Senin, 09 Mei 2011

PSIKOLOGI IBADAH Menyibak Arti Menjadi Hamba & Mitra Allah di Bumi

I. Pendahuluan
Manusia adalah bagian integral dari alam, bukan penguasa alam. Kearifan kuno mengajarkan keserasian antara habit, habitus, dan habitat. Ketika manusia sebagai habitus mengambil sikap eksploitasi dan konfrontasi terhadap habitat alamnya, maka manusia pasti kalah. Bukti kekalahan manusia ketika konfrontasi terhadap alam semakin banyak. “Kini saatnya kita merenung dan menyadari betapa rapuhnya sesungguhnya posisi kita di hadapan semesta”.
Ulat bulu. adalah kata yang saat ini (belum lama ini) menjadi momok yang menakutkan dan membuat trauma. Lihat saja masyarakat Probolinggo, Jawa Timur. Mereka bahkan tidak segan-segan meninggalkan rumah mereka untuk sementara waktu dikarenakan serangan wabah ulat bulu yang sangat dahsyat. Satu ulat bulu saja dapat membuat bulu kuduk kita berdiri, dan sangat menggelikan terlebih lagi jumlahnya ribuan bahkan jutaan yang saat ini terjadi. Inilah salah satu dari kekalahan manusia atas habitat atau ekosistem yang kehilangan keseimbangannya.
Yang menjadi persoalan di sini, titik tekankannya bukan pada persoalan seberapa besar atau jenis ulat apa yang menyerang. Akan tetapi mengapa ulat bulu ini begitu dahsyat mewabah di beberapa daerah negeri ini? Adakah kaitannya dengan sikap manusia yang cenderung eksploitatif yang sama sekali tidak mempertimbangkan kelangsungan ekosistem kehidupan ini? Lalu bagaimana kita memahami keseimbangan antara habit, habitus, dan habitat? Bukankah keseimbangan ketiga sangat menentukan kelangsungan kehidupan yang tentram dan damai di muka bumi ini? Dan, bagaimana peran kita sebagai hamba Allah, yang pasti dibimbing bila kita mengikuti aturan-aturan-Nya?
Tulisan ini merupakan refleksi terhadap persoalan yang dihadapi sebagian masyarakat di negeri ini, dengan pendekatan makna sebagai hamba Tuhan, Allah Swt.

II. Ta’alluq, Takhalluq, & Tahaqquq
Keseimbangan antara habit, habitus, dan habitat merupakan langkah yang ‘harus’ apabila kita menginginkan ketentraman dan keamanan dalam mengarungi kehidupan ini. Untuk mendapatkan keseimbangan tersebut, manusia sebagai habitus harus menjaga sikap atau perbuatan (habit) guna mendapatkan habitat yang terjaga dan tidak malah berbalik merepotkan atau mengalahkan habitusnya. Dengan menggunakan pendekatan psikologi ibadah (tasawuf) setidaknya kita bisa memaknai dan memahami kearifan sikap dan perbuatan sebagai hamba Allah dan sekaligus wakil-Nya (khalifatullah) untuk memakmurkan bumi yang terpampang luas.
A. Ta’alluq: Meningkatkan Kesadaran Hati & Pikiran kepada Allah.
• Makhluk Antroposentris yang Egois
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, tak seorang pun bisa mandiri dan lepas dari bantuan orang lain. Tidak ada orang yang sanggup menunaikan semua tugas dan kewajibannya tanpa uluran tangan pihak lain. Semua orang pasti tergantung satu sama lain. Anak tergantung pada orang tuanya, karyawan tergantung pada pengusaha, atasan tergantung pada bawahan, dan seterusnya. Fenomena ketergantungan ini terjadi sejak manusia tercipta di dalam rahim hingga resmi menghuni liang lahat.
Secara natural, manusia memang memiliki kecenderungan egois dan antroposentris: memandang segala sesuatu berdasarkan perspektif kemanusiannya. Bukti betapa besarnya egoism manusia adalah ketika terjadi bencana alam. Katakan saja tsunami. Apabila ombak besar itu menggulung manusia, segera saja disebut bencana. Tapi kalau ada di tengah laut dan tidak memberikan ekses negative apa pun, hal itu tidak disebut bencana. Contoh lain keegoisan manusia adalah wabah ulat bulu. Ketika ulat bulu mewabah dalam komunitas manusia, disebut saja sebagai bencana. Akan tetapi manusia tidak menyadari bahwa selama ini manusialah yang menghilangkan salah satu mata rantai dalam ekosistem ini. Manusia memburu dan menangkap burung-burung pemakan ulat, yang sebenarnya bisa menanggulangi berkembangnya ulat bulu yang berlebihan. Itulah manusia yang berkecenderungan egois dalam kehidupan ini. Padahal sebenarnya mereka tidak akan mampu hidup dengan tentram tanpa bantuan dari pihak lain, termasuk pada apa yang ada di alam semesta ini.
Untuk itu, langkah pertama yang harus dilakukan manusia untuk bisa ber-ta’alluq adalah dengan menyadari hakikat dirinya sendiri. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu” (orang yang mengenal dirinya, pasti mengenal Tuhannya). Pengenalan ini dapat menumbuhkan kesadaran hati dan akal untuk selalu mengingat Tuhan di mana dan kapan pun. Itulah arti ta’alluq-berusaha mengikatkan kesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah Swt.
• Lā Ilāha illā Allāh (Tiada Tuhan Selain Allah)
Substansi penting yang terkandung dalam kalimat ini ada dua: al-nafyu (penafian) dan al-itsbāt (penegasan). Lantas apa yang dinafikan dan apa yang ditegaskan? Dan apa pula kaitannya dengan ta’alluq?
Secara harfiah, ketika mengucapkan kalimat lā ilāha (tiada Tuhan) yang kita nafikan adalah tuhan-tuhan nisbi, dan saat menyempurnakannya dengan illā Allah (selain Allah), kita mengukuhkan keberadaan Tuhan yang sejati. Penafian tuhan nisbi dan pengukuhan Tuhan sejati inilah yang harus benar-benar kita resapi dan kita internalisasikan dalam diri.
Ketika mengucapkan lā ilāha yang kita nafikan bukan tuhan palsu saja, melainkan juga mencakup semua kekuatan, seluruh kehebatan, dan segala keperkasaan yang kita miliki dan yang dimiliki oleh makhluk yang lain, untuk kemudian menyandarkan kembali kepada Zat Mahakuat yang meminjamkan kekuatan tersebut. Dialah Zat Yang Mahahebat, Mahaperkasa, lagi Mahakuasa mewujudkan segala sesuatu.
Ketika mengucapkan lā ilāha, kita harus menyingkirkan semua oknum yang kita takuti, baik atasan, direktur, dan lainnya. Tak ada satu pun makhluk yang layak ditakuti. Karena memang tak ada yang bisa memberikan manfaat dan mudarat bagi kita selain Dia. Dialah tempat bergantung sejati yang tidak bergantung kepada apa pun. Dialah Zat yang wajib ditakuti yang tidak takut kepada siapa pun.
Namun, jangan sampai ketergantungan kita kepada Tuhan membuat kita menafikan keberadaan manusia di sekeliling kita. Ini jelas sikap keliru. Benar bahwa manusia tidak bisa memberikan manfaat dan madarat kepada kita tanpa seizin-Nya, akan tetapi, mereka adalah perantara yang membuat kita bahagia atau menderita.
Jadi, muatan nafi-itsbat yang terkandung dalam kalimat lā ilāha illā Allah harus kita sikapi secara seimbang. Insafilah bahwa semua kesuksesan yang diraih dan seluruh peristiwa yang dialami adalah berkat perkenalan dengan Allah Yang Mahakuasa. Dialah Aktor sejati di balik semua itu. Potensi yang kita miliki atau uluran tangan orang lain, pada dasarnya adalah sarana yang Dia gunakan untuk mewujudkan kehendak-Nya tersebut.
• Aku Beriman maka Aku Ada
Kita harus ingat bahwa nafi-istbat mengandung dua domain. Pertama domain negatif yang terdapat dalam nafi, kedua domain positif yang terdapat dalam istbat. Kedua domain ini harus selalu disejajarkan, disandingkan, dan disikapi secara seimbang. Jangan menitikberatkan domain nafi dengan memfokuskan diri pada kata la ilaha, karena sikap itu potensial membuat kita menjadi makhluk sekuler yang mengecikan peranan Tuhan dalam kehidupan. Tapi, juga jangan menitikberatkan pada domain positif dengan memfokuskan diri pada kata illa Allah karena sikap itu bisa memancing kita untuk bersikap apatis dalam pergaulan sosial.

B. Takhalluq: Meneladani Akhlak Allah
• Asmaul Husna sebagai Pedoman
Asmaul Husna adalah nama-nama indah Tuhan yang bukan hanya memiliki makna, tapi juga memiliki kekuatan untuk merekonstruksi kehidupan manusia. Ia bukan nama lain dari Tuhan yang hanya cukup untuk diketahui dan dihafalkan. Sebab, dengan memosisikan Asmaul Husna seperti ini, berarti secara tidak langsung kita menyamakannya dengan nama-nama makhluk yang lain. Misalnya pohon, banyak nama-nama pohon, bahkan sampai lebih dari 99 nama pohon.
Oleh karenanya, pemaknaan hafizha (dalam hadis: Lillahi tis’atun wa tis’una isman, man hafizhaha dakhalal jannah. Wa inna Allaha witrun yuhibbul witra. H.R Bukhari-Muslim) bukan lagi diterjemahkan ‘menghafal’ akan tetapi ‘memelihara’. Dengan merekonstruksi paradigm pemaknaan kata hafizha dalam hadis di atas, sedikitnya kita akan mendapatkan dua manfaat: [1] kita akan menginsafi betapa banyaknya dimensi Ilahi yang bisa ditumbuhkembangkan dalam diri manusia; [2] kita akan menyadari bahwa jalan untuk mencapai surga adalah dengan ber-takhalluq; menerjemahkan sifat-sifat Tuhan yang Maha dan tak terbatas ke dalam perilaku manusia yang sangat terbatas
• Meniru Tuhan secara Utuh
Sebagai makhluk yang terbatas dan sarat kekurangan, terlalu utopis - bahkan bombastis – memang jika manusia harus meniru semua sifat Tuhan Yang Mahasempurna secara utuh dan menyeluruh. Dalam Asmaul Husna ada nama-nama tertentu yang khusus dimiliki Tuhan dan tidak bisa ditiru oleh manusia. Nama-nama yang bermakna metafisik inilah yang membedakan antara sang Khalik dengan makhluk-Nya secara tegas dan jelas. Misalnya, al-Zhahir (Mahajelas), al-Bathin (Maha Tersembunyi), al-Awwal (Mahaawal), al-Akhir (Mahaakhir), dan sebagainya.
Jadi, yang dimaksud dengan meniru Tuhan secara utuh dan menyeluruh di sini adalah meniru sifat-sifat yang konkret dan aplikatif secara seimbang, tidak berat sebelah apalagi parsial (hanya sebagian). Dengan kata lain meniru Tuhan secara kulli, bukan juz’i. Hanya peniruan semacam inilah yang akan menghasilkan pribadi luhur nan agung. Sebagai contoh, Tuhan memiliki nama al-‘Alim (Mahatahu), sifat ini harus dibarengi dengan al-Hadi (Maha Pemberi Petunjuk). Dengan begitu, potensi kecerdasan dalam diri menjadi bermanfaat bagi orang lain. Tuhan memiliki nama atau sifat ¬al-Waliy (Maha Melindungi), sifat ini harus dibarengi dengan al-Raqib (Maha Mengawasi), sehingga perlindungan yang diberikan tepat sasaran. Tuhan punya nama al-Qahir dan al-Qahhar (Maha Berkuasa lagi Maha Perkasa), sifat ini harus disertai dengan al-Wadud (Maha Pengasih). Begitu seterusnya.
Intinya, kita harus mampu menyandingkan dua sifat Tuhan yang sepintas terkesan paradoks (berlawanan) itu agar melahirkan keseimbangan. Sebab, tanpa keseimbangan, setidaknya akan timbul tiga dampak negatif, yakni; [1] minimnya efektifitas takhalluq, [2] terjebak dalam penghambaan terhadap hawa nafsu. Dalam Asmaul Husna ada beberapa nama yang biasanya ditiru manusia secara sepihak dan tidak tepat waktu. Al-Jabbar (Maha Perkasa), al-Qahhar (Maha Memaksa), al-Qawiy (Maha Kuat), al-Matin (Maha Kokoh), dan sebagainya. Nama-nama inilah yang biasanya diteladani manusia pada situasi dan kondisi yang salah, sehingga mengakibatkan rusaknya tatanan. Hal ini terjadi karena dalam dir manusia ada hawa nafsu (keinginan diri) yang tergerak untuk mereguk kepuasan sepintas, dan mengabaikan kenikmatan yang abadi. [3] memanfaatkan takhalluq untuk melegitimasi kesalahan. Dampak negatif ini hanya berlaku bagi orang-orang cerdas untuk membenarkan kesalahan yang dilakukannya. Misalnya, Anda adalah orang sosok pendendam yang selalu berambisi membalas setiap perlakuan yang Anda pandang menyakiti fisik atau hati. Untuk membenarkan tindakan balas dendam itu, Anda kemudian beralasan bahwa Tuhan memiliki sifat al-Muntaqim (Maha Membalas Dendam). Atau Anda membenci seseorang, kemudian melakukan segala cara untuk menghina dan menjatuhkan harga diri orang itu. Untuk membenarkan tindakan bodoh tersebut, Anda lantas membawa-bawa nama Tuhan al-Mudzill (Maha Menghinakan). Dan sebagainya.
Perbedaan situasi dan kondisi meniscayakan peniruan sifat Tuhan yang berbeda pula. Di sinilah letak vitalitas kecerdasan dalam ber-takhalluq sangat diperlukan. Pepatah Arab mengatakan; “Likulli maqamin maqalun, likulli maqalin maqamun” (Setiap tempat memiliki perkataan yang cocok, dan setiap perkataan memiliki tempat yang cocok pula). Takhalluq yang benar akan menghasilkan pribadi yang lentur dalam menghadapi kehidupan. Tahu harus bersikap seperti apa dalam segala situasi dan kondisi.
• Muhammad: Dimensi Tuhan yang Menyejarah
Muhammad menjadi cermin paling baik untuk bertakhalluq karena secara factual manusia tidak mungkin meniru Tuhan secara langsung. Asmaul Husna memang bisa dijadikan pedoman, tapi hanya sebatas pada tataran teoritis, sedangkan pada tataran praktis, kita memerlukan tindakan nyata yang bisa ditiru. Dialah Muhammad Saw. Terlalu utopis kedengarannya, apabila ada orang yang mengatakan bisa meniru Allah secara langsung tanpa perantara Muhammad.
Tuhan menyadari bahwa diri-Nya Maha Absolut dan tak terhingga, sementara manusia adalah makhluk yang berproses dan terbatas. Dia kemudian mengutus Muhammad untuk memperkenalkan sifat-sifat luhur-Nya. Nah, dalam konteks inilah, Muhammad bisa dikatakan sebagai dimensi Tuhan yang menyejarah.

C. Tahaqquq: Menjadi Mitra Allah di Bumi
Manusia bisa dikatakan sebagai ‘tukang sulap’. Artinya, manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan keajaiban luar biasa dalam segala hal. Ambil contoh Albert Einstein. Kecerdasan intelektualnya bukan hanya mengubah cara pandang manusia terhadap fisika mekanis yang digagas Sir Issac Newton. Lebih dari itu, ia juga sukses mengubah peradaban manusia secara radikal. Teori E=mc2 yang ditemukannya berdampak luas dan masih terasa hingga kini. Baik yang digunakan sebagai sarana untuk mempermudah manusia dalam mengeksplorasi sumber daya alam maupun yang digunakan untuk kepentingan perang. Kemudian ada Stephen William Hawking, fisikawan modern yang disebut-sebut orang nomor dua setelah Einstein. Teorinya tentang Black Hole berhasil membongkar misteri besar proses kejadian alam raya.
Ironisnya, walaupun kedua ilmuan itu sukses menemukan teori-teori yang sangat fenomenal, ternyata menurut para pakar psikologi, mereka masih belum maksimal menggunakan potensi kecerdasannya. Malah menurut mereka, Einstein dan Hawking hanya memanfaatkan 10 persen dari total potensi mereka. Coba renungkan! Kalau yang sehebat mereka saja ternyata baru bisa memanfaatkan 10 persen dari seluruh potensi yang mereka miliki, lantas bagaimana dengan kita? Kalau orang yang bisa memanfaatkan 10 persen potensi intelektualitasnya saja bisa secerdas itu, lantas bagaimana dengan yang bisa memanfaatkannya hingga batas yang paling maksimal. 100 persen?
Mengapa manusia bisa sehebat itu dan secerdas itu? Paling tidak, ada dua kerangka yang bisa digunakan untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, secara biologis, manusia adalah makhluk yang memiliki anatomi paling rumit dan kompleks. Saraf otak manusia mampu menyimpan berjuta-juta informasi, lalu mengolahnya dengan kreatif sehingga lahir karya-karya baru. Otak manusia mampu memilah jutaan data yang masuk ke dalamnya untuk kemudian digabung-gabungkan menjadi satu sintesis baru. Proses ini terus berlangsung dan sambung-menyambung dari satu generasi ke generasi lain. Dengan begitu, ke depan, manusia masih akan melahirkan karya-karya baru yang spektakuler.
Kedua adalah kerangka teologis. Artinya dalam diri manusia terkandung dimensi Ilahi. Dalam surat a-Baqarah ayat 30, manusia adalah khalifah-Nya di muka bumi. Secara etimologis, arti khalifah adalah pengganti atau wakil. Dengan kata lain, manusia adalah wakil Tuhan di bumi ini. Maka, manusia menjadi satu-satunya makhluk yang memiliki kemiripan sifat dengan Tuhan. Allah mencipta, manusia juga mencipta. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha; Maha Pencipta. Allah tahu, manusia juga tahu. Untuk membedakannya, Allah diberi atribut Maha; Mahatahu. Demikian seterusnya. Intinya, semua sifat yang dimiliki Tuhan juga dimiliki manusia, walaupun tentu saja dengan perbedaan kualitas dan kuantitasnya. Pengetahuan Allah jauh lebih luas dibandingkan dengan pengetahuan manusia, dan hasil ciptaan Allah jauh lebih hebat dari ciptaan makhluk-Nya.
Di sinilah makna tahaqquq, yakni menjadi wakil Tuhan yang menciptakan peradaban di muka bumi ini. Menciptakan sesuatu yang dapat bermanfaat bagi sekalian manusia baik untuk masa sekarang berlanjut sampai yang akan datang. Manusia bukanlah manusia suci yang turun dari langit, yang pekerjaannya adalah berdzikir saja. Akan tetapi, manusia adalah insan peradaban yang dalam pengembaraan hidupnya di muka bumi ini berusaha untuk menciptakan sesuatu yang bermakna (peradaban).

III. Kesimpulan

Dari uraian singkat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut:
1. Dalam ber-ta’alluq kepada Tuhan, kita harus menyerap energi yang dipancarkan kalimat tauhid secara proporsional, agar iman kita bisa membuat kita aktif dan dinamis. Sosok yang memiliki kedudukan mulia di sisi Tuhan dan juga terhormat di tengah-tengah manusia. Sosok yang mampu mewujudkan tujuan penciptaannya sebagai khalifah yang bertugas memakmurkan bumi dan beribadah kepada-Nya. “Singa siang hari, rahib malam hari. Ketika siang berperang segarang singa, ketika malam telah hening, ia bersimpuh bercucuran air mata dihadapan Allah Swt.
2. Takhalluq adalah suatu usaha untuk meneladani sifat-sifat Tuhan. Dengan kata lain usaha untuk meniru akhlak Tuhan, yakni meniru secara utuh dan menyeluruh. Yang dimaksud meniru Tuhan secara utuh dan menyeluruh di sini adalah meniru sifat-sifat yang konkret dan aplikatif secara seimbang, tidak berat sebelah apalagi parsial (hanya sebagian). Meniru Tuhan secara kulli, bukan juz’i.
3. Manusia adalah mitra Tuhan di muka bumi ini. Sebagaimana mitra (khalifatullah fil ardh) tugas manusia adalah menciptakan peradaban yang bermanfaat bagi kehidupan, bukan justru membuat kerusakan yang dapat menyebabkan kesulitan manusia itu sendiri. Manusia bukanlah ‘insan malaikat’ yang tugasnya hanya berdzikir, akan tetapi manusia adalah ‘insan peradaban’ yang disamping beribadah (dalam arti vertikal, maghdhoh) kepada Allah, juga setiap saat menghasilkan karya-karya yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia, sekarang dan yang akan datang.

Semoga tulisan yang jauh dari sempurna ini sarat dengan kebermanfaatan bagi kita semua. Amin. Wallahu a’lam bishshowab. Kepatihan, 30 April 201

2 komentar: