Selasa, 18 Januari 2011

Objekftifikasi dalam Islam

Kata objektifikasi berasal dari kata objektif, yang berarti "the act of objectifying","membuat sesuatu menjadi objektif". Sesuatu dianggap objektif kalau keberadaannya tidak bergantung pada pikiran sang subjek, tetapi berdiri sendiri secara independen. Jadi, jika A adalah objektifikasi dari B, maka A adalah B yang telah dibuat objektif oleh sang subjek.
Dalam Islam ada kategori objektif yang hukumnya mubah (mengerjakan atau tidak, tidak berpahala atau pun dosa). Tarikh Nabi menceritakan bahwa tawanan perang Badar dipekerjakan untuk mengajari anak-anak Muslim belajar membaca dan menulis. Suatu Hadis menganjurkan agar umat islam mencari ilmu sampai negeri Cina, hal ini juga mengisyaratkan bahwa ada hal-hal yang objektif. Selain jaraknya jauh, Cina pada abad ke-7 -dimana Islam tumbuh dan berkembang- pastilah termasuk negeri kafir (komunis). Di samping itu Islam juga belajar filsafat dari Yunani, strategi perang dan pembuatan alat-alat perang serta sistem birokrasi dari Persia, belajar matematika dari India -yang notabene beragama Hindu-. Sekarang juga kita bisa saksikan banyak kaum Muslimin yang belajar di negera sekuler, semisal Amerika, Kanada, Australia, Turki dan Mesir. Tidak ditemukan dalam kewajiban Agama (teks normatif) yang mengajarkan pada kita untuk harus belajar ke Mekkah atau Madinah. Kewajiban agama hanya belajarnya, sedangkan tempatnya tidak ditentukan oleh agama, alias ditentukan berdasarkan kriteria secara objektif.
Objektifikasi juga berlaku saat kita mau membeli makanan, alat-alat elektronik, mobil, motor, sepeda, atau hal lainnya. Orang yang datang untuk membeli sesuatu tidaklah kemudian ditanya agamanya apa dulu, budayanya, asal daerahnya, dan lain sebagainya. Pembeli cenderung akan membeli sesuatu yang kira-kira harganya miring (mudah dijangkau) dengan kualitas yang bagus. Begitu juga saat aktris dan aktor bermain film, yang dilihat adalah kebolehan mereka dalam beraktingnya bukan dilihat latar belakang agamanya apa, daerah berasalnya mana, dan lain sebagainya. Pengecualian dalam hal membeli makanan, mungkin Islam menganjurkan utuk memilih makanan yang tidak adanya unsur haram -misalnya bahannya dari sesuatu yang haram, atau kadar zat yang dilarang, alkohol, dll-, secara objektif hal ini diterima secara objektif oleh non-muslim). Akan tetapi selebihnya orang akan memilih berdasarkan kriteria objektif.
Demikian halnya di tempat-tempat umum, objektifikasi sangat kental di dalamnya. misalnya, di angkutan umum, bank, pekerja pabrik, guru, supir, buruh, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang memungkinkan berinteraksi dengan sesamanya. Hal ini tidaklah kemudian mempertimbangkan latar belakang agama orang yang diajak berinteraksi akan tetapi sifat objektif, tidak memandang siapa yang diajak bicara, di sinilah objektifikasi berperan.
contoh-contoh di atas adalah perilaku objektif secara pasif, dalam arti menerima kenyataan objektif yang disodorkan kepda umat. Umat Islam juga dituntut untuk berlaku objektif secara aktif. Prinsip Islam adalah rahmat untuk alam semesta (rahmatan lil alamin), dalam arti Islam diturunkan sebagai rahmat untuk semua umat, kepada siapa pun, tanpa memandang agama, warna kulit, budaya, dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan oleh agama bahwa umat Islam harus berlaku adil, tanpa pandang bulu -kerabat, status, kelas golongan, atau yang membayar lebih. Supaya Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil kepada siapa pun, obejektifikasi Islam kiranya perlu diketahui dan diaplikasikan secara luas dalam kehidupan kita sehari-hari. Wallahu 'alam bish-showab.
semoga secercah pengetahuan yang ditulis di pagi hari ini dapat bermanfaat bagi pembaca. amin

Jogja, 19 Jan 2011, dalam kamar kecil saat menunggu waktu tuk berangkat kerja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar