Minggu, 20 Maret 2011

THE POWER OF SHALAT : Membentuk Kesalehan Pribadi & Sosial

I. Pendahuluan
Tulisan ini dilatarbelakangi kegelisahan penulis melihat realitas kehidupan sebagian muslim (khususnya di negeri ini) yang notabene jauh dari sikap sebagai ‘abdi Tuhan, Allah Swt. Banyak kita jumpai muslim (orang yang berislam) tetapi jarang kita temukan islam dalam pribadi muslim itu. Banyak orang mengaku beragama Islam, namun jauh dari etika dan moralitas bangsa yang beragama Islam. Mereka banyak melakukan rutinitas ibadah setiap hari namun fungsinya belum berimbas pada kehidupan masyarakat secara luas. Dalam redaksi lain, ibadah yang dijalankan muslim masih pada ranah pembentukan kesalehan pribadi belum mampu menyentuh ke ranah pembentukan kesalehan sosial. Contohnya ibadah shalat kita.
Ibadah shalat memiliki aspek fungsional dalam kehidupan ini. ‘Penegakkan’ shalat –karena bukan hanya sekedar melakukan- di samping membentuk pribadi bertakwa juga harus mampu membentuk pribadi muslim yang bermanfaat bagi kehidupan. Hal ini selaras dengan Firman Allah:
Dan dirikanlah shalat. Sesunggungnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.
(Q.S Al Ankabut [29]:45)
Saya kok heran, dari jumlah penduduk Indonesia yang luar biasa banyaknya (230 juta lebih) dan mayoritas memeluk agama Islam -bahkan termasuk negara beragama Islam terbesar di dunia- akan tetapi praktik kemaksiatan dan dekadensi moral justru memperlihatkan ‘prestasi’ (ironis-pen) yang luar biasa dalam kehidupan ini. Korupsi, mafia hukum, mafia pajak, markus, pergaulan bebas, kekerasan atas nama agama, pelecehan seksual, kumpul kebo, narkoba, konflik SARA, pembunuhan, perzinahan, pelacuran, dan lain-lain adalah fenomena yang sering terjadi bak ‘sajian makanan’ yang disuguhkan setiap harinya. Sekali lagi saya mempertanyakan, dimanakah fungsi Islam mereka? Dimanakah imbas ibadah shalat mereka? Bukankah shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar?
Semoga tulisan ini dapat menemukan titik terang dari beberapa persoalan yang disampaikan di atas. Amin

II. Shalat for Character Building
Shalat adalah tiang agama. Hal ini memberi pengertian bahwa shalat merupakan ibadah yang sangat urgent (penting dan utama). Kalau diilustrasikan agama seperti bangunan rumah, maka keberadaan tiang sangatlah diperlukan demi tegak dan kokohnya bangunan tersebut. Sungguh pentingnya kehadiran shalat dalam kehidupan beragama Islam ini, maka shalat seharusnya juga dapat menjadi ‘wahana’ dalam pembentukan karakter bangsa –khususnya muslim-, sehingga keteraturan, keserasian, dan kedamaian akan tercipta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Beberapa prinsip yang dapat kita petik dari ibadah shalat adalah sebagai berikut.
A. Sungguh, Engkau Maha Besar ya Robb (Allahu Akbar)
Salah satu rukun shalat adalah takbirah al-ihram (baca: takbirotul ikhrom), yaitu ucapan Allâhu Akbar, karena apabila Rasulallah Saw hendak mengerjakan shalat dan telah menghadap kiblat, maka beliau biasa memulainya dengan ucapan “Allahu Akbar” (HR. Muslim dan Ibn Majah). Inilah yang disebut dengan takbirah al-ihram. Shalat seseorang tidak akan sah tanpa diawali dengan mengucapkannya. Nabi Saw bersabda, “Apabila kamu telah berdiri untuk mengerjakan shalat, maka bertakbirlah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apabila diperhatikan, yang paling banyak diucapkan dalam shalat adalah Takbir (Allâhu Akbar, Allah Maha Besar). Di setiap pergantian posisi senantiasa diucapkan takbir -hanya pergantian antara ruku’ ke berdiri saja yang berbeda-. Hal ini menunjukkan bahwa shalat diharapkan akan membentuk kepribadian “Allâhu Akbar”, artinya yang perlu “diakbarkan, diagungkan, dibesar-besarkan” hanyalah Allah Swt, sedangkan yang lain adalah kecil.
Dengan begitu diharapakan semua persoalan dalam kehidupan ini hendaknya dikembalikan kepada Allah Swt, sehingga tidak akan menimbulkan perasaan sombong, ujub, takabur, arogan, congkak, “adigang adigung adiguna”, merasa paling pintar, paling benar, paling shaleh, dan perasaan negatif lainnya. Karena Allah tidak menyukai orang yang sombong. Hal ini ditegaskan dalam sebuah Hadits Nabi : “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya masih terdapat perasaan sombong, meskipun hanya satu zarah (atom)”. Dengan kata lain manusia yang mempunyai multi peran ini, misalnya Individual role, social role, political role, family role dan sebagainya, akan senantiasa diawali dengan Allâhu Akbar (Allah Maha Besar). Sehingga jiwa kita selalu bernafaskan Allah Swt., sikap kita menunjukkan pada kebesaran Allah Swt., perkataan dan perbuatan kita atas dasar perintah dan larangan Allah Swt., keputusan-keputusan hidup kita sejalan dengan ilmu Allah Swt., bukan pada nafsu semata. Allah Swt is my God, He is Enormous, and Always guides my Soul.
B. Jangan ‘Egois’ masuk Surga sendirian
Sebelum shalat dimulai biasanya didahului dengan kumandang azan. Azan mempunyai tujuan untuk mengingatkan kepada khalayak bahwa pelaksanaan shalat sudah dapat dimulai. Kumandang azan bermaksud pula mengajak segenap kaum muslimin untuk segera melaksanakan shalat, terlebih lagi shalat berjamaah di masjid atau surau-surau. Secara garis besar, azan merupakan sarana untuk mengajak kepada kebaikan dan kemenangan.
Dengan adanya azan sebagai bukti sudah masuk shalat, sebenarnya kita dapat mengambil hikmah berharga darinya. Azan menyeru kepada segenap muslimin untuk mengajak kepada kebaikan, dengan begitu seharusnya kita juga dapat mengajak kebaikan kepada sesama dalam kehidupan ini. Mengajak saudara, tetangga, dan khalayak ramai untuk menuju suatu kemenangan, yakni kebahagian hidup di dunia dan akherat. Hal ini juga mengandung ajaran untuk saling membantu dalam menjalani kehidupan ini yang terkadang ada yang beruntung dan ada juga yang butuh uluran tangan kita. Bukankah Allah Swt telah mengajarkan kepada kita tentang hal itu? Yakni untuk saling mengingatkan dan menasehati dalam hal kebaikan. Tentunya, sebagai sesama hamba Allah Swt dan umat Muhammad Saw, jangan sampai kita mendapatkan kebaikan atau kebahagiaan hidup sendirian. Jangan ‘egois’ masuk surga sendirian.
1 Demi masa. 2 Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3 Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al ‘Ashr [103]:1-3)
C. Koreksilah Aku jika Salah!
Sungguh luar biasa ibadah shalat itu. Bukan saja menjadikan seseorang dekat dengan Allah Swt semata, namun ibadah shalat betul-betul sarat dengan materi pembelajaran bagi sang pembelajar (ulul albab).
Dalam shalat (jamaah) kita mengenal adanya imam dan makmum. Keduanya memiliki hubungan yang sangat erat, yakni keberadaan salah satunya tergantung keberadaan lainnya. Seseorang akan dikatakan imam ketika ada makmum, begitu sebaliknya makmum ada karena ada imamnya. Keduanya memiliki hubungan give and take. Imam bertanggungjawab terhadap perjalanan shalat berjamaah. Dimulai dari perintah untuk meluruskan shof makmum, membaca bacaan shalat, memimpin gerakan shalat, dan seterusnya. Begitu juga dengan makmum, mereka harus menjadi pengikut yang senantiasa mendengarkan dan taat pada pimpinan (imam). Tidak boleh bacaan dan gerakan makmum mendahului atau membarengi bacaan atau gerakan yang dilakukan imam. Betul-betul ibadah yang harmonis sekali dan membentuk sinergi yang penuh arti.
Ada suatu kejadian menarik dalam shalat berjamaah yang dapat dijadikan ibroh. Imam sebagai leader memang harus ditaati dalam bacaan dan gerakannya, meskipun begitu makmum juga punya hak mengingatkan (mengoreksi) apabila imam melakukan kesalahan. Makmum laki-laki mengucapkan “subhânallâh” sebagai metode mengingatkan kesalahan imam, sedangkan makmum perempuan dengan menepukkan telapak tangan. Lalu apa pelajaran yang dapat diambil?
Pelajaran yang dapat diambil, dan kemudian dapat dijadikan akhlak hidup adalah ‘sikap Introspektif’ (muhasabah). Bahasa yang lebih membumi adalah: “koreksilah aku jika salah”. Dalam kajian sumber daya manusia, seseorang yang berkepribadian unggul (high-personality) jika melakukan kesalahan akan mengatakan: “saya salah”. Berbeda halnya dengan pribadi rendah (low-personality), ia akan mengatakan: “ini bukan kesalahan saya”. Orang pintar tetapi berkepribadian rendah, jika melakukan kesalahan, akan sulit mengakui kesalahannya, ia akan mencari argumen-argumen atau dalil-dalil untuk seakan-akan membenarkan kesalahan yang telah diperbuat.
Oleh karena itu, kita sebagai orang yang mengakui Islam sebagai agama kita, Allah Swt sebagai Tuhan kita, Muhammad Saw sebagai Nabi kita, Al Qur’an sebagai kitab suci kita, dan sampai shalat sebagai ibadah rutin kita, maka semestinya kita berusaha menjadi manusia yang senang menjalankan kebenaran dan senang mendapatkan koreksi atau kritikan atas kesalahan-kesalahan kita. Kita adalah insan biasa yang tiada luput dari salah dan dosa. Kita adalah sang pembelajar yang membutuhkan koreksi demi menuju perbaikan (progresifitas). Dan kita sama sekali tidak akan mendapatkan apa-apa, bila kita berlaku sombong dan membanggakan diri atas apa yang kita miliki. Kita butuh ‘cermin’ untuk mematut diri, dan hanya orang lainlah yang dapat menjadi cermin bagi kita. Karena cermin yang kita miliki tidak seobjektif cermin yang dimiliki orang lain. Duhai sekalian manusia,, Koreksilah Aku jika Salah!, begitulah yang diajarkan shalat kepada kita.
D. Time is Money
Masalah waktu di era global ini merupakan hal yang sangat penting dan diperhatikan, apalagi kalau sudah menyangkut bisnis, sehingga sering kita menerjemahkan waktu sebagai “time is money”. Bahkan menurut Toffler hal ini sudah kuno, yang betul adalah “Waktu adalah lebih banyak uang (Time is much money)”. Shalat diperintahkan untuk umat Islam lewat Nabi Muhammad Saw yang waktunya telah diatur sedemikian rupa oleh Allah Swt mulai dari Shubuh, Dhuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
Maka apabila kamu telah menyelesaikan Shalat (mu), ingatlah kepada Allah di waktu berdiri, duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah Shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya Shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman (QS. An Nisa’ : 103)
Demikian pula shalat-shalat sunnat juga ada waktu tertentu untuk mengerjakannya, misalnya shalat tahajud, sebaiknya dilakukan sepertiga malam terakhir. Hal ini didukung oleh beberapa hadits Nabi:
Amr bin Abbas berkata:“Aku bertanya, wahai Rasulullah Saw malam apakah yang lebih didengar? Ia bersabda:“Pertengahan malam yang terakhir”. (HR Abu Dawud)
Shalat sunnat yang paling baik adalah shalat malam. (Hadits Hasan)
Shalat yang paling dicintai Allah adalah shalat Dawud, ia tidur separuh malam dan bangun pertiga malam dan tidur perempatnya. (HR Mutafaqun ‘Alaih)
Hikmah yang dapat kita petik dari waktu shalat ini adalah ‘kedisiplinan’. Siapapun kita dan apapun pekerjaan kita sikap disiplin adalah suatu keharusan guna mendapatkan kesuksesan. Kedisiplinan membutuhkan latihan dan keistiqomahan (continue) untuk melakukannya. Dalam hal ini, saya terkadang heran dengan sebagian umat Islam sendiri. Mereka mempunyai ajaran-ajaran yang termaktub dalam Qur’an & Hadits tentang pentingnya kedisiplinan dalam segala hal, akan tetapi justru mereka enggan dan jauh dari sikap disiplin. Yang lebih mengherankan lagi ‘sikap disiplin’ itu banyak dianut oleh non-muslim, semisal bangsa Jepang dan negara maju lainnya. Oleh karena itu, disiplin adalah bagian dari ajaran agama, dan ajaran agama tidaklah akan berdampak apa-apa dalam kehidupan ini tanpa adanya praktik nyata secara berkelanjutan (istiqomah). Kedisiplinan adalah masalah waktu, dan waktu sangat berharga (time is money). Dengan begitu, bukan waktu saja yang bernilai uang, akan tetapi kedisiplinan juga dapat benilai uang, bahkan nilainya lebih dari itu, yakni kesuksesan hidup di dunia hattal akhirat. Bukankah kita dituntut untuk melakukan shalat tepat pada waktunya? Yang berarti juga melatih kedisiplinan?
E. Memelihara Kesucian Diri
Ibadah shalat di samping sebagai sarana ‘ingat’ kepada Allah Swt, juga merupakan sarana yang tepat untuk menjadikan kita cinta kesucian atau kebersihan. Hal ini dikarenakan wajibnya bersuci (berwudlu) sebelum melaksanakan shalat. Posisi wudlu dalam shalat adalah sama wajibnya dengan ibadah shalat itu sendiri. Sah dan tidaknya shalat tergantung pada sah dan tidaknya wudlu yang kita lakukan. Bukankah sesuatu yang menyebabkan tidak sempurnanya sesuatu yang wajib itu juga wajib?. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan: “mâ lâ yatimmul wâjibu illa bihi fahuwa wâjibun” (tidak sempurnanya sesuatu yang wajib karena sesuatu, maka sesuatu itu juga wajib).
Begitu halnya jika kesucian itu merupakan kunci dari ibadah shalat. Seperti dipaparkan dalam hadis Nabi: Miftâkhush-Shalâti duhûru (kunci shalat itu adalah kesucian). (HR. Imam Ahmad)
Seorang muslim yang biasa bersuci (dalam bahasa fiqh, Thoharoh) sebelum melakukan shalat seharusnya dapat mengambil ibroh yang berharga. Yakni, kesucian diri. Kesucian diri di sini tidak hanya sebatas pada bersih atau suci dari kotoran atau najis saja akan tetapi menyeluruh pada aspek-aspek yang terkait dalam diri pribadi kita. Dimulai dari kesucian sikap kita, kesucian perkataan kita, kesucian perbuatan kita, kesucian pikiran kita, dan secara garis besar, menyeluruh pada kesucian jiwa dan fisik kita dari hal-hal yang menodai dan membuat hina di hadapan sesama manusia dan Allah Swt.
Saya kira, makna Thoharoh atau bersuci ini perlu dijabarkan lebih luas dan komprehensif, sehingga mampu memberikan dampak atau hikmah pada perbaikan sikap dan perbuatan seorang muslim dalam memelihara kesucian diri, baik dalam hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh), hubungan dengan sesama manusia (hablumminannâs), maupun hubungan dengan alam semesta ini (hablumminal ‘âlam).
F. Peace Lover
Islam oleh para Orientalis Barat sering digambarkan sebagai; “seorang dengan wajah yang bengis dengan membawa pedang yang berlumuran darah di tangan kanan dan Al Qur’an di tangan kiri”. Artinya, dalam penyebarannya, Islam diidentikkan dengan kekerasan dan perang (violence and war). Di samping itu Islam juga sering dikaitkan dengan teroris dan kekejaman dengan disertai pekikan ”Allâhu Akbar” yang sangat keras. Itu menurut pandangan mereka yang memang sejak awal membenci dan menaruh curiga terhadap Islam.
Shalat adalah serangkaian ucapan dan gerakan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Diawali dengan takbir (Allâhu Akbar) mengisyaratkan bahwa dalam menjalani kehidupan ini sangat membutuhkan dampingan akidah ketauhidan pada Sang Khaliq (Teologis-teosentris/Tauhidi). Lalu shalat diakhiri dengan salam (Assalâmu’alaikum Warahmatullâh) mengisyaratkan bahwa seorang muslim semestinya mencintai kedamaian, menyebarkan keselamatan ke arah kanan dan kiri (Humanisme). Hal ini juga berarti bahwa seorang muslim yang melaksanakan shalat harus mampu membuat ketenangan dan kedamaian untuk lingkungan sekitarnya, menjadi problem-solver bukan problem-maker. Dalam bahasa awal tulisan ini, shalat harus mampu menjadikan seorang muslim memiliki kesalehan pribadi (iman, islam) dan kesalehan sosial (ihsan, akhlaq al-karimah). “Innâsh-shalâta tanhâ ‘anil fakhsyâ’i wal munkar”
Hal senada juga dikemukakan Prof. Dr. Nurcholish Madjid, ‘salam’ dalam shalat mengisyaratkan bahwa setelah menghadap Allah Swt, yaitu awalnya adalah “Allâhu Akbar” (Takbirah al-ikhram). Namun akhirnya harus membawa dampak ke demensi sosial. Artinya, antara hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh) itu merupakan satu kesatuan. Hal ini telah ditegaskan dalam ajaran Islam, bahwa tidak ada dikhotomi antara hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia, misalnya ayat-ayat yang berkaitan dengan iman senantiasa berkaitan dengan amal saleh, shalat selalu berkaitan dengan zakat, kelahiran anak berkaitan dengan aqiqah, syukur berkaitan dengan shalat dan qurban, dan sebagainya. Bahkan manusia akan senantiasa diliputi kehinaan dimanapun ia berada, kecuali mereka yang berpegang pada ‘tali’ Allah dan ‘tali’ (hubungan) dengan manusia.
