Minggu, 16 Januari 2011

Keterbatasan Akal

Akal merupakan salah satu kekayaan yang sangat berharga bagi diri manusia. Keberadaannya membuat manusia berbeda dengan makhluk-makhluk lain ciptaan Allah. Bahkan tanpa akal manusia tidak ubahnya seperti binatang yang hidup di muka bumi ini. Dengan bahasa yang singkat, akal atau fikiran manusia menjadikan manusia sebagai makhluk yang berperadaban.
meskipun begitu, akal yang selalu diagung-agungkan oleh golongan pemikir -sebut saja golongan ra'yu atau mu'tazilah- juga memiliki keterbatasan dalam fungsinya.
Akal akan mempertimbangkan hal-hal yang dilihat atau didengar lewat indera penglihatan atau pendengaran. Ini berarti bahwa akal dapat berfungsi setelah ada informasi yang bersifat empirik dari indera yang lain. Lalu bagaimana dengan fungsi akal untuk memikirkan hal-hal yang bersifat abstrak? hal-hal yang bersifat ghoib?
Mempertimbangkan bahwa akal dapat berfungsi ketika ada informasi yang bersifat empirik dari panca indera yang lain, ini berarti akal akan berfungsi sebagaimana mestinya untuk hal-hal yang bersifat dapat diraba dan didengar. Adapun untuk hal-hal yang bersifat Ghoib atau abstrak diperlukan petunjuk khusus, yakni wahyu (agama).
Mengutip perkataan tokoh sejarah legendaris Muslim terkenal, Ibnu Khaldun :
"Akal merupakan timbangan yang sangat cermat, sehingga dapat menghasilkan produk yang tepat dan dapat dipercaya. Akan tetapi jika akal untuk menimbang sifat-sifat keesaan Allah, hidup setelah mati, sifat-sifat kenabian (nubuwwah), atau hal-hal lain di luar kemampuan akal, berarti sama dengan menggunakan timbangan tukang emas untuk menimbang gunung. Ini bukan berarti bahwa timbangan itu tidak dapat dipercaya."
Dengan begitu, meskipun di dalam al-Qur'an sangat ditekankan pada penggunaan akal dalam setiap persoalan, namun di sisi lain akal sangat membutuhkan wahyu (agama) atau lebih tepatnya religiusitas dalam menimbang hal-hal yang bersifat abstrak (ghoib).
semoga dapat bermanfaat. amien
jogja. ba'da subuh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar