PAI
1. Pengembangan Pola Pikir (Kognitif)
Akal adalah karunia Allah Swt. yang besar bagi manusia. Agama Islam berisi pedoman bagi manusia yang berakal. Hanya manusia yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi. “Apakah mereka tidak pernah merenung berpikir tentang diri mereka?” (QS. Al-Ankabut ; 20)
Pembinaan pola pikir/kognitif, yakni pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai penjabaran dari sifat fathonah Rosulullah. Seseorang yang fathonah itu tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kebijaksanaan atau kearifan dalam berpikir dan bertindak . Mereka yang mempunyai sifat fathonah mampu menangkap gejala dan hakikat dibalik semua peristiwa. Mereka mampu belajar dan menangkap peristiwa yang ada di sekitarnya, kemudian menyimpulkannya sebagai pengalaman berharga dan pelajaran yang memperkaya khazanah. Mereka tidak segan untuk belajar dan mengajar, karena hidup hanya semakin berbinar ketika seseorang mampu mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Toto Tasmara dalam bukunya Kecerdasan Ruhaniah mengemukakan bahwa karakteristik yang terkandung dalam jiwa fathonah antara lain :
a. The man of wisdom. Mereka tidak hanya menguasai dan terampil melaksanakan profesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali dengan hikmah kebijakan (al-Baqarah ; 269)
b. High in integrity. Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam segala hal, khususnya dalam meningkatkan kualitas keilmuan dirinya. Mereka tidak hanya memikirkan apa yang nampak, tetapi mampu melihat apa di balik yang tampak tersebut melalui proses perenungan atau tafakur (Al-Imran ; 190)
c. Willingness to learn. Mereka memilki motivasi yang sangat kuat untuk terus belajar dan mampu mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang dihadapinya. (Yusuf ; 111)
d. Proactive stance. Mereka bersikap proaktif, ingin memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. Melalui pengalaman dan kemampuan dirinya, ia telah menjadikannya sebagai sosok yang mampu mengambil keputusan yang terbaik dan manjauhi hal-hal yang akan merugikan (al-Ma’idah ; 100)
e. Faith in God. Mereka sangat mencintai Tuhannya dan karenanya selalu mendapatkan petunjuk dari-Nya. Hidupnya bagaikan telah diatur Allah sehingga tumbuh rasa optimis untuk menjadikan Allah sebagai tempat dirinya bersandar atau bertawakal (Ali Imran ; 7,30-31, al-Baqarah ; 138)
f. Creditabel and reputable. Mereka selalu berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai yang dapat dipercaya sehingga tidak pernah mau mengingkari janji atau menghianati amanah yang dipikulkan kepada dirinya (ar-Ra’d ; 19-22)
g. Being the best. Selalu ingin menjadikan dirinya sebagai teladan (the excellent exemplary) dan menampilkan unjuk kerja yang terbaik (Ali Imran ; 110)
h. Empathy and Compassion. Mereka menaruh cinta kepada orang lain sebagaimana dia mencitai dirinya sendiri (at-Taubah ; 128)
i. Emotional maturity. Mereka memilki kedewasaan emosi, tabah, dan tidak pernah mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri dan tidak pernah terpernagkap dalam keputusan yang emosional (Luqman ; 17)
j. Balance. Mereka memiliki jiwa yang tenang, sebagaimana dikenal dalam Al-Qur’an sebagai nafsul muthmainah (al-Fajr ; 27-30, asy-Syuraa ; 89)
k. Sense of mission. Mereka memiliki arah tujuan atau misi yang jelas dalam kehidupannya. (at-Taubah ; 33, al-Fath ; 28, ash-Shaff ; 9)
l. Sense of competition. Mereka memiliki sikap untuk bersaing dengan sehat. Karena mereka sadar bahwa setiap umat memiliki kiblat dan martabatnya dengan memilki sense of competition (al-Baqarah ; 148).
Guru besar Islamic Studi di Universitas Cambridge, Arthur J. Arberry dalam Hafiz mengemukakan bahwa “Agama Islam memiliki peran yang cukup besar dan mengagumkan dalam menyodorkan sebuah konsep pendidikan, baik dalam bidang seni, hukum, politik, ilmu pengetahuan dan lain-lain”.
Untuk bisa mewujudkan konsep pembinaan intelektual dalam Islam ini, maka harus disusunlah beberapa kaidah agar bisa memudahkan orangtua atau guru dalam membina anak dengan ilmu dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut Hafiz mengemukakan pola pembinaan akal dalam membentuk pola pikir anak hingga dewasa diawali dengan :
1) Menanamkan kecintaan anak kepada ilmu.
2) Membimbing anak menghafal sebagian ayat al-Qur’an
3) Mengajarkan anak bahasa Arab dan bahasa asing lainnya.
4) Mengarahkan anak pada kecenderungan bakatnya.
Para psikolog kognitif menaruh banyak perhatian pada berbagai macam persoalan dengan menggunakan kemampuan berpikir secara efisien dan efektif. Sasaran dari belajar pengaturan kegiatan kognitif adalah sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri. Dalam psikologi modern sistematisasi dan pengaturan kegiatan mental yang kognitif ini dipandang sebagai suatu proses kontrol (control procces)

2. Pengembangan Sikap (Afektif)
Afektif, yakni pembinaan sikap mental (mental attitude) yang mantap dan matang sebagai penjabaran dari sikap amanah Rasulallah. Indikator dari seseorang yang memiliki kecerdasan ruhaniah adalah sikapnya yang selalu ingin menampilkan sikap yang ingin dipercaya (kredibel), menghormati dan dihormati. Sikap hormat dan dipercaya hanya dapat tumbuh apabila kita meyakini sesuatu yang kita anggap benar sebagai prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat
Bersikap adalah merupakan wujud keberanian untuk memilih secara sadar. Setelah itu ada kemungkinan ditindaklanjuti dengan mempertahankan pilihan lewat argumentasai yang bertanggungjawab, kukuh dan bernalar.
Menurut Toto Tasmara, di dalam diri yang amanah ada beberapa nilai yang melekat, yaitu :
1) Rasa tanggungjawab (takwa). Mereka ingin menunjukkan hasil yang optimal atau islah.
2) Kecanduan kepentingan dan sense of urgency. Mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang penting. Mereka merasakan dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat menyelesaikan manahnya sebaik-baiknya.
3) Al-amin, kredibel, ingin dipercaya dan mempercayai. Hidup baginya adalah sebuah proses untuk saling mempercayai dan dipercaya.
4) Hormat dan dihormati (honorabel). Hidup yang wajar dan tidak harus menjadi kharismatik atau berupaya membuat dirinya menjadi dikultuskan. Dia merasakan bahwa hanya mungkin dicintai bila dia pun terbuka untuk mencintai.
Konsep pembelajaran yang terlalu menekankan pada aspek penalaran/hafalan akan sangat berpengaruh terhadap sikap yang dimunculkan anak. Menghafal tentu ada gunanya. Namun kalau kemudian menjadi dominan dan seluruh mata pelajaran harus dihafal, maka akan melahirkan anak-anak didik yang kurang kreatif dan berani dalam mengungkapkan pendapatnya sendiri. Apabila proses menghafal tidak segera diperbaiki secara radikal, anak-anak didik akan mendapatkan kesulitan untuk bersikap, menunjukkan keinginan dan mempertahankan prinsip-prinsip yang dipegang secara sangat kuat.
Rumitnya lingkungan kita saat ini sudah sedemikian agresif merangsang anak-anak untuk cepat berubah dan cepat matang. Sementara sekolah sendiri belum siap benar dalam membekali anak didiknnya untuk menghadapai lingkungan yang semakin agresif. Yang perlu kita perhatikan bersama adalah bagaimana membekali anak-anak didik kita dalam kebiasaannya bersikap.
Belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek, berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna (sikap positif) atau tidak berharga (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif.

3. Pengembangan Psikomotor
Sesungguhnya memberi pengalaman praktis berarti memberi masukan wawasan dan ilmu pengetahuan. Ketika anak mulai tumbuh dan mampu memfungsikan kedua tangannya untuk melakukan banyak hal, ketika itu pula akalnya mulai terbuka untuk bekerja.
Fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang lain. Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive tanpa kehadiran orang lain. Bila seorang filusuf Barat berkata “cogito ergo sum” aku ada karena aku berpikir, kita dapat mengatakan “aku ada karena aku memberikan makna bagi orang lain” sebagaimana Rasulallah bersabda : “Engkau belum disebut sebagai orang yang beriman kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirimu sendiri”
Ucapan Rasulallah di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak mungkin berkembang dan mempunyai kualitas unggul, kecuali dalam kebersamaan. Kehadirannya di tengah-tengah pergaulan harus senantiasa memberi manfaat. Di sinilah salah satu peran sifat tabligh yang merupakan salah satu akhlak Rasulallah Saw yaitu menyampaikan kebenaran melalui suri teladan dan perasaan cinta yang sangat mendalam.
Toto Tasmara, mengemukakan bahwa nilai tabligh telah memberikan muatan yang mencakup aspek kemampuan berkomunikasi (communication skill), kepemimpinan (leadership), pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya insani (human resources development) dan kemampuan diri untuk mengelola sesuatu (managerial skill)
Sikap tabligh melahirkan keyakinan, kekuatan, dan kesungguhan untuk melahirkan hasil unjuk kerja yang bernilai tinggi (outstanding performance). Mereka tidak gampang menyerah, tidak gampang patah, walaupun tantangan dan tekanan menghadang setiap langkah pekerjaannya, karena mereka sangat yakin akan mampu mengatasi setiap tantangan dan kendala yang dihadapinya. Mereka sadar bahwa untuk mendapatkan mutiara dibutuhkan perjalanan dan pengorbanan yang rumit dan panjang. Sikap seperti inilah yang seharusnya kita tanamkan pada peserta didik kita. Dengan sikap semacam ini akan senantisa mendorong individu untuk melakuakan yang terbaik dalam hidupnya dan memberikan manfaat dan nilai guna bagi dirinya dan orang lain.
Konfirmasi pengetahuan teoritis ke dalam tindakan aplikatif dapat mengambil wujud umpan balik intrinsik (dorongan dari dalam) atau ekstrinsik (pengaruh dari luar), dapat menyempurnakan keterampilan, sampai semuanya berjalan secara otomatis. Otomatisasi keterampilan yang dikuasai menandakan keberhasilan dari kemampuan motoris yang direncanakan untuk dikuasai oleh siswa.
Diriwayatkan pada suatu hari Rasulallah Saw melihat seorang anak sedang menguliti kambing, namun ia salah dalam mengerjakannya. Maka beliaupun menyingsingkan lengan dan memberi contoh kepada anak itu tentang cara menguliti kambing yang benar. Setelah Rasulallah selesai mengajarkannya, anak itu memfungsikan otaknya, berpikir tentang cara yang baru saja diajarkan oleh beliau.

D. Penutup
Menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, tidak bisa tidak, memang harus dimulai dari pendidikan berkualitas yang bisa diakses oleh semua kelompok masyarakat. Pendidikan yang berkualitas baik secara filosofis-teoritis maupun teknis-praktis akan meningkatkan kualitas yang utuh bagi pendidikan nasional kita. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi juga masyarakat, keduanya harus bersatu-padu dalam memajukan dan mencerdaskan anak bangsa menuju Indonesia baru yang demokratis, adil, dan sejahtera. Dalam kehidupan keluarga besar Indonesia yang plural ini, maka penting adanya pendidikan agama yang memperhatikan pendidikan multicultural, yakni pendidikan yang mengajarkan tentang pentingnya memaknai perbedaan dalam SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) secara bijak dan positif sehingga masih tetap dalam koridor persatuan dan dalam Negara Kesatuan R.I.
Begitu sentralnya kedudukan ilmu dalam pembangunan sebuah peradaban, maka menurut hemat penulis, umat Islam yang sedang membangun sebuah peradaban harus mengusahakan secara maksimal alih ilmu pengetahuan bangsa yang menguasainya meskipun mereka bukan Muslim. Demikian pula pencarian ilmu itu tidak terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga termasuk ilmu-ilmu sekuler yang bermanfaat, sebab kedua ilmu itu sama cepatnya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia. Dengan pendidikan agama yang tepat dan benar, dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan dan kesejahteraan negeri ini. Sehingga dengan demikian, makna agama sebagai rahmatal lil’alamin bisa mencapai maknanya di seluruh alam.

Daftar Pustaka

Abdul Majid. 2007. Perencanaan Pembelajaran ; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung ; Rosdakarya

Husni Rahim. 2002. “ Pendidikan Islam di Indonesia, Keluar dari Eksklusivisme” dalam H.A.R. Tilaar, Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun. Jakarta : Grasindo

Sutrisno. 2005. Revolusi Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta : Ar-Ruzz

----------. 2006. Fazlur Rahman ; Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Toto Tasmara. 2001. Kecerdasan Ruhani. Jakarta : Gema Insani

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Penjelasannya. 2003. Yogyakarta : Media Wacana Press

1 komentar:

  1. tlong berikan innote dimasing masing kalimat gan,, pengen carin bukunya saya.

    BalasHapus