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (QS. Ali Imran : 112)

III. Kesimpulan
Untuk menutup tulisan yang singkat ini, kiranya perlu saya sampaikan beberapa kesimpulan yang dapat menjadi renungan kita bersama.
1. Shalat adalah ibadah yang bukan hanya membentuk saleh pribadi saja, tetapi juga saleh sosial.
2. Ketika muslim mengakui kebesaran Allah dengan ucapan “Allâhu Akbar” maka konsekuensi logisnya adalah bersikap dan berperilaku yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan Allah Swt. Berusaha menjauhkan dari sifat sombong, ujub, takabur, arogan, congkak, “adigang adigung adiguna”, merasa paling pintar, paling benar, paling shaleh, dan perasaan negatif lainnya.
3. Shalat juga mengajarkan pada kita untuk saling mengingatkan dan menasihati dalam kebaikan. Mengajak dan membantu sesama manusia untuk bersama-sama mereguk kebahagian hidup di dunia sampai akhirat kelak. Jangan ‘egois’ masuk surga sendirian.
4. Kita adalah insan biasa yang tidak akan pernah luput dari kesalahan. Sungguh kita membutuhkan masukan dan koreksi dari orang lain agar kita menjadi pribadi unggul yang senantiasa progresif dari waktu ke waktu. Merasa hauslah akan koreksi yang membangun dari orang lain. (Mohon dibedakan antara ‘mengoreksi’ dan ‘menyalahkan’. ‘Mengoreksi’ adalah upaya yang memperbaiki, membangun, konstruktif. Sedangkan ‘menyelahkan’ identik dengan sikap yang menjatuhkan, merendahkan, membuat hina orang lain, destruktif.)
5. Disiplin adalah kunci meraih keberhasilan dalam segala aktivitas. Ibadah shalat mengajarkan akan hal itu.
6. Thoharoh atau bersuci memberi pelajaran kepada kita untuk memelihara kesucian diri, baik dalam hubungan dengan Allah Swt (hablumminallâh), hubungan dengan sesama manusia (hablumminannâs), maupun hubungan dengan alam semesta ini (hablumminal ‘âlam).
7. Ibadah shalat dibuka dengan takbiratul ikhram, dan ditutup dengan salam. Mengajarkan pada kita bahwa ketauhidan yang hakiki adalah ketauhidan yang dampaknya sampai pada perwujudan kehidupan yang harmonis, sejahtera, dan penuh kedamaian.
8. Innash-shalâta tanhâ ‘anil fakhsyâ’i wal munkar (Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.) (Q.S. al-Ankabut [29]:45)
Lâ shalâta li man lâ tanhâhu shalâtuhu ‘anil fakhsyâ’i wal munkar. (Tak melakukan shalat orang-orang yang shalatnya tak menghindarkannya dari kekejian dan kemungkaran). Al-Hadits

Akhirnya, semoga Allah Swt mencurahkan hidayahnya, sehingga tulisan ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Tulisan ini hanya produk insan biasa yang tiada luput dari kesalahan. Tulisan ini hanya sebuah upaya yang mencari titik terang dari persoalan-persoalan yang membelenggu, dan yang namanya upaya pasti ada kekurangan dan kelebihannya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan dengan penuh kerendahan hati, saran dan kritik dari para pembaca sangat diharapkan. Ya Allah, pengetahuan yang sedikit ini sudah saya sampaikan. Saksikanlah! Dan ampunilah hamba bila jauh dari kebenaran. Wallâhu a’lam bish-showab.

Kepatihan, 05 Maret 2011
Kritik & Saran ke. 085643217999
Email: moch.iskarim@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar