Rabu, 19 Januari 2011

Value-Free

Ada sebuah pernyataan dari sebagian masyarakat, yang saya kira perlu dicermati dan alangkah lebih baiknya dijelaskan -mungkin mereka kurang begitu memahaminya-. Pernyataan ini terkait dengan moralitas dan prestasi anak didik. Secara tidak langsung saya uraikan begini;
ketika ada seorang siswa memiliki moralitas yang kurang baik -atau akhlakul madzmumah-, maka secara spontan mereka (masyakat) mengatakan "anak itu kok perilakunya jelek, suka membentak-bentak orang tua, suka mencuri, suka berkata jorok sih... siapa sih guru agamanya? siapa sih guru ngajinya?". Sebaliknya, ketika ada seorang anak yang pandai dan berprestasi seringkali masyarakat mengatakan: "si anu tuh kok pinter banget ya.. siapa sih orang tuanya?"
Terlepas dari pernyataan yang kedua, kita bisa menelaah pada pernyataan pertama di mana yang sering kena getahnya adalah para pendidik yang mengampu mata pelajaran yang kebetulan ada embel-embelnya "agama" atau "islam" atau mungkin juga agama lain. Pernyataan di atas -dipandang dari sudut pendidikan- bisa juga karena kita seringkali (menganggap) kewajiban menyampaikan dan mengajarkan nilai-nilai moralitas itu adalah guru ngaji, atau guru agama. Di sisi lain, guru mata pelajaran selain guru agama tidak berkewajiban membentuk moralitas anak atau ikut menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak didik. Saya kira inilah yang kemudian menjadikan pendidikan kita selama ini tergolong pendidikan sekuler, dimana yang tidak bebas nilai itu hanya pendidikan agama saja, sedangkan pendidikan umum lainnya bebas nilai.
Untuk menjembatani hal semacam itu, maka akan lebih baik bila kita memiliki pandangan bahwa setiap ilmu itu tidak ada yang bebas nilai (value-free). Pendidikan moral (nilai-nilai) tidak hanya dibebankan pada pendidikan agama saja, akan tetapi pelajaran lain pun memiliki andil di dalamnya. Bisa saja yang disampaikan di kelas itu pelajaran Biologi, akan tetapi guru harus mampu menanamkan nilai relegiusitas pada siswa dengan menumbuhkan perasaan takjub (tafakkur) pada kebesaran Ilahi. misal saja, ketika guru biologi menerangkan bab pembentukan janin yang kemudian menjadi manusia utuh yang bisa berjalan, berbicara, makan, minum dan lain sebagainya. Seorang guru tersebut harus mampu mengarahkan pada peserta didik akan kebesaran Tuhan dalam menciptakan dari setetes air mani menjadi bentuk manusia utuh seperti itu. Di sinilah value itu di sampaikan. Pokok persoalan di sini terletak pada esensi nilai yang akan disampaikan bukan pada media penyampainya. Semua ilmu dapat menyampaikan nilai-nilai yang diharapkan, hanya saja mungkin dengan menggunakan pendekatan yang berbeda di sesuaikan dengan bidang ilmu masing-masing.
Begitu juga dalam pelajaran atau ilmu-ilmu lain, semuanya tidak ada yang bebas nilai, seperti pandangan sekulerisme -yang mengatakan ilmu itu bebas nilai-.
Oleh karena itu saya kira, mulai dari sekarang pikiran yang berbau sekulerisme semacam yang disampaikan di atas tersebut betul-betul harus kita rubah menjadi paradigma yang lebih luas, yakni integralisme dalam ilmu. Apapun bidang keilmuan yang diajarkan di situlah terletak nilai (value) yang perlu diajarkan kepada peserta didik/siswa. Jangan sampai hanya dibebankan pada guru PAI atau lebih luasnya tokoh agama saja yang memiliki kewajiban menyampaikan nilai kemuliaan. Siapapun kita, bidang kajian apapun yang kita dalami, kita semua memiliki kewajiban menyampaikan nilai (moralitas) kepada si penerima. wallahu'alam bish-showab

tulisan yang sedikit dan -menurut penulis- banyak pengulangan di sana sini ini semoga bermanfaat. amien. jogja

Selasa, 18 Januari 2011

Objekftifikasi dalam Islam

Kata objektifikasi berasal dari kata objektif, yang berarti "the act of objectifying","membuat sesuatu menjadi objektif". Sesuatu dianggap objektif kalau keberadaannya tidak bergantung pada pikiran sang subjek, tetapi berdiri sendiri secara independen. Jadi, jika A adalah objektifikasi dari B, maka A adalah B yang telah dibuat objektif oleh sang subjek.
Dalam Islam ada kategori objektif yang hukumnya mubah (mengerjakan atau tidak, tidak berpahala atau pun dosa). Tarikh Nabi menceritakan bahwa tawanan perang Badar dipekerjakan untuk mengajari anak-anak Muslim belajar membaca dan menulis. Suatu Hadis menganjurkan agar umat islam mencari ilmu sampai negeri Cina, hal ini juga mengisyaratkan bahwa ada hal-hal yang objektif. Selain jaraknya jauh, Cina pada abad ke-7 -dimana Islam tumbuh dan berkembang- pastilah termasuk negeri kafir (komunis). Di samping itu Islam juga belajar filsafat dari Yunani, strategi perang dan pembuatan alat-alat perang serta sistem birokrasi dari Persia, belajar matematika dari India -yang notabene beragama Hindu-. Sekarang juga kita bisa saksikan banyak kaum Muslimin yang belajar di negera sekuler, semisal Amerika, Kanada, Australia, Turki dan Mesir. Tidak ditemukan dalam kewajiban Agama (teks normatif) yang mengajarkan pada kita untuk harus belajar ke Mekkah atau Madinah. Kewajiban agama hanya belajarnya, sedangkan tempatnya tidak ditentukan oleh agama, alias ditentukan berdasarkan kriteria secara objektif.
Objektifikasi juga berlaku saat kita mau membeli makanan, alat-alat elektronik, mobil, motor, sepeda, atau hal lainnya. Orang yang datang untuk membeli sesuatu tidaklah kemudian ditanya agamanya apa dulu, budayanya, asal daerahnya, dan lain sebagainya. Pembeli cenderung akan membeli sesuatu yang kira-kira harganya miring (mudah dijangkau) dengan kualitas yang bagus. Begitu juga saat aktris dan aktor bermain film, yang dilihat adalah kebolehan mereka dalam beraktingnya bukan dilihat latar belakang agamanya apa, daerah berasalnya mana, dan lain sebagainya. Pengecualian dalam hal membeli makanan, mungkin Islam menganjurkan utuk memilih makanan yang tidak adanya unsur haram -misalnya bahannya dari sesuatu yang haram, atau kadar zat yang dilarang, alkohol, dll-, secara objektif hal ini diterima secara objektif oleh non-muslim). Akan tetapi selebihnya orang akan memilih berdasarkan kriteria objektif.
Demikian halnya di tempat-tempat umum, objektifikasi sangat kental di dalamnya. misalnya, di angkutan umum, bank, pekerja pabrik, guru, supir, buruh, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memungkinkan berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini tidaklah kemudian mempertimbangkan latar belakang agama orang yang diajak berinteraksi akan tetapi sifat objektif, tidak memandang siapa yang diajak bicara, di sinilah objektifikasi berperan.
contoh-contoh di atas adalah perilaku objektif secara pasif, dalam arti menerima kenyataan objektif yang disodorkan kepda umat. Umat Islam juga dituntut untuk berlaku objektif secara aktif. Prinsip Islam adalah rahmat untuk alam semesta (rahmatan lil alamin), dalam arti Islam diturunkan sebagai rahmat untuk semua umat, kepada siapa pun, tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan oleh agama bahwa umat Islam harus berlaku adil, tanpa pandang bulu -kerabat, status, kelas golongan, atau yang membayar lebih. Supaya Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapa pun, obejektifikasi Islam kiranya perlu diketahui dan diaplikasikan secara luas dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu 'alam bish-showab.
semoga secercah pengetahuan yang ditulis di pagi hari ini dapat bermanfaat bagi pembaca. amin

Jogja, 19 Jan 2011, dalam kamar kecil saat menunggu waktu tuk berangkat kerja

PAI dalam Menyikapi Era Pluralisme Agama

I. Pendahuluan
Pluralisme atau kemajemukan agama merupakan suatu fenomena yang mustahil dihindari. Manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Dalam suasana yang majemuk ini, ditambah klaim kebenaran (truth claim) dan watak misioner dari setiap agama, menjadikan umat beragama sebagai kelompok masyarakat yang amat rentan dengan konflik. Konflik yang cenderung disakralkan karena mengatasnamakan agama (kebenaran).
Secara historis-sosiologis, pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman, tak terkecuali agama. Tidak diturunkan agama dalam konteks ruang dan waktu yang sama, tetapi dalam penggalan kontinum ruang dan waktu, mengharuskan manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing, agama Yahudi dengan penganutnya, agama Kristen dengan umatnya, agama Hindu, Budha dan lain-lain. Bahkan tidak itu kitapun menghadapi kalau tidak di Negara kita tentu di Negara lain orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.
Pluralitas bukanlah hal yang merugikan bagi keberadaan kehidupan. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakikatnya menolak esensi kehidupan.
Sungguh pun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural, tetapi di dalamnya berlangsung ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan lemahnya hukum serta rendahnya disiplin masyarakat. Kalau itu yang terjadi, pluralitas dapat berubah menjadi ancaman yang seringkali memicu timbulnya ketegangan, pertentangan, bahkan konflik yang seringkali mengambil kekerasan.
Dalam menghadapi kenyataan adanya pluralitas keagamaan ini, adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk mengambil sikap anti pluralisme. Sikap keagamaan yang terbuka, toleran dan saling memahami menjadi relevan untuk dikembangkan termasuk di Indonesia. Itulah sebabnya, masa kini hubungan antar manusia dan antar agama sudah harus mengalami pergeseran pola. Kalau masa lalu hubungan antar agama ditandai oleh antagonism polemic dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita, masa kini hubungan tersebut lebih menekankan dialog dan saling pengertian. Di masa lampau kita berusaha untuk mengisolasi diri dan menganggap agama lain sesat dan musuh, takut dan curiga kepada usaha agama lain untuk mempengaruhi penganut agama kita, masa kini semangat keterbukaan labih diutamakan.
Dalam konteks inilah, pendidikan Agama Islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan tantangan bagaimana mengembangkan teologi pluralis sehingga dalam masyarakat Islam akan tumbuh pemahaman yang terbuka dan penuh toleransi demi harmonisasi agama di tengah kehidupan bermasyarakat. Tertanamnya kesadaran multicultural dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigm beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan agama Islam ke dalam arah yang toleran dan pluralis. Sebab, arah pendidikan Agama Islam yang eksklusif dan intoleran jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi etnik dan agama.
Selama ini pendidikan (pembelajaran) agama termasuk pembelajaran agama Islam masih mengandung kelemahan. Di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas pluralisme agama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terlalu menekankan pada pengembangan aspek kesalihan pribadi (kesalihan vertikal) dan kurang mengembangkan aspek kesalihan sosial. Dengan penekanan pendidikan agama seperti seperti itu seringkali kontra produktif dengan upaya penciptaan suasana harmoni di antara umat beragama di Negara kita. Imam Moedjono menyatakan bahwa penyampaian ajaran agama oleh sebagian tokoh agama kepada jamaahnya atau guru agama kepada anak didiknya masih sering cenderung member kesan dan pengertian yang kurang memberikan tempat bagi toleransi antar umat beragama.
II. Pluralisme Agama di Indonesia
1. Konsep Pluralisme
Akar kata pluralism adalah “plural”. Plural berasal dari bahasa Inggris yang bermakna jamak atau lebih dari satu. Dengan demikian pluralisme berarti hal yang menyatakan jamak atau lebih dari satu. Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monoisme), tidak dua (dualisme), akan tetapi banyak (jamak).
Sementara itu dalam kajian sosiologis kita sangat akrab dengan kata pluralisme yang oleh sebagian sosiolog diberi makna sebagai sistem nasional dalam suatu Negara yang hidup berbagai kelompok etnik, agama, kultural, status sosial, dan agama yang memelihara dan menjunjung tinggi derajat ketidak-terikatan atau kebebasan dan equalitas.
Dengan menggunakan dasar pemahaman tentang pluralisme seperti di atas, kita dapat mengidentifikasi sekurang-kurangnya lima ciri utama pluralisme. Pertama, selalu berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Kelompok pedagang, politisi, pegawai negeri, buruh dan sebagainya akan mempertahankan posisi agar mereka dapat terus memainkan peran yang selama ini mereka merasa menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Masyarakat yang benar-benar memiliki karakteristik plural meyakini bahwa masing-masing pihak berada dalam posisi yang sama. Mereka meyakini bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang unggul dari kelompok masyarakat lain dalam berbagai hal. Sebagai warga Negara, mereka mempunyai hak, kedudukan, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama. Perbedaan yang ada bukan dipahami sebagai ancaman terhadap eksistensi suatu kelompok.
Ketiga, pluralisme menunjukkan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkompetisi secara jujur, terbuka, dan adil. Karakteristik ini berkaitan dengan upaya menghilangkan pendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada kelompok ordinate yang mendominasi kelompok subordinate, kelompok mayoritas merasa lebih unggul dari kelompok minoritas.
Keempat, pluralisme harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Ini berarti bahwa pluralisme dicirikan oleh pandangan-pandangan yang berbeda yang nampak menjadi daya dorong untuk mendinamisasi kehidupan bermasyarakat, dan bukan mekanisme untuk menghancurkan satu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian pluralisme ada pada posisi yang netral, tidak memihak, dan objektif.
Kelima, menunjukkan adanya perasaan kepemilikan bersama, untuk kepentingan bersama dan diupayakan bersama. Karakteristik semacam ini pada hakikatnya merupakan puncak dan kesadaran bahwa pluralisme sebenarnya merupakan manifestasi jati diri kita.
2. Pluralisme Agama di Indonesia : Suatu Keniscayaan
Dilihat dari hampir seluruh sudut pandang geologis, historis, dan budaya Indonesia adalah kompleks. Oleh karena itu, bukan tidak beralasan semboyan Negara, “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi tetap satu), dicanangkan oleh para pendiri Negara Indonesia untuk menekankan keberagaman etnik dan kebersatuannya. Walaupun ada perbedaan etnik yang meliputi lebih dari 250 bahasa daerah, rakyat Indonesia disatukan oleh bahasa utama, yaitu bahasa Indonesia. Banyak agama/kepercayaan religius yang dianut oleh rakyat Indonesia. Agama-agama ini mencakup sebagian besar agama-agama yang ada di dunia saat ini. Sekitar delapan puluh lima persen penduduk memeluk agama Islam, dan sisanya yang lima belas persen terbagi dalam agama Hindu, Budha, dan Kristen, serta lainnya.
Kenyataan bahwa Indonesia senantiasa bersikap reseptif terhadap ide-ide asing dan ramah terhadap peradaban asing, membuatnya memiliki pola religius yang unik. Seperti kita ketahui, Islam bukanlah merupakan agama pertama yang masuk dan berkembang subur di wilayah ini. Jauh sebelumnya telah berkembang Animisme dan Dinamisme. Kemudian berkembang Hinduisme dan Budhisme yang terjalin erat dalam perkembangan kerajaan-kerajaan awal di negeri ini. Setelah sekitar satu milenium, dominasi Hindu-Budha, kebudayaan Islam menyebar di hampir seluruh Indonesia. Tahap selanjutnya datang agama Katholik dan Kristen.
Kalau kita lacak di Indonesia ternyata banyak sekali agama baik yang masuk kategori agama besar maupun agama lokal. Menurut tulisan Nur Khalik Ridwan, multiagama yang ada di Indonesia tidak hanya lima agama resmi yang diakui oleh Pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama) saja, tetapi ternyata cukup banyak. Ada agama-agama yang kemudian disebut agama lokal, bahkan agama formal besar yang lain di luar yang lima.
Untuk agama Yahudi misalnya, di daerah Surabaya, telah ada komunitas pemeluk agama Yahudi secara sembunyi-sembunyi. Pemeluk agama Yahudi di Surabaya sudah turun temurun sejak abad ke 18 M. Pasang surut pemeluk agama Yahudi di Surabaya ini terjadi seiring dnegan perjalanan bangsa yang cenderung diskriminatif atas agama-agama selain lima agama di Indonesia (Islam, Katholik, Protestan, Budha, dan Hindu). Sekarang ini, pemeluk agama Yahudi masih ada di Surabaya, dan mereka mengajarkan tradisi-tradisi Yahudi kepada anak-anak mereka.
Selain Yahudi, agama Baha’i juga telah memiliki komunitas. Beberapa aktivisnya di Jakarta bahkan telah ikut aktif dalam menggagas agama dan perdamaian. Bahkan, ketua badan eksekutif ICRP di Jakarta, pernah dipegang seorang yang beragama Baha’i.
Di luar komunitas agama Yahudi dan Baha’i ini, masih ada agama-agama local di bumi Indonesia. Misalnya di Gunung Kidul, sebagaimana diinformasikan oleh Darmaningtyas ketika meneliti fenomena bunuh diri di Gunung Kidul, ada hal menarik yang ditemukan. Menurut penemuan Darmaningtyas, di Gunung Kidul ada agama yang bernama Boda (bukan Budha) yang dipeluk oleh orang-orang tua Gunung Kidul yang juga memiliki ritual sacral dan mengakui adanya Tuhan. Agama ini hampir punah akibat kristenisasi dan islamisasi yang dilakukan oleh kalangan agama besar dan juga karena diskriminasi Negara.
Selain hal di atas, menurut catatan yang diberikan oleh Rahmat Subagya ketika meneliti Katholik dan Kebatinan, tercatat ada banyak sekali agama-agama lokal di bumi Indonesia. Misalnya di daerah Surakarta, kelompok-kelompok agama local di Jawa sebagian mendirikan Paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU) pada tahun 1949. Sedangkan sebagian agama-agama lokal lain di Jawa dan luar Jawa pada tahun 1955 mendirikan Badan Konggres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKSI) yang diketuai Mr. Wongsonegoro, dan tahun 1973 sudah memiliki 113 cabang. Bahkan, Depag tahun 1953 mencatat ada 350 agama baru di Indonesia. Pada tahun 1968, kelompok-kelompok agama lokal di seluruh Indonesia telah mendirikan Paguyuban Ulah Kebatinan Seluruh Indonesia (PUKSI).
Jadi, adanya agama-agama yang ada di Indonesia tidak hanya terbatas pada Islam, Katholik, Budha, Hindu, Protestan, dan Konghucu, tetapi juga masih ada yang lain, sebagaimana yang telah disebutkan yang merupakan hal yang faktual. Kita ketahui pula banyak agama-agama baru yang bermunculan pada akhir-akhir ini.
III. Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
1. Respon terhadap Pluralisme Agama
Perbincangan seputar isu pluralisme keagamaan di tanah air ini, lebih-lebih dnegan semakin sering terjadinya kasus konflik antar anggota masyarakat yang diduga dipicu oleh unsur SARA, begitu marak. Isu pluralisme keagamaan yang berkembang, apabila kita cermati setidaknya dapat kita rangkum dalam dua poin : pertama, pentingnya mengembangkan sikap toleransi/sikap saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan dalam beragama; dan kedua, perlunya pengakuan seseorang terhadap kebenaran agama lain, di luar agama yang dipeluk. Menurut sebagian pendapat, bahwa tidak ada agama yang benar secara absolute, tetapi yang ada adalah kebenaran yang relative (relativisme teologis).
Menanggapi isu pluralisme keagamaan seperti itu, harus bersikap hati-hati. Terhadap isu pertama memang kita harus menerima dan mendukungnya karena dalam agama kita (Islam) juga ada ajaran ke arah sana. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam QS. Al-Kafirun, QS. Al-Baqarah ayat 256, yang secara tegas mengajarkan kepada kita untuk bersikap toleran dan menghormati serta menghargai pemeluk agama lain serta member kebebasan bagi mereka untuk menjalankan keagamaan sesuai dengan keyakinannya.
Sedang terhadap isu yang kedua, kita harus berhati-hati jangan begitu saja menerima gagasan semacam itu. Dalam hal ini perlu kita perhatikan pernyataan Muhaimin, yaitu bahwa klaim kebenaran bagi setiap agama adalah sangat absah adanya, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi pengikutnya. Selain itu, agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai pelaku agamanya yang loyal, memiliki personal commitment (keterikatan diri) terhadap ajaran agamanya, memiliki semangat dedikasi dan bahkan berjuang, serta rela berkurban untuk agamanya kalau memang diperlukan.
Di samping itu, Adian Husaini menyatakan, bahwa pengembangan “relativisme teologis” sebenarnya membawa dampak yang sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Teologi ini mengajak penganutnya untuk “tidak meyakini” kebenaran agamanya dan berpangkal pada keimanan yang abstrak dan kabur. Ujungnya adalah pengingkaran kepada kebenaran “wahyu dan kenabian” serta menyerahkan kebenaran kepada “nurani” manusia yang serba nisbi dan tidak jelas parameter kebenarannya.
Faktanya, konsep teologis masing-masing agama seringkali begitu jauh bahkan bertabrakan. Islam, misalnya, menolak konsep Trinitas Kristen dan secara tegas menyebut penganut Trinitas sebagai kaum “kafir”. Begitulah, konsep ketuhanan Yesus ditolak keras oleh Islam. “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah ialah Al Masih, putra Maryam…” (Al-Maidah : 72). Pada ayat lain dikatakan : “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; bahwasanya Allah adalah satu dari yang tiga…” (Al-Maidah : 73)
Teologi Islam dengan tegas menyatakan bahwa agama yang benar dan diakui Allah adalah Islam. Surat Ali Imran ayat 19 menegaskan bahwa, “Sesungguhnya, agama (yang diridhai) Allah hanyalah Islam…”. Sedangkan ayat 85 menyatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Pada tataran teologis, keyakinan akan “kebenaran satu-satunya” pada agama yang dianutnya justru diperlukan. Keyakinan itu pun dalam konsepsi teologis Islam harus tidak disertai dengan keraguan (laa raiba fiihi). Masuknya unsur keraguan terhadap kebenaran teologis Islam dikategorikan sebagai “syirik” (kotor atau bercampur). Dalam urusan akidah, teologi Islam justru mensyaratkan “kebenaran dan keyakinan mutlak.” Karena itu, banyak ulama mensyaratkan : dalil-dalil dalam akidah haruslah bersifat pasti atau mutlak kebenarannya, baik dari sudut sumber (wurud) maupun maknanya (dalalah).
2. Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah di Indonesia sampai sekarang diakui memang masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan terutama kalau dikaitkan dengan pluralisme beragama. Haidar Baqir di dalam SKH Kompas menyatakan bahwa pendidikan agama kita tak lebih sebuah formalitas belaka, yang tidak “berbekas” pada anak didik. Pendidikan agama kita saat ini masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistic, dan legal formal. Ada survey yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesalihan-kesalihan ritual. Cara berpakaian ala muslim (misal; memakai jilbab) mengalami perkembangan. Model dan pemakaiannya semakin terlihat lebih banyak di jalanan. Melonjaknya arus yang menunaikan haji dan umroh, dan makin tingginya laju islamisasi di berbagai bidang –termasuk makin besarnya minat orang terhadap berbagai barang konsumsi dan aksesoris yang menampilkan citra Islam-, makin berkembangnya industri buku dan produk-produk informasi keislaman. Kita cenderung puas dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan. Penghayatan keagamaan kita cenderung berpusat pada pelaksanaan ritual.
Kelemahan lain pendidikan agama adalah hanya terfokus pada ranah kognitif (intelektual-pengetahuan), sehingga ukuran keberhasilan anak didik dinilai ketika mampu menghafal, menguasai materi pendidikan, bukan bagaimana nilai-nilai pendidikan agama seperti keadilan, menghormati, tasamuh, dan silaturahim, dihayati (mencakup emosi) sungguh-sungguh dan kemudian dipraktikkan (psikomotorik). Haidar Baqir menggugat pendidikan agama yang tidak mencakup dimensi psikomotorik dan afektif. Pendidikan agama yang menekankan aspek kognitif saja mengakibatkan anak didik tidak menjadi manusia yang tawadlu’, manusia yang salih secara individu dan sosial. Akibat dari pendidikan agama seperti itu sekalipun negeri ini dikatakan sebagai negeri religius, ternyata korupsinya nomor wahid.
Hal senada dengan pendapat di atas, menurut Musa Asy’ari, realitas pendidikan agama yang diberikan di sekolah, ternyata masih bersifat doktrinal, monolog, dan dipenuhi muatan formalitas yang cenderung menolak realitas plural dalam keagamaan. Selain itu, penilaiannya cenderung bias, karena tolok ukurnya yang tidak jelas apakah pada penguasaan formal ajaran keagamaan sebagai sebuah doktrin, atau lebih lagi pada realitas kesalihan sosial sebagai manifestasi dari iman seseorang yang beragama.
Inilah realitas pendidikan agama kita di sekolah-sekolah yang sedang diharapkan dapat memberikan kontribusinya terhadap perdamaian dan kerukunan agama di Indonesia. Harapan ini akan mustahil apabila kita tidak mampu mengubah arah dan watak pendidikan agama kita saat ini.
Pluralitas adalah anugerah Illahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya. Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi-religius. Kekeyaan ini harus dijaga menjadi keragaman di bawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan (agama).
Untuk menggapai hal tersebut kita membutuhkan instrument pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan berwawasan kemajemukan (pluralisme) adalah salah satu jawabannya. Pendidikan berwawasan kemajemukan adalah pendidikan yang mampu mengorientasikan peserta didik untuk melihat, menyapa, dan menghormati perbedaan.
Oleh karena itu, paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum harus memenuhi tiga hal. Pertama, membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.
Kedua, porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualistik-formalis. Sebab, dititik inilah setiap agama dapat bertemu dalam satu tujuan. Karena mustahil agama mengajak penganutnya untuk berbuat jelek terhadap orang lain. Harapannya sejak dini peserta didik telah diperkenalkan untuk bekerjasama dan berinteraksi tanpa kenal batas agama. Jadi, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekolah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertical (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan, anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
Ketiga, di dalam kurikulum nasional, terutama untuk level pendidikan menengah atas hingga perguruan tinggi, perlu diperkenalkan suatu mata pelajaran/mata kuliah yang mengulas tentang ajaran-ajaran agama lain. Sehingga dengan demikian anak didik akan memiliki wawasan yang cukup untuk menghargai/menghormati agama lain. Ketidakmengertian terhadap agama-agama lain sering kali menimbulkan asumsi miring bahkan negative terhadap agama lain. Mengajarkan mata pelajaran sejarah agama-agama, perbandingan agama ataupun ilmu agama menjadi satu keniscayaan bagi peserta didik. Pada era 30 sampai 40-an pola seperti ini pernah dilakukan di sekolah menengah di Indonesia. Harapannya peserta didik akan diberikan wawasan tentang agama lain sehingga tidak terjebak pada pandangan yang sinis dan minor terhadap agama lain.
IV. Penutup
Berdasar apa yang telah dipaparkan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, sikap pluralisme yang perlu kita kembangkan dalam menghadapi pluralisme beragama bukanlah pluralisme yang mengarah kepada pengembangan relativisme teologis, tetapi pluralisme konfensional, yakni meyakini kebenaran agamanya secara mantap tanpa ragu-ragu tetapi bersamaan itu dikembangkan sikap saling menghargai, menghormati keyakinan/agama lain.
Kedua, pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam konteks pluralisme beragama diakui memang masih mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas keberagaman beragama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terbatas pada pengembangan aspek kesalihan sosial. Oleh karena itu, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekoah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertikal (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah seperti itu diharapkan anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.

--------------------------


Daftar Pustaka

Adian Husaini, “Paradigma Munafik : Tanggapan untuk Mohammad Ali” dalam www. Al-Islam.id
Akbar S. Ahmed, Posmodernism and Islam : Predicament and Promise, London : Roulledge, 1992
Alwi Shihab, “Pertemuan Islam-Kristen di Indonesia : Sebuah Tinjauan Historis”, dalam Islam Inklusif, Bandung : Mizan, 1999
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta : Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004
Haidar Baqir, Kompas, 28 Februari 2003
Imam Moedjono, “Peran Pendidikan Islam dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta : Aditya Media, 1997
John M. Echols dan Hasan Shadly, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1992
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam : Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003
Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, Yogyakarta : Lesfi, 2002
---------, Kompas, 29 Maret 2003
Nur Khalik Ridwan, “Dalih Agama untuk Kekerasan”, dalam Abdul Qodir Shalih, Agama Kekarasan, Yogyakarta : Prismasophie, 2003
Onghokham, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Elga Sarapung dkk (Ed), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : Interfidei, 2004
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholis Madjid, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999

Dari Teosentris-Spiritual intuitif menuju Humanisme-Teosentris

Mula-mula perjalanan keilmuan pengetahuan berawal dari Yunani yang sifat keilmuannya bersifat humanis, dimana dalam setiap perkembangan dan penemuan setiap keilmuan didasarkan pada hal yang bersifat pure (murni ke arah ilmu semata). Selanjutnya, selang beberapa abad hadirnya islam dengan sifat pengembangan ilmu ke arah teosentris-humanis. Banyak para pemikir muslim yang ahli di bidang keilmuan umum memadukannya dengan sifat transendentalnya. Setiap perkembangan keilmuan pada waktu itu diringi dengan nilai-nilai keagungan Tuhan yang maha bijaksana. Seakan-akan perkembangan ilmu saat itu (islam) menemukan titik perpaduan yang kuat antara keilmuan yang bersifat humanisme akan tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama sebagai aspek perkembangan transendentalnya (theology). Dengan adanya suatu rasa khawatir akan terfokusnya umat islam yang hanya mengembangkan ilmu yang bersifat humanis, lalu munculah golongan yang mengagung-agungkan nilai yang bersifat teosentris. Hal ini terjadi pada era kemunduran peradaban islam. Ditunjukkan dengan hadinya golongan-golongan yang bersifat sufistik, zuhud, yang dalam terminologi ilmu kalam dianggap sebagai golongan jabariyah atau fatalistik. Golongan inilah yang kemudian menampilkan keilmuan islam yang bersifat sentralistik pada ketuhanan tanpa mau melirik perkembangan ilmu yang humanis. Pada masa ini islam berada pada kondisi kemunduran dan sedikit demi sedikit terlenakan dengan hanya mengagungkan nilai-nilai teosentris. Disaat islam disibukkan dengan kejumudan keilmuan, hadirlah Barat dengan mengadopsi keilmuan yang sudah dikembangkan islam berabad-abad sebelumnya. Hanya saja tampilan keilmuan yang dikembangkan oleh Barat terfokus pada pemberian manfaat yang sebesar-besarnya pada kepentingan manusia semata (antroposentrisme) tanpa pengindahan pada nilai-nilai transendental. Tanpa merasa ‘kecolongan’ umat islam masih menikmati kejumudan keilmuan yang menghinggapi mereka.
Adalah kejadian-kejadian yang menindas kaum muslimin yang kemudian menyadarkan bahwa jalan yang selama ini ditempuh umat islam (teosentris semata) kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah sosial yang dihadapi. Sebuah kasus, hanya gara-gara melempar granat kecil –yang kemungkinan daya rusaknya sangat kecil- lalu dibalas dengan kaum kafir zionis dengan rudal yang berdaya ledak sangat dahsyat dan mematikan. Ini realitas umat islam saat ini. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, islam oleh para kaum yang tidak suka dengan islam dikotak-kotakkan menjadi beberapa golongan yang kerap saling bermusuhan dan saling membunuh (lihat pada bangsa Irak, Hamas vs Fatah). Dari sedikit gambaran tersebut, setidak-tidaknya kita sebagai generasi penerus umat islam harus mampu merumuskan paradigma yang kemudian teraplikasikan dalam aksi nyata untuk menyikapi perkembangan zaman yang semakin kompleks. Kita harus mengembalikan kejayaan islam masa lalu yang dihadirkan dalam format yang lebih elegan di masa sekarang. Islam yang tetap berjaya, tetap konsisten dengan nilai-nilai teologis dari sumber utama (al-Qur’an dan Hadits) dan tetap menjadi agama yang dapat membawa kemanfaatan bagi seluruh umat (rahmatan lil alamin).
Fungsi Pendidikan Islam
Di dalam konteks pendidikan Islam, paradigma humanisme-teosentris diibaratkan seperti pendulum (bandulan). Apabila goyangannya lebih condong ke humanisme, maka akan menampilkan dinamika pendidikan islam yang liberal, sebaliknya kalau berat ke teosentris maka cenderung menjadi pendidikan Islam yang konservatif (ortodoks). Dalam terminologi ilmu Kalam, aliran Qodariyah cenderung humanisme, sedangkan Jabariyah cenderung teosentris. Dalam sejarah peradaban Islam, golongan Mu’tazilah yang mengikuti aliran Qodariyah berhasil mengembangkan pendidikan liberal yang membawa kemajuan peradaban Islam. Berbeda halnya dengan golongan Jabariyah yang lebih condong teosentris disimbolkan dengan perkembangan pendidikan keagamaan dengan pendekatan fikih dan mistis. Posisi pendulum yang seimbang antara ke arah humanisme dan teosentris merupakan pendidikan Islam yang ideal, yang secara normatif akan membentuk manusia yang seimbang antara pikir, zikir, dan amal sholeh atau dalam bahasa lain seimbang antara ilmu, iman, dan amal. Meminjam istilahnya Bloom, seimbang antara kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Dalam sesi kuliah, ada mahasiswa mengajukan pertanyaan yang sangat kritis dan menjadi bahan perenungan bagi kita sebagai umat yang saat ini masih mencari model paradigma pendidikan Islam yang tepat. Dalam bahasa yang singkat seorang mahasiswa itu bertanya : “Bagaimana jika indah dan nikmatnya surga tidak lagi mendorong umat islam tuk berbuat kebaikan dan kebermanfaatan di muka bumi ini, dan kengerian serta beratnya siska neraka beserta perlakuan yang akan didapat ketika di neraka tidak bisa lagi membuat manusia tuk meninggalkan perbuatan maksiatnya di muka bumi ini?”
Pertanyaan ini, meskipun disampaikan secara spontan, saya kira merupakan hasil dari pengalaman selama ini yang menjadi realitas sehari-hari yang sarat dengan kemaksiatan dan pengenyampingan nilai-nilai agama. Dari persoalan tersebut, kiranya penting bagi kita untuk merumuskan paradigma pemahaman terhadap nilai-nilai agama. Kalau dipandang dari sudut pandang pendidikan (Islam), paradigma yang bersifat teosentris harus dirubah menjadi humanisme-teosentris. Dari pengajaran yang hanya bersifat legalistik (halal-haram) dikembangkan menjadi pengajaran yang tranformatif, yakni pengajaran atau pendidikan yang mempertimbangkan prinsip liberalisasi, humanisasi, dan transendensi yang bersifat profetik. Fungsi pendidikan harus bisa menciptakan kemampuan membaca secara luas bagi peserta didik. Kemampuan membaca (iqra’) bukan hanya kemampuan membaca tulisan saja, akan tetapi bisa membaca peristiwa-peristiwa yang dialami, berubahan sosial, fenomena-fenomena dalam kehidupan, serta kemampuan melihat gejala manusia itu sendiri. Dengan begitu, peserta didik diharapkan dapat menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya.
Dalam penyampaian materipun harus mampu mengkontekskan dengan keadaan yang ada. Misalnya dalam penyampaian materi fiqh. Penyampaian mata pelajaran fikih di sini bukan semata-mata menyampaikan hal-hal yang bersifat legalistik, namun harus mencoba mengkontekskan dengan realitas kehidupan yang nyata dengan segala kompleksitasnya. Dengan begitu, persoalan-persolan yang dihadapi dalam kehidupan ini bisa dijembatani dengan pengembangan dan pengajaran nilai-nilai keagamaan yang merambah ranah konteks secara nyata. Selama garapan fikih atau ilmu-ilmu keagamaan yang lain masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat spiritual intuitif tanpa mau mencoba mengembangkan ke ranah humanisme-teosentris, maka merupakan usaha yang berat bahkan mustahil untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa di negeri ini. Di sinilah pentingnya paradigma humanisme-teosentris dalam pendidikan Islam.
Tulisan yang singkat dan yang penulis yakin banyak kekurangan ini semoga dapat memberikan wawasan sekilas akan pentingnya paradigma humanisme-teosentris dalam pendidikan Islam. Semoga pembaca kurang puas dengan tulisan ini, dan mencoba mendalami lebih lanjut melalui berbagai referensi yang berkualitas. Wallahu ‘alam bish-showab
(Jogja, 18/01/2011, ba’da sholat maghrib sambil menunggu jamaah Isya’)

Senin, 17 Januari 2011

PEMBELAJARAN DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (Penelusuran Ranah Kognitif, Afektif, dan Psikomotorik)

A. Pendahuluan
Islam adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Bukanlah suatu kebetulan jika ayat pertama Al-Quran, surat al-‘Alaq memulai dengan perintah membaca, iqra’. Di samping itu, pesan-pesan Al-Qur’an dalam hubungannya dengan pendidikanpun dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaan dan kisah. Lebih khusus lagi, kata ilm dan derivasinya digunakan paling dominan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan
Pendidikan didefinisikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya agar bisa memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara . Pendidikan, jika dilihat dari jalurnya dapat dikelompokkan menjadi pendidikan formal, nonformal, dan informal. Pendidikan formal, jika dilihat dari jenjangnya, terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi
Pendidikan Agama Islam, sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan pada pendidikan dasar dan menengah, telah disediakan dokumen standar kompetensinya oleh Depdiknas pusat. Dokumen standar kompetensi pendidikan agama Islam yang telah dikeluarkan oleh Depdiknas tersebut tidak boleh dikurangi, tetapi boleh ditambahkan dan dikembangkan. Dari dokumen tersebut, silabus dikembangkan, materi pembelajaran dipersiapkan, strategi pembelajaran dipilih, dan instrumen evaluasi dibuat
Mata pelajaran PAI di sekolah secara keseluruhan merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh. Hal ini dimaksudkan agar dapat menghasilkan peserta didik yang memilki kepribadian utuh dan terintegrasi, serta jangan sampai menjadi pribadi yang terpecah-pecah. PAI yang utuh dan bulat itu meliputi Al-Qur’an/Hadi, Keimanan, Akhlak, Fiqh/Ibadah, dan Tarikh. Ini sekaligus menggambarkan ruang lingkup PAI yang mencakup perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah Swt, dengan diri sendiri, sesama, makhluk lainnya, maupun lingkungannya
PAI di sekolah, jika dilihat dari tujuannya, tidak saja menekankan pentingnya hasil atau produk, tetapi sekaligus prosesnya. PAI bertujuan untuk menumbuhkan, menanamkan, dan meningkatkan keimanan melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia Muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya kepada Allah Swt., serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,dan juga untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi
Nah, dalam makalah ini akan dibahas tentang pembelajaran dalam perspektif Pendidikan Agama Islam meliputi : (1) Pandangan tentang pembelajaran, (2) Tujuan Pendidikan Agama Islam, (3) Pengembangan ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam Pendidikan Agama Islam (PAI)

B. Pandangan tentang Pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses terjadinya interaksi antara pelajar (mahasiswa) dan pengajar (dosen) dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran , yang berlangsung dalam suatu lokasi tertentu dalam jangka satuan waktu tertentu pula
Proses pembelajaran berlangsung melalui tahap-tahap persiapan (desain pembelajaran), pelaksanaan (kegiatan belajar mengajar) yang melibatkan pengajar dan siswa, berlangsung di dalam kelas dan di luar kelas dalam satuan waktu untuk mencapai tujuan kompetensi (kognitif, afektif dan psikomotorik) dan selanjutnya dirumuskan dalam bentuk tujuan-tujuan pembelajaran
Proses terjadinya fase-fase dalam belajar yag demikian telah dicontohkan oleh Rasulallah Saw dengan ungkapan-ungkapan haditsnya :
“Apakah engkau tahu ke mana perginya matahari?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 89)
“Apakah engkau mau hatimu menjadi lembut dan kebutuhanmu terpenuhi?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 87)
“Apakah kalian ingin bersugguh-sungguh dalam berdo’a?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 81)
“Apakah engkau ingin menjadi seperempat penduduk surga?” (Shahih al-Jami’a ash Shaghir, juz 1, hal. 84)
Menumbuhkan motivasi, menarik perhatian dan proses pengondisian dan modeling merupakan metode pendidikan modern. Tetapi perlu diingat bahwa hal tersebut telah dilakukan oleh Rasulallah dengan ungkapan berupa pertanyaan seperti pada hadits di atas. Pelajaran yang dapat kita ambil dari ungkapan –ungkapan Rasulallah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ketika pertanyaan itu di ajukan, dapat memotivasi pendengan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Artinya, pikiran pendengar telah terfokus terhadap pertanyaan dan inderanya tidak lagi disibukkan dengan hal-hal lain. Dengan demikian seorang pembicara telah berhasil mengarahkan konsentrasi pendengar kepadanya.
2. Pertanyaan dapat menjadikan pendengar merasa tertantang oleh pembicara. Ini yang disebut dengan kompetisi untuk mendapatkan informasi/pengetahuan. Sehingga terjadilah interaksi yang seimbang.
3. Mengajukan pertanyaan dapat mencapai tiga tujuan moral dan edukasi, yaitu : kognitif, emosi dan kinetik
Contoh tercapainya tujuan kognitif, seperti pertanyaan Nabi, “apakah engkau mengetahui ke mana matahari akan pergi ?” Tercapainya tujuan moral dan kinetik seperti pertanyaan Nabi, “apakah engkau ingin hatimu menjadi lembut ?” Pertanyaan ini sangat berkesan dalam pikiran dan perasaan pendengarnya. Hal ini dapat menjadikan pendengar ingin sekali mengetahuinya (tercapai tujuan sikap/emosi) yang kemudian dibuktikan dengan tindakan nyata (tercapainya tujuan kinetik/psikomotorik)
4. Pertanyaan juga dapat lebih menonjolkan informasi/pengetahuan. Perbedaannya seperti dapat dilihat dalam dua penyampaian berikut :
a. Ghibah adalah engkau membicarakan saudaramu yang tidak disukainya.
b. “Apakah engkau tahu ghibah itu ?” Mereka berkata : Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Nabi bersabda, “Ghibah adalah engkau membicarakan saudaramu yang tidak disukai.
Kita perhatikan, menyampaikan informasi/pengetahuan dengan cara yang pertama kurang dapat menarik perhatian, sementara cara kedua dapat menarik perhatian pendengarnya.
5. Pertanyaan dapat membuat rangsangan bagi pendengarnya, sehingga dia begitu antusias untuk mengetahui jawabannya sebelum meninggalkan tempat itu. Ini merupakan pengajaran langsung sekaligus cepat dalam mendapatkan pengetahuan, di samping adnya kesiapan pikiran yang sempurna.
Di sisi lain tujuan pendidikan Islam yang dituangkan dalam standard kompetensi, kemudian dijabarkan ke dalam kompetensi dasar, selanjutnya dijabarkan menjadi hasil belajar, dan akhirnya dapat diukur dengan indicator hasil belajar. Misalnya, mata pelajaran mengarang memiliki kompetensi untuk mengembangkan nalar dan kreatif siswa. Dalam hal ini, siswa disuruh membuat suatu karangan bebas hasilnya diperiksa oleh guru satu-persatu. Guru akan mudah mengetahui seberapa jauh perkembangan nalar dan kreatif mereka. Kalau karangan siswa itu hanya sekedar mencontoh tipe atau pola-pola karangan yang sudah ada, berarti nalar dan kreatif mereka belum berkembang dengan baik. Berdasar pengalaman itu, guru dapat membimbingnya sampai nalar dan kreatif mereka menjadi berkembang dengan baik. Sehingga dari ketiga ranah (kognitif, afektif, dan psikomotorik) dapat berkembang pada diri anak didik.

C. Pengembangan Tiga Ranah dalam PAI
1. Pengembangan Pola Pikir (Kognitif)
Akal adalah karunia Allah Swt. yang besar bagi manusia. Agama Islam berisi pedoman bagi manusia yang berakal. Hanya manusia yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi. “Apakah mereka tidak pernah merenung berpikir tentang diri mereka?” (QS. Al-Ankabut ; 20)
Pembinaan pola pikir/kognitif, yakni pembinaan kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang luas dan mendalam sebagai penjabaran dari sifat fathonah Rosulullah. Seseorang yang fathonah itu tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki kebijaksanaan atau kearifan dalam berpikir dan bertindak . Mereka yang mempunyai sifat fathonah mampu menangkap gejala dan hakikat dibalik semua peristiwa. Mereka mampu belajar dan menangkap peristiwa yang ada di sekitarnya, kemudian menyimpulkannya sebagai pengalaman berharga dan pelajaran yang memperkaya khazanah. Mereka tidak segan untuk belajar dan mengajar, karena hidup hanya semakin berbinar ketika seseorang mampu mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut.
Toto Tasmara dalam bukunya Kecerdasan Ruhaniah mengemukakan bahwa karakteristik yang terkandung dalam jiwa fathonah antara lain :
a. The man of wisdom. Mereka tidak hanya menguasai dan terampil melaksanakan profesinya, tetapi juga sangat berdedikasi dan dibekali dengan hikmah kebijakan (al-Baqarah ; 269)
b. High in integrity. Mereka sangat bersungguh-sungguh dalam segala hal, khususnya dalam meningkatkan kualitas keilmuan dirinya. Mereka tidak hanya memikirkan apa yang nampak, tetapi mampu melihat apa di balik yang tampak tersebut melalui proses perenungan atau tafakur (Al-Imran ; 190)
c. Willingness to learn. Mereka memilki motivasi yang sangat kuat untuk terus belajar dan mampu mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang dihadapinya. (Yusuf ; 111)
d. Proactive stance. Mereka bersikap proaktif, ingin memberikan kontribusi positif bagi lingkungannya. Melalui pengalaman dan kemampuan dirinya, ia telah menjadikannya sebagai sosok yang mampu mengambil keputusan yang terbaik dan manjauhi hal-hal yang akan merugikan (al-Ma’idah ; 100)
e. Faith in God. Mereka sangat mencintai Tuhannya dan karenanya selalu mendapatkan petunjuk dari-Nya. Hidupnya bagaikan telah diatur Allah sehingga tumbuh rasa optimis untuk menjadikan Allah sebagai tempat dirinya bersandar atau bertawakal (Ali Imran ; 7,30-31, al-Baqarah ; 138)
f. Creditabel and reputable. Mereka selalu berusaha untuk menempatkan dirinya sebagai yang dapat dipercaya sehingga tidak pernah mau mengingkari janji atau menghianati amanah yang dipikulkan kepada dirinya (ar-Ra’d ; 19-22)
g. Being the best. Selalu ingin menjadikan dirinya sebagai teladan (the excellent exemplary) dan menampilkan unjuk kerja yang terbaik (Ali Imran ; 110)
h. Empathy and Compassion. Mereka menaruh cinta kepada orang lain sebagaimana dia mencitai dirinya sendiri (at-Taubah ; 128)
i. Emotional maturity. Mereka memilki kedewasaan emosi, tabah, dan tidak pernah mengenal kata menyerah serta mampu mengendalikan diri dan tidak pernah terpernagkap dalam keputusan yang emosional (Luqman ; 17)
j. Balance. Mereka memiliki jiwa yang tenang, sebagaimana dikenal dalam Al-Qur’an sebagai nafsul muthmainah (al-Fajr ; 27-30, asy-Syuraa ; 89)
k. Sense of mission. Mereka memiliki arah tujuan atau misi yang jelas dalam kehidupannya. (at-Taubah ; 33, al-Fath ; 28, ash-Shaff ; 9)
l. Sense of competition. Mereka memiliki sikap untuk bersaing dengan sehat. Karena mereka sadar bahwa setiap umat memiliki kiblat dan martabatnya dengan memilki sense of competition (al-Baqarah ; 148).
Guru besar Islamic Studi di Universitas Cambridge, Arthur J. Arberry dalam Hafiz mengemukakan bahwa “Agama Islam memiliki peran yang cukup besar dan mengagumkan dalam menyodorkan sebuah konsep pendidikan, baik dalam bidang seni, hukum, politik, ilmu pengetahuan dan lain-lain”.
Untuk bisa mewujudkan konsep pembinaan intelektual dalam Islam ini, maka harus disusunlah beberapa kaidah agar bisa memudahkan orangtua atau guru dalam membina anak dengan ilmu dan pemikiran yang benar. Lebih lanjut Hafiz mengemukakan pola pembinaan akal dalam membentuk pola pikir anak hingga dewasa diawali dengan :
1) Menanamkan kecintaan anak kepada ilmu.
2) Membimbing anak menghafal sebagian ayat al-Qur’an
3) Mengajarkan anak bahasa Arab dan bahasa asing lainnya.
4) Mengarahkan anak pada kecenderungan bakatnya.
Para psikolog kognitif menaruh banyak perhatian pada berbagai macam persoalan dengan menggunakan kemampuan berpikir secara efisien dan efektif. Sasaran dari belajar pengaturan kegiatan kognitif adalah sistematisasi proses belajar dalam diri sendiri. Dalam psikologi modern sistematisasi dan pengaturan kegiatan mental yang kognitif ini dipandang sebagai suatu proses kontrol (control procces)

2. Pengembangan Sikap (Afektif)
Afektif, yakni pembinaan sikap mental (mental attitude) yang mantap dan matang sebagai penjabaran dari sikap amanah Rasulallah. Indikator dari seseorang yang memiliki kecerdasan ruhaniah adalah sikapnya yang selalu ingin menampilkan sikap yang ingin dipercaya (kredibel), menghormati dan dihormati. Sikap hormat dan dipercaya hanya dapat tumbuh apabila kita meyakini sesuatu yang kita anggap benar sebagai prinsip-prinsip yang tidak dapat diganggu gugat
Bersikap adalah merupakan wujud keberanian untuk memilih secara sadar. Setelah itu ada kemungkinan ditindaklanjuti dengan mempertahankan pilihan lewat argumentasai yang bertanggungjawab, kukuh dan bernalar.
Menurut Toto Tasmara, di dalam diri yang amanah ada beberapa nilai yang melekat, yaitu :
1) Rasa tanggungjawab (takwa). Mereka ingin menunjukkan hasil yang optimal atau islah.
2) Kecanduan kepentingan dan sense of urgency. Mereka merasakan bahwa hidupnya memiliki nilai, ada sesuatu yang penting. Mereka merasakan dikejar dan mengejar sesuatu agar dapat menyelesaikan manahnya sebaik-baiknya.
3) Al-amin, kredibel, ingin dipercaya dan mempercayai. Hidup baginya adalah sebuah proses untuk saling mempercayai dan dipercaya.
4) Hormat dan dihormati (honorabel). Hidup yang wajar dan tidak harus menjadi kharismatik atau berupaya membuat dirinya menjadi dikultuskan. Dia merasakan bahwa hanya mungkin dicintai bila dia pun terbuka untuk mencintai.
Konsep pembelajaran yang terlalu menekankan pada aspek penalaran/hafalan akan sangat berpengaruh terhadap sikap yang dimunculkan anak. Menghafal tentu ada gunanya. Namun kalau kemudian menjadi dominan dan seluruh mata pelajaran harus dihafal, maka akan melahirkan anak-anak didik yang kurang kreatif dan berani dalam mengungkapkan pendapatnya sendiri. Apabila proses menghafal tidak segera diperbaiki secara radikal, anak-anak didik akan mendapatkan kesulitan untuk bersikap, menunjukkan keinginan dan mempertahankan prinsip-prinsip yang dipegang secara sangat kuat.
Rumitnya lingkungan kita saat ini sudah sedemikian agresif merangsang anak-anak untuk cepat berubah dan cepat matang. Sementara sekolah sendiri belum siap benar dalam membekali anak didiknnya untuk menghadapai lingkungan yang semakin agresif. Yang perlu kita perhatikan bersama adalah bagaimana membekali anak-anak didik kita dalam kebiasaannya bersikap.
Belajar sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek, berdasarkan penilaian terhadap objek itu sebagai hal yang berguna (sikap positif) atau tidak berharga (sikap negatif). Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperan sekali dalam mengambil tindakan (action), lebih-lebih bila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau tersedia beberapa alternatif.

3. Pengembangan Psikomotor
Sesungguhnya memberi pengalaman praktis berarti memberi masukan wawasan dan ilmu pengetahuan. Ketika anak mulai tumbuh dan mampu memfungsikan kedua tangannya untuk melakukan banyak hal, ketika itu pula akalnya mulai terbuka untuk bekerja.
Fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan dirinya kepada orang lain. Kita tidak mungkin dapat berkembang dan survive tanpa kehadiran orang lain. Bila seorang filusuf Barat berkata “cogito ergo sum” aku ada karena aku berpikir, kita dapat mengatakan “aku ada karena aku memberikan makna bagi orang lain” sebagaimana Rasulallah bersabda : “Engkau belum disebut sebagai orang yang beriman kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirimu sendiri”
Ucapan Rasulallah di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak mungkin berkembang dan mempunyai kualitas unggul, kecuali dalam kebersamaan. Kehadirannya di tengah-tengah pergaulan harus senantiasa memberi manfaat. Di sinilah salah satu peran sifat tabligh yang merupakan salah satu akhlak Rasulallah Saw yaitu menyampaikan kebenaran melalui suri teladan dan perasaan cinta yang sangat mendalam.
Toto Tasmara, mengemukakan bahwa nilai tabligh telah memberikan muatan yang mencakup aspek kemampuan berkomunikasi (communication skill), kepemimpinan (leadership), pengembangan dan peningkatan kualitas sumber daya insani (human resources development) dan kemampuan diri untuk mengelola sesuatu (managerial skill)
Sikap tabligh melahirkan keyakinan, kekuatan, dan kesungguhan untuk melahirkan hasil unjuk kerja yang bernilai tinggi (outstanding performance). Mereka tidak gampang menyerah, tidak gampang patah, walaupun tantangan dan tekanan menghadang setiap langkah pekerjaannya, karena mereka sangat yakin akan mampu mengatasi setiap tantangan dan kendala yang dihadapinya. Mereka sadar bahwa untuk mendapatkan mutiara dibutuhkan perjalanan dan pengorbanan yang rumit dan panjang. Sikap seperti inilah yang seharusnya kita tanamkan pada peserta didik kita. Dengan sikap semacam ini akan senantisa mendorong individu untuk melakuakan yang terbaik dalam hidupnya dan memberikan manfaat dan nilai guna bagi dirinya dan orang lain.
Konfirmasi pengetahuan teoritis ke dalam tindakan aplikatif dapat mengambil wujud umpan balik intrinsik (dorongan dari dalam) atau ekstrinsik (pengaruh dari luar), dapat menyempurnakan keterampilan, sampai semuanya berjalan secara otomatis. Otomatisasi keterampilan yang dikuasai menandakan keberhasilan dari kemampuan motoris yang direncanakan untuk dikuasai oleh siswa.
Diriwayatkan pada suatu hari Rasulallah Saw melihat seorang anak sedang menguliti kambing, namun ia salah dalam mengerjakannya. Maka beliaupun menyingsingkan lengan dan memberi contoh kepada anak itu tentang cara menguliti kambing yang benar. Setelah Rasulallah selesai mengajarkannya, anak itu memfungsikan otaknya, berpikir tentang cara yang baru saja diajarkan oleh beliau.

D. Penutup
Menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, tidak bisa tidak, memang harus dimulai dari pendidikan berkualitas yang bisa diakses oleh semua kelompok masyarakat. Pendidikan yang berkualitas baik secara filosofis-teoritis maupun teknis-praktis akan meningkatkan kualitas yang utuh bagi pendidikan nasional kita. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi juga masyarakat, keduanya harus bersatu-padu dalam memajukan dan mencerdaskan anak bangsa menuju Indonesia baru yang demokratis, adil, dan sejahtera. Dalam kehidupan keluarga besar Indonesia yang plural ini, maka penting adanya pendidikan agama yang memperhatikan pendidikan multicultural, yakni pendidikan yang mengajarkan tentang pentingnya memaknai perbedaan dalam SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) secara bijak dan positif sehingga masih tetap dalam koridor persatuan dan dalam Negara Kesatuan R.I.
Begitu sentralnya kedudukan ilmu dalam pembangunan sebuah peradaban, maka menurut hemat penulis, umat Islam yang sedang membangun sebuah peradaban harus mengusahakan secara maksimal alih ilmu pengetahuan bangsa yang menguasainya meskipun mereka bukan Muslim. Demikian pula pencarian ilmu itu tidak terbatas pada ilmu agama saja, tetapi juga termasuk ilmu-ilmu sekuler yang bermanfaat, sebab kedua ilmu itu sama cepatnya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia. Dengan pendidikan agama yang tepat dan benar, dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan dan kesejahteraan negeri ini. Sehingga dengan demikian, makna agama sebagai rahmatal lil’alamin bisa mencapai maknanya di seluruh alam.

Daftar Pustaka

Abdul Majid. 2007. Perencanaan Pembelajaran ; Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung ; Rosdakarya

Husni Rahim. 2002. “ Pendidikan Islam di Indonesia, Keluar dari Eksklusivisme” dalam H.A.R. Tilaar, Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun. Jakarta : Grasindo

Sutrisno. 2005. Revolusi Pendidikan di Indonesia. Yogyakarta : Ar-Ruzz

----------. 2006. Fazlur Rahman ; Kajian terhadap Metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Toto Tasmara. 2001. Kecerdasan Ruhani. Jakarta : Gema Insani

Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) dan Penjelasannya. 2003. Yogyakarta : Media Wacana Press

Minggu, 16 Januari 2011

Keterbatasan Akal

Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini. Dengan bahasa yang singkat, akal atau fikiran manusia menjadikan manusia sebagai makhluk yang berperadaban.
meskipun begitu, akal yang selalu diagung-agungkan oleh golongan pemikir -sebut saja golongan ra'yu atau mu'tazilah- juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya.
Akal akan mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar lewat indera penglihatan atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat berfungsi setelah ada informasi yang bersifat empirik dari indera yang lain. Lalu bagaimana dengan fungsi akal untuk memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak? hal-hal yang bersifat ghoib?
Mempertimbangkan bahwa akal dapat berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari panca indera yang lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya untuk hal-hal yang bersifat dapat diraba dan didengar. Adapun untuk hal-hal yang bersifat Ghoib atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu (agama).
Mengutip perkataan tokoh sejarah legendaris Muslim terkenal, Ibnu Khaldun :
"Akal merupakan timbangan yang sangat cermat, sehingga dapat menghasilkan produk yang tepat dan dapat dipercaya. Akan tetapi jika akal untuk menimbang sifat-sifat keesaan Allah, hidup setelah mati, sifat-sifat kenabian (nubuwwah), atau hal-hal lain di luar kemampuan akal, berarti sama dengan menggunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini bukan berarti bahwa timbangan itu tidak dapat dipercaya."
Dengan begitu, meskipun di dalam al-Qur'an sangat ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghoib).
semoga dapat bermanfaat. amien
jogja. ba'da subuh

PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM; Sebuah Solusi Pemberdayaan Umat

I. Pendahuluan
Pendidikan Islam sebagai bagian integral dari sistem kebudayaan berkembang seiring dengan perkembangan unsur-unsur lain dari suatu kebudayaan. Dalam konsep umum, kebudayaan mencakup keseluruhan pola institusi; politik, ekonomi, sosial, agama dan ideologi-ideologi, ide maupun cita-cita. Unsur dasar dari kebudayaan yang berpengaruh secara signifikan terhadap pendidikan adalah kebijakan politik dari suatu pemerintah. Hans N. Weiler mengidentifikasikan tiga faktor politik yang berhubungan dengan pendidikan, yaitu:
1. The institutionalized political power of the state;
2. The political power of the social actors (masses, pressure group, regional groups), and
3. The political power of the planner.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perkembangan pendidikan Islam dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik pada umumnya, dan kebijakan politik pendidikan khususnya. Azyumardi Azra mencatat bahwa hubungan antara pendidikan dengan politik bukanlah hal baru, karena telah tumbuh sejak masa pertumbuhan madrasah di Timur Tengah.
Pendidikan Islam di Indonesia masih menghadapi berbagai masalah dalam berbagai aspek. Upaya perbaikannya belum dilakukan secara mendasar, sehingga terkesan seadanya saja. Selama ini, upaya pembaharuan pendidikan Islam secara mendasar, selalu dihambat oleh berbagai masalah mulai dari persoalan dana sampai tenaga ahli. Padahal pendidikan Islam dewasa ini, dari segi apa saja terlihat goyah terutama karena orientasi yang semakin tidak jelas. Berdasarkan uraian ini, ada dua alasan pokok mengapa konsep pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia untuk menuju masyarakat madani sangat mendesak. [a] konsep dan praktik pendidikan Islam dirasakan terlalu sempit, artinya terlalu menekankan pada kepentingan akhirat, sedangkan ajaran Islam menekankan pada keseimbangan antara kepentingan dunia dan akhirat. Maka perlu pemikiran kembali konsep pendidikan Islam yang betul-betul didasarkan pada asumsi dasar tentang manusia yang akan diproses menuju masyarakat madani. [b] lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dimiliki sekarang ini, belum atau kurang mampu memenuhi kebutuhan umat Islam dalam menghadapi tantangan dunia modern dan tantangan masyarakat dan bangsa Indonesia disegala bidang. Maka, untuk menghadapi dan menuju masyarakat madani diperlukan konsep pendidikan Islam serta peran sertanya secara mendasar dalam memberdayakan umat Islam.
Di samping itu, Kemunduran umat Islam sebagian besar dikarenakan tertinggalnya ia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut para pakar terdapat suatu korelasi pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan kekuatan poltik dan ekonomi. Masyarakat Islam selalu kalah dalam politik dan ekonomi diantaranya karena umat Islam tidak dapat mengusai dan melakukan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi. Lebih lanjut, di dalam kehidupan politik dan ekonomi kita lihat adanya fase-fase perkembangan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Fase-fase tersebut ialah fase perbudakan, feodaisme, industrialisasi, dan masa depan ialah era ilmu pengetahuan. Era ilmu pengetahuan berarti semakin luas penyebaran dan kontrol ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia. Hal ini berarti suatu masyarakat atau bangsa yang tidak menguasai dan mengontrol ilmu pengetahuan berarti akan kehilangan kekuatan politik dan ekonominya. Masyarakat masa depan adalah masyarakat yang berkembang atas dasar penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Apabila ilmu pengetahuan merupakan faktor yang sangat menentukan di dalam kehidupan umat manusia masa depan, maka ini artinya lembaga-lembaga pendidikan haruslah menyesuaikan diri dengan tuntutan masa depan tersebut. Visi dan misi lembaga pendidikan (Islam) harus berubah sebagai tempat untuk mempersiapkan sumberdaya manusia masa depan yang menguasai ilmu pengetahuan dan mengembangkannya, serta memanfaatkannya untuk meningkatkan taraf hidup manusia.
II. Pembaharuan Pendidikan Islam
Islam adalah agama yang menempatkan pendidikan dalam posisi yang sangat vital. Bukanlah suatu kebetulan jika ayat pertama al-Qur’an, surat al-‘Alaq memulai dengan perintah membaca, iqra’. Di samping itu, pesan-pesan al-Qur’an dalam hubungannya dengan pendidikanpun dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaan, dan kisah. Lebih khusus lagi, kata ilm dan derivasinya digunakan paling dominan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan.
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan masalah pendidikan. Hal ini karena pendidikan adalah sebuah penamaan modal manusia untuk masa depan. Masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan dalam kaitannya dengan masa depan suatu bangsa. Atau dapat dikatakan bahwa corak pendidikan masa kini merupakan miniature bangsa di masa depan.
Peradaban Islam sejak awal juga menunjukkan prestasi yang sangat berarti dalam bidang keilmuan dan pendidikan. Pada permulaan penyiaran Islam, Nabi Muhammad menggunakan apa yang disebut sebagai pendekatan pendidikan, bukan pemaksaan, dalam mengajarkan agama Islam pada lingkaran khusus di rumah Arqam. Tingginya perhatian Nabi Muhammad terhadap pendidikan juga terlihat ketika beliau memutuskan pembebasan bagi tahanan perang non-muslim dengan syarat yang bersangkutan mengajarkan baca tulis kepada Muslim yang buta huruf. Dalam perkembangan selanjutnya, masjid yang pada dasarnya berfungsi sebagai tempat ibadah, justru menjadi tempat pendidikan yang menonjol pada dua abad pertama sejarah peradaban Islam. Lembaga terakhir yang kemudian diakui sarjana lembaga pendidikan tinggi Islam memberikan sumbangan penting bagi perkembangan tradisi college dan universitas modern di Barat.
Namun dunia pendidikan di Indonesia sesungguhnya masih punya banyak “pekerjaan rumah” dan persoalan mendasar. Sebagai ilustrasi, dari segi pendidikan, bangsa Indonesia saat ini masih terbelakang dalam lingkup Asia, bahkan dalam lingkup yang lebih kecil lagi, Asia Tenggara. Malaysia, misalnya, menganggap Indonesia kini tidak memenuhi syarat (unqualified), meskipun Malaysia pernah di tahun 1970-an “hutang budi” pada Indonesia dalam hal mengimpor banyak guru dari Indonesia.
Ada banyak faktor yang menyebabkan tertinggalnya perkembangan dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Islam. Pertama, karena kebijakan politik kolonial Belanda yang menempatkan pendidikan Islam sebagai saingan yang harus dihadapi dan dihancurkan. Kedua, sistem pendidikan yang diterapkan di Indonesia adalah sistem pendidikan Barat, yang berorientasi pada kepentingan ideologi sekuler yang berpotensi mendangkalkan agama dari segala aspeknya.
Selain faktor di atas, menurut Nurcholish Madjid, ada persoalan-persoalan lain yang menyebabkan pendidikan di Indonesia ketinggalan zaman. Pertama, salah satunya adalah ketidakmampuan dalam menguasai bahasa Inggris. Nurcholish Madjid tidak bermaksud “membunuh” eksistensi bahasa Indonesia, akan tetapi untuk saat ini bahasa Inggris sangat instrumental untuk meningkatkan mutu pendidikan, sebab 90% buku terbit setiap hari dalam bahasa Inggris. Kedua, pendidikan di Indonesia masih didekati secara nativistik, yaitu suatu orientasi yang hanya bertumpu kepada bangsa sendiri, bahwa baik dan benar hanya datang dari bangsa sendiri. Dengan demikian, pendidikan seharusnya menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan universal (personality development) seperti masyarakat madani, civil, civilized atau peradaban. Pada akhirnya akan muncul penghargaan terhadap sesame manusia, egalitarianism, toleran, dan non diskriminatif.
Ketiga, kurangnya kesadaran yang penuh dalam hal etos penelitian. Menurut Nurcholish Madjid orang-orang Amerika dan Barat pada umumnya tetap yang paling baik. Hampir semua temuan dilakukan oleh orang-orang barat. Oleh sebab itu, etos penelitian sangat terkait dengan tekanan kuat pada aspek pengembangan pribadi.
Keempat, hal terkait dan sangat penting dibicarakan berkenaan dengan pendidikan adalah kebebasan. Dalam hal ini ia “kagum” dan sekaligus “kecewa” atas apa yang dikatakan oleh seorang penulis buku Amerika keturunan India, Kishore Mahbubani. Mahbubani mengatakan, “Can Asia Think?” Kesimpulannya adalah bahwa orang Asia tidak berpikir. Mengapa? Jawabannya sederhana :
“Orang-orang Asia itu tidak berani berbeda. Mereka lebih menekankan kerukunan dan keharmonisan. Karena tidak terbiasa dengan perbedaan, maka ketika muncul perbedaan sedikit saja sudah menimbulkan stigma yang luar biasa dan ditanggapi dengan permusuhan dan reaksi yang sangat keras. Ketidaksaggupan untuk berbeda inilah kemudian melahirkan berbagai tindak kekerasan. Mahbubani berpendapat bahwa ketidakmampuan orang Asia berpikir bukan soal gen atau ras tetapi karena soal budaya”
Hal tersebut ternyata tidak salah, beberapa hari yang lalu KPU mengadakan acara debat calon presiden Indonesia tahun 2009. Calon-calon presiden tersebut adalah Susilo Bambang Yudoyono, Megawati, dan Jusuf Kala. Acara yang dinanti banyak audiens tersebut ternyata bukanlah menawarkan debat yang mengeluarkan pandangan yang berbeda untuk memecahkan persoalan bangsa, sebaliknya justru seakan-akan memiliki keseragaman berpikir dalam menawarkan sebuah solusi. Hal ini menurut pengamat sosial, bapak Imam S, karena pendidikan kita di Indonesia ini cenderung mengarahkan pada pemikiran yang sama tanpa mau menawarkan perbedaan cara pandang.
Kelima, menonjolnya pendidikan verbalisme di Indonesia. Sudah lama pendidikan di Indonesia berwatak verbalistik melulu, berisi omongan, teori-teori abstrak, namun sedikit sekali bersinggungan dengan realitas atau kenyataan sesungguhnya. Oleh sebab itu, pendidikan harus mendorong dan mengupayakan rasa curiosity terhadap alam. Berkaitan dengan ini, program-program pendidikan berupa outbound training harus segera diperbanyak dan dikembangkan.
Keenam, pluratitas keagamaan harus diperkenalkan bahwa bangsa Indonesia majemuk dari segi keyakinan dan ajaran agama. Di Indonesia terdapat multi agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu. Masing-masing ajaran agama itu mempunyai ukuran tingkah laku sendiri dan setiap umat beragama harus menjadi toleran dan memiliki rasa penghargaan terhadap orang lain.
Ketujuh, persoalan penting lainnya adalah pendidikan terkait dengan soal penghargaan terhadap peran dan posisi guru. Masyarakat yang maju selalu menempatkan guru dalam posisi yang sangat terhormat.
Rendah dan minimnya ilmu yang dimiliki orang-orang Islam atau kemiskinan intelektual, membawa konsekuensi rendahnya kemampuan umat Islam memberi respon pada tantangan zaman secara kreatif dan bermanfaat, yang mengalami perubahan dan perkembangan yang sangat cepat.
Apabila umat Islam memiliki pengetahuan dan pemahaman yang utuh dan benar, serta menyadari bahwa al-Qur’an dan Sunnah merupakan referensi tertinggi umat Islam, kesalahpahaman tentang Islam tidak perlu terjadi. Al-Qur’an dalam salah satu ayatnya menyatakan, bahwa agama Islam memiliki gagasan yang revolusioner, seperti terungkap dalam surat ar-Ra’du ayat 11, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
Keyakinan diri dan kemampuan menghadapi masa depan sangat tergantung pada bagaimana cara berpikir. Jika Islam mengajarkan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, sehingga mereka sendiri mengubah apa yang ada pada diri mereka, maka interpretasi yang paling sesuai dengan perubahan nasib sangat tergantung pada perubahan cara berpikir. Sebab cara berpikir merupakan salah satu hal yang paling substantive dalam diri manusia.
Kasus ini mengindikasikan pendidikan adalah suatu keniscayaan. Umat Islam dituntut untuk memiliki kesuburan dan kematangan intelektual, agar mampu merespon setiap tantangan zaman, melakukan sesuatu pembaharuan guna memenuhi kebutuhan manusia kontemporer. Kalau pendidikan sebagai suatu keniscayaan, maka pendidikan akan membuahkan manusia terdidik yang memiliki kesuburan intelektual sehingga ia mempunyai kelebihan dari yang lain.
Untuk itulah, pendidikan harus bersenyawa dengan budaya dan politik. Persenyawaan dalam visi, perspektif dan kehidupan bangsa Indonesia ke depan adalah dibutuhkan agar setiap manusia Indonesia merasakan lebih sejahtera, lebih prestise hidup dalam kesatuan Indonesia. Kondisi bangsa Indonesia terpuruk di segala bidang tidak lepas dari terpisahnya kebudayaan dengan unsur lain, termasuk pendidikan dan politik. Solusianya adalah persenyawaan harus dilakukan dalam tiga bentuk. Pertama, membersihkan birokrasi dan memperbaiki atau membuat sistem aturan sesuai nilai. Perombakan struktur kelembagaan dan penetapan kembali tugas masing-masing individu menjadi sangat urgen dan vital. Kedua, merekonstruksi eksistensi personalia dan birokrasi. Ketiga, pendidikan hanya dipahami sebagai proses pembelajaran, bukan pembebasan dan etika. Bahkan ada semacam paham bahwa pendidikan merupakan proses ekonomi, sehingga terjadi apa yang disebut kegagalan dalam dunia pendidikan.
Paling tidak, dalam menatap reformasi masa depan dunia pendidikan membutuhkan pandangan integral dalam perspektif filosofis dan antisipasi kebutuhan. Pertama, pendidikan merupakan suatu instrumen strategis pengembangan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap manusia. Potensi inilah yang menjadi acuan agar manusia secara esensial dan eksistensial menjadi makhluk religious yang mencerminkan karakteristik spiritual kemanusiaan.
Keadaan potensi tersbeut, bukanlah sesuatu yang bersifat telah jadi (state of being), tetapi merupakan keadaan natural (state of nature) yang perlu diproses (state of become) dalam konteks budaya secara makro atau mikro melalui pendidikan. Dengan menyadari dimensi antropologis ini, maka pendidikan mempunyai kerangka nilai dasar (fundamental values) kedudukan yang tidak hanya komplementatif tetapi filosofis. Kedua, kenyataan lain yang perlu diperhatikan adalah tentang realitas sosiologis manusia, meminjam istilah Peter L. Beger, yang selalu dengan proses dialektika fundamental dalam konteks kemasyarakatan. Ketiga, perubahan yang berkelanjutan di masa depan. Sudah merupakan suatu sunnatullah bahwa kehidupan ini akan berkembang menuju masa depan secara evolutif dan revolutif, karena merupakan keharusan sejarah (historical necessity).
Suatu usaha pembaharuan pendidikan hanya bisa terarah dengan mantap apabila didasarkan pada konsep dasar filsafat dan teori pendidikan yang mantap. Filsafat pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan di atas dasar asumsi-asumsi dasar yang kokoh dan jelas tentang manusia [hakekat] kejadiannya, potensi-potensi bawaannya, tujuan hidup dan misinya di dunia ini baik sebagi individu maupun sebagai anggota masyarakat, hubungan dengan lingkungan dan alam semesta dan akhiratnya hubungan dengan Maha Pencipta. Teori pendidikan yang mantap hanya dapat dikembangkan atas dasar pertemuan antara penerapan atau pendekatan filsafat dan pendekatan emperis. Sehubungan dengan itu, konsep dasar pembaharuan pendidikan Islam adalah perumusan konsep filsafat dan teoritis pendidikan yang didasarkan pada asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan hubungannya dengan lingkungan dan menurut ajaran Islam.
Maka, dalam usaha pembaharuan pendidikan Islam perlu dirumuskan secara jelas implikasi ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits yang menyangkut dengan "fitrah" atau potensi bawaan, misi dan tujuan hidup manusia. Karena rumusan tersebut akan menjadi konsep dasar filsafat pendidikan Islam. Untuk itu, filsafat atau segala asumsi dasar pendidikan Islam hanya dapat diterapkan secara baik jikalau kondisi-kondisi lingkungan (sosial-kultural) diperhatikan. Jadi, apabila kita ingin mengadakan perubahan pendidikan Islam maka langkah awal yang harus dilakukan adalah merumuskan konsep dasar filosofis pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam, mengembangkan secara empris prinsip-prinsip yang mendasari keterlaksanaannya dalam konteks lingkungan [sosial–kultural] yang dalam hal ini adalah masyarakat madani. Jadi, tanpa kerangka dasar filosofis dan teoritis yang kuat, maka perubahan pendidikan Islam tidak punya fondasi yang kuat dan juga tidak mempunyai arah yang pasti.

III. Penutup
Menjadi bangsa yang maju dan sejahtera, tidak bisa tidak, memang harus dimulai dari pendidikan berkualitas yang bisa diakses oleh semua kelompok masyarakat. Pendidikan yang berkualitas baik secara filosofis-teoritis maupun teknis-praktis akan meningkatkan kualitas yang utuh bagi pendidikan nasional kita. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya tanggungjawab pemerintah, tetapi juga masyarakat, keduanya harus bersatu-padu dalam memajukan dan mencerdaskan anak bangsa menuju Indonesia baru yang demokratis, adil dan sejahtera.
Begitu sentralnya kedudukan ilmu dalam pembangunan sebuah peradaban, maka menurut saya, umat Islam yang sedang membangun sebuah peradaban harus menguasahakan secara maksimal alih ilmu pengetahuan dari bangsa yang menguasainya meskipun mereka bukan Muslim. Demikian pula pencarian ilmu itu tidak terbatas pada ilmu agama Islam saja, tetapi juga termasuk ilmu-ilmu sekuler yang bermanfaat, sebab kedua ilmu itu sama cepatnya mengantarkan manusia pada kebahagiaan dunia. Dengan pendidikan agama yang tepat dan benar, dalam jangka panjang akan memberikan kontribusi yang positif bagi kemajuan dan kesejahteraan negeri ini. Sehingga dengan demikian, makna agama sebagai rahmatan lil’alamin bisa mencapai maknanya di seluruh alam.

-------------@@@------------





Daftar Pustaka

Agus Salim Sitompul, Menyatu dengan Umat Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keislaman HMI (1947-1997), Jakarta : Logos, 2002

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Melenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999

Hans N. Weiler, “Educational Planning and Social Change: A Critical Review of Concept and Practice, dalam Philip G. Altbach et al, (editors), Comparative Education”, New York: Macmillan Publishing Co., Inc., 1982

H.A.R. Tilaar, Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru, 70 Tahun, Jakarta : Grassindo, 2002

Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1997

Sadar Diri

Hidup akan menjadi lebih hidup ketika kita mau memaknai sifat aktivistik yang ada dalam diri kita. Aktivitas yang kita lakukan merupakan pencerminan bahwa keberadaan kita di masyarakat telah diakui. Jangan sampai keberadaan kita justru sebenarnya tidak ada atau tidak diakui masyarakat, disebabkan karena ketiadaan aktivitas nyata dari kita untuk masyarakat. Sering kita menikmati ungkapan wujudihi kaadamihi, yang berarti keberadaan kita sama sekali tidak mendukung bahwa kita sebenarnya ada di lingkungan masyarakat atau lebih luasnya dalam kehidupan.

Siapapun kita, dimanapun kita berada, lulusan dari universitas manapun kita, dalam lingkup kehidupan apapun kita bergaul, aktivitas merupakan pengejawantahan keberadaan diri kita.

selamat beraktivitas!