Selasa, 18 Januari 2011

Dari Teosentris-Spiritual intuitif menuju Humanisme-Teosentris

Mula-mula perjalanan keilmuan pengetahuan berawal dari Yunani yang sifat keilmuannya bersifat humanis, dimana dalam setiap perkembangan dan penemuan setiap keilmuan didasarkan pada hal yang bersifat pure (murni ke arah ilmu semata). Selanjutnya, selang beberapa abad hadirnya islam dengan sifat pengembangan ilmu ke arah teosentris-humanis. Banyak para pemikir muslim yang ahli di bidang keilmuan umum memadukannya dengan sifat transendentalnya. Setiap perkembangan keilmuan pada waktu itu diringi dengan nilai-nilai keagungan Tuhan yang maha bijaksana. Seakan-akan perkembangan ilmu saat itu (islam) menemukan titik perpaduan yang kuat antara keilmuan yang bersifat humanisme akan tetapi tetap menjunjung tinggi nilai-nilai agama sebagai aspek perkembangan transendentalnya (theology). Dengan adanya suatu rasa khawatir akan terfokusnya umat islam yang hanya mengembangkan ilmu yang bersifat humanis, lalu munculah golongan yang mengagung-agungkan nilai yang bersifat teosentris. Hal ini terjadi pada era kemunduran peradaban islam. Ditunjukkan dengan hadinya golongan-golongan yang bersifat sufistik, zuhud, yang dalam terminologi ilmu kalam dianggap sebagai golongan jabariyah atau fatalistik. Golongan inilah yang kemudian menampilkan keilmuan islam yang bersifat sentralistik pada ketuhanan tanpa mau melirik perkembangan ilmu yang humanis. Pada masa ini islam berada pada kondisi kemunduran dan sedikit demi sedikit terlenakan dengan hanya mengagungkan nilai-nilai teosentris. Disaat islam disibukkan dengan kejumudan keilmuan, hadirlah Barat dengan mengadopsi keilmuan yang sudah dikembangkan islam berabad-abad sebelumnya. Hanya saja tampilan keilmuan yang dikembangkan oleh Barat terfokus pada pemberian manfaat yang sebesar-besarnya pada kepentingan manusia semata (antroposentrisme) tanpa pengindahan pada nilai-nilai transendental. Tanpa merasa ‘kecolongan’ umat islam masih menikmati kejumudan keilmuan yang menghinggapi mereka.
Adalah kejadian-kejadian yang menindas kaum muslimin yang kemudian menyadarkan bahwa jalan yang selama ini ditempuh umat islam (teosentris semata) kurang bisa menyelesaikan masalah-masalah sosial yang dihadapi. Sebuah kasus, hanya gara-gara melempar granat kecil –yang kemungkinan daya rusaknya sangat kecil- lalu dibalas dengan kaum kafir zionis dengan rudal yang berdaya ledak sangat dahsyat dan mematikan. Ini realitas umat islam saat ini. Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, islam oleh para kaum yang tidak suka dengan islam dikotak-kotakkan menjadi beberapa golongan yang kerap saling bermusuhan dan saling membunuh (lihat pada bangsa Irak, Hamas vs Fatah). Dari sedikit gambaran tersebut, setidak-tidaknya kita sebagai generasi penerus umat islam harus mampu merumuskan paradigma yang kemudian teraplikasikan dalam aksi nyata untuk menyikapi perkembangan zaman yang semakin kompleks. Kita harus mengembalikan kejayaan islam masa lalu yang dihadirkan dalam format yang lebih elegan di masa sekarang. Islam yang tetap berjaya, tetap konsisten dengan nilai-nilai teologis dari sumber utama (al-Qur’an dan Hadits) dan tetap menjadi agama yang dapat membawa kemanfaatan bagi seluruh umat (rahmatan lil alamin).
Fungsi Pendidikan Islam
Di dalam konteks pendidikan Islam, paradigma humanisme-teosentris diibaratkan seperti pendulum (bandulan). Apabila goyangannya lebih condong ke humanisme, maka akan menampilkan dinamika pendidikan islam yang liberal, sebaliknya kalau berat ke teosentris maka cenderung menjadi pendidikan Islam yang konservatif (ortodoks). Dalam terminologi ilmu Kalam, aliran Qodariyah cenderung humanisme, sedangkan Jabariyah cenderung teosentris. Dalam sejarah peradaban Islam, golongan Mu’tazilah yang mengikuti aliran Qodariyah berhasil mengembangkan pendidikan liberal yang membawa kemajuan peradaban Islam. Berbeda halnya dengan golongan Jabariyah yang lebih condong teosentris disimbolkan dengan perkembangan pendidikan keagamaan dengan pendekatan fikih dan mistis. Posisi pendulum yang seimbang antara ke arah humanisme dan teosentris merupakan pendidikan Islam yang ideal, yang secara normatif akan membentuk manusia yang seimbang antara pikir, zikir, dan amal sholeh atau dalam bahasa lain seimbang antara ilmu, iman, dan amal. Meminjam istilahnya Bloom, seimbang antara kognitif, afektif, dan psikomotoriknya.
Dalam sesi kuliah, ada mahasiswa mengajukan pertanyaan yang sangat kritis dan menjadi bahan perenungan bagi kita sebagai umat yang saat ini masih mencari model paradigma pendidikan Islam yang tepat. Dalam bahasa yang singkat seorang mahasiswa itu bertanya : “Bagaimana jika indah dan nikmatnya surga tidak lagi mendorong umat islam tuk berbuat kebaikan dan kebermanfaatan di muka bumi ini, dan kengerian serta beratnya siska neraka beserta perlakuan yang akan didapat ketika di neraka tidak bisa lagi membuat manusia tuk meninggalkan perbuatan maksiatnya di muka bumi ini?”
Pertanyaan ini, meskipun disampaikan secara spontan, saya kira merupakan hasil dari pengalaman selama ini yang menjadi realitas sehari-hari yang sarat dengan kemaksiatan dan pengenyampingan nilai-nilai agama. Dari persoalan tersebut, kiranya penting bagi kita untuk merumuskan paradigma pemahaman terhadap nilai-nilai agama. Kalau dipandang dari sudut pandang pendidikan (Islam), paradigma yang bersifat teosentris harus dirubah menjadi humanisme-teosentris. Dari pengajaran yang hanya bersifat legalistik (halal-haram) dikembangkan menjadi pengajaran yang tranformatif, yakni pengajaran atau pendidikan yang mempertimbangkan prinsip liberalisasi, humanisasi, dan transendensi yang bersifat profetik. Fungsi pendidikan harus bisa menciptakan kemampuan membaca secara luas bagi peserta didik. Kemampuan membaca (iqra’) bukan hanya kemampuan membaca tulisan saja, akan tetapi bisa membaca peristiwa-peristiwa yang dialami, berubahan sosial, fenomena-fenomena dalam kehidupan, serta kemampuan melihat gejala manusia itu sendiri. Dengan begitu, peserta didik diharapkan dapat menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi dalam kehidupannya.
Dalam penyampaian materipun harus mampu mengkontekskan dengan keadaan yang ada. Misalnya dalam penyampaian materi fiqh. Penyampaian mata pelajaran fikih di sini bukan semata-mata menyampaikan hal-hal yang bersifat legalistik, namun harus mencoba mengkontekskan dengan realitas kehidupan yang nyata dengan segala kompleksitasnya. Dengan begitu, persoalan-persolan yang dihadapi dalam kehidupan ini bisa dijembatani dengan pengembangan dan pengajaran nilai-nilai keagamaan yang merambah ranah konteks secara nyata. Selama garapan fikih atau ilmu-ilmu keagamaan yang lain masih berkutat dengan hal-hal yang bersifat spiritual intuitif tanpa mau mencoba mengembangkan ke ranah humanisme-teosentris, maka merupakan usaha yang berat bahkan mustahil untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan bangsa di negeri ini. Di sinilah pentingnya paradigma humanisme-teosentris dalam pendidikan Islam.
Tulisan yang singkat dan yang penulis yakin banyak kekurangan ini semoga dapat memberikan wawasan sekilas akan pentingnya paradigma humanisme-teosentris dalam pendidikan Islam. Semoga pembaca kurang puas dengan tulisan ini, dan mencoba mendalami lebih lanjut melalui berbagai referensi yang berkualitas. Wallahu ‘alam bish-showab
(Jogja, 18/01/2011, ba’da sholat maghrib sambil menunggu jamaah Isya’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar