Selasa, 18 Januari 2011

PAI dalam Menyikapi Era Pluralisme Agama

I. Pendahuluan
Pluralisme atau kemajemukan agama merupakan suatu fenomena yang mustahil dihindari. Manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing. Dalam suasana yang majemuk ini, ditambah klaim kebenaran (truth claim) dan watak misioner dari setiap agama, menjadikan umat beragama sebagai kelompok masyarakat yang amat rentan dengan konflik. Konflik yang cenderung disakralkan karena mengatasnamakan agama (kebenaran).
Secara historis-sosiologis, pluralisme agama merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Semua yang terdapat di dunia dengan sengaja diciptakan dengan penuh keragaman, tak terkecuali agama. Tidak diturunkan agama dalam konteks ruang dan waktu yang sama, tetapi dalam penggalan kontinum ruang dan waktu, mengharuskan manusia menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing, agama Yahudi dengan penganutnya, agama Kristen dengan umatnya, agama Hindu, Budha dan lain-lain. Bahkan tidak itu kitapun menghadapi kalau tidak di Negara kita tentu di Negara lain orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan.
Pluralitas bukanlah hal yang merugikan bagi keberadaan kehidupan. Pluralitas adalah kehendak Sang Pencipta (sunnatullah) agar kehidupan ini dapat berjalan dalam keseimbangan. Adanya pluralitas dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya membuat kehidupan masyarakat itu dinamis, penuh warna, tidak membosankan, dan membuat antara yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi dan membutuhkan. Dengan kata lain, pluralitas memperkaya kehidupan dan menjadi esensi kehidupan masyarakat sehingga tindakan untuk menolak ataupun menghilangkan adanya pluralitas, pada hakikatnya menolak esensi kehidupan.
Sungguh pun demikian, kita juga tidak dapat menutup mata pada adanya kenyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat yang plural, tetapi di dalamnya berlangsung ketidakadilan, kemiskinan, kebodohan dan lemahnya hukum serta rendahnya disiplin masyarakat. Kalau itu yang terjadi, pluralitas dapat berubah menjadi ancaman yang seringkali memicu timbulnya ketegangan, pertentangan, bahkan konflik yang seringkali mengambil kekerasan.
Dalam menghadapi kenyataan adanya pluralitas keagamaan ini, adalah suatu hal yang tidak mungkin untuk mengambil sikap anti pluralisme. Sikap keagamaan yang terbuka, toleran dan saling memahami menjadi relevan untuk dikembangkan termasuk di Indonesia. Itulah sebabnya, masa kini hubungan antar manusia dan antar agama sudah harus mengalami pergeseran pola. Kalau masa lalu hubungan antar agama ditandai oleh antagonism polemic dan upaya menundukkan dan mengajak pihak lain ke agama kita, masa kini hubungan tersebut lebih menekankan dialog dan saling pengertian. Di masa lampau kita berusaha untuk mengisolasi diri dan menganggap agama lain sesat dan musuh, takut dan curiga kepada usaha agama lain untuk mempengaruhi penganut agama kita, masa kini semangat keterbukaan labih diutamakan.
Dalam konteks inilah, pendidikan Agama Islam sebagai media penyadaran umat dihadapkan tantangan bagaimana mengembangkan teologi pluralis sehingga dalam masyarakat Islam akan tumbuh pemahaman yang terbuka dan penuh toleransi demi harmonisasi agama di tengah kehidupan bermasyarakat. Tertanamnya kesadaran multicultural dan pluralitas masyarakat, akan menghasilkan corak paradigm beragama yang hanief dan toleran. Ini semua harus dikerjakan pada level bagaimana membawa pendidikan agama Islam ke dalam arah yang toleran dan pluralis. Sebab, arah pendidikan Agama Islam yang eksklusif dan intoleran jelas akan mengganggu harmonisasi masyarakat multi etnik dan agama.
Selama ini pendidikan (pembelajaran) agama termasuk pembelajaran agama Islam masih mengandung kelemahan. Di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas pluralisme agama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terlalu menekankan pada pengembangan aspek kesalihan pribadi (kesalihan vertikal) dan kurang mengembangkan aspek kesalihan sosial. Dengan penekanan pendidikan agama seperti seperti itu seringkali kontra produktif dengan upaya penciptaan suasana harmoni di antara umat beragama di Negara kita. Imam Moedjono menyatakan bahwa penyampaian ajaran agama oleh sebagian tokoh agama kepada jamaahnya atau guru agama kepada anak didiknya masih sering cenderung member kesan dan pengertian yang kurang memberikan tempat bagi toleransi antar umat beragama.
II. Pluralisme Agama di Indonesia
1. Konsep Pluralisme
Akar kata pluralism adalah “plural”. Plural berasal dari bahasa Inggris yang bermakna jamak atau lebih dari satu. Dengan demikian pluralisme berarti hal yang menyatakan jamak atau lebih dari satu. Dalam kajian filosofis, pluralisme diberi makna sebagai doktrin bahwa substansi hakiki itu tidak satu (monoisme), tidak dua (dualisme), akan tetapi banyak (jamak).
Sementara itu dalam kajian sosiologis kita sangat akrab dengan kata pluralisme yang oleh sebagian sosiolog diberi makna sebagai sistem nasional dalam suatu Negara yang hidup berbagai kelompok etnik, agama, kultural, status sosial, dan agama yang memelihara dan menjunjung tinggi derajat ketidak-terikatan atau kebebasan dan equalitas.
Dengan menggunakan dasar pemahaman tentang pluralisme seperti di atas, kita dapat mengidentifikasi sekurang-kurangnya lima ciri utama pluralisme. Pertama, selalu berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak dan kewajiban masing-masing kelompok. Kelompok pedagang, politisi, pegawai negeri, buruh dan sebagainya akan mempertahankan posisi agar mereka dapat terus memainkan peran yang selama ini mereka merasa menjadi tanggung jawabnya.
Kedua, menghargai perbedaan dalam kebersamaan. Masyarakat yang benar-benar memiliki karakteristik plural meyakini bahwa masing-masing pihak berada dalam posisi yang sama. Mereka meyakini bahwa tidak ada kelompok masyarakat yang unggul dari kelompok masyarakat lain dalam berbagai hal. Sebagai warga Negara, mereka mempunyai hak, kedudukan, kewajiban, dan tanggung jawab yang sama. Perbedaan yang ada bukan dipahami sebagai ancaman terhadap eksistensi suatu kelompok.
Ketiga, pluralisme menunjukkan kepada wahana untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan berkompetisi secara jujur, terbuka, dan adil. Karakteristik ini berkaitan dengan upaya menghilangkan pendapat bahwa dalam kehidupan bermasyarakat ada kelompok ordinate yang mendominasi kelompok subordinate, kelompok mayoritas merasa lebih unggul dari kelompok minoritas.
Keempat, pluralisme harus didudukkan pada posisi yang proporsional. Ini berarti bahwa pluralisme dicirikan oleh pandangan-pandangan yang berbeda yang nampak menjadi daya dorong untuk mendinamisasi kehidupan bermasyarakat, dan bukan mekanisme untuk menghancurkan satu kelompok terhadap kelompok lain. Dengan demikian pluralisme ada pada posisi yang netral, tidak memihak, dan objektif.
Kelima, menunjukkan adanya perasaan kepemilikan bersama, untuk kepentingan bersama dan diupayakan bersama. Karakteristik semacam ini pada hakikatnya merupakan puncak dan kesadaran bahwa pluralisme sebenarnya merupakan manifestasi jati diri kita.
2. Pluralisme Agama di Indonesia : Suatu Keniscayaan
Dilihat dari hampir seluruh sudut pandang geologis, historis, dan budaya Indonesia adalah kompleks. Oleh karena itu, bukan tidak beralasan semboyan Negara, “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda tapi tetap satu), dicanangkan oleh para pendiri Negara Indonesia untuk menekankan keberagaman etnik dan kebersatuannya. Walaupun ada perbedaan etnik yang meliputi lebih dari 250 bahasa daerah, rakyat Indonesia disatukan oleh bahasa utama, yaitu bahasa Indonesia. Banyak agama/kepercayaan religius yang dianut oleh rakyat Indonesia. Agama-agama ini mencakup sebagian besar agama-agama yang ada di dunia saat ini. Sekitar delapan puluh lima persen penduduk memeluk agama Islam, dan sisanya yang lima belas persen terbagi dalam agama Hindu, Budha, dan Kristen, serta lainnya.
Kenyataan bahwa Indonesia senantiasa bersikap reseptif terhadap ide-ide asing dan ramah terhadap peradaban asing, membuatnya memiliki pola religius yang unik. Seperti kita ketahui, Islam bukanlah merupakan agama pertama yang masuk dan berkembang subur di wilayah ini. Jauh sebelumnya telah berkembang Animisme dan Dinamisme. Kemudian berkembang Hinduisme dan Budhisme yang terjalin erat dalam perkembangan kerajaan-kerajaan awal di negeri ini. Setelah sekitar satu milenium, dominasi Hindu-Budha, kebudayaan Islam menyebar di hampir seluruh Indonesia. Tahap selanjutnya datang agama Katholik dan Kristen.
Kalau kita lacak di Indonesia ternyata banyak sekali agama baik yang masuk kategori agama besar maupun agama lokal. Menurut tulisan Nur Khalik Ridwan, multiagama yang ada di Indonesia tidak hanya lima agama resmi yang diakui oleh Pemerintah (dalam hal ini Departemen Agama) saja, tetapi ternyata cukup banyak. Ada agama-agama yang kemudian disebut agama lokal, bahkan agama formal besar yang lain di luar yang lima.
Untuk agama Yahudi misalnya, di daerah Surabaya, telah ada komunitas pemeluk agama Yahudi secara sembunyi-sembunyi. Pemeluk agama Yahudi di Surabaya sudah turun temurun sejak abad ke 18 M. Pasang surut pemeluk agama Yahudi di Surabaya ini terjadi seiring dnegan perjalanan bangsa yang cenderung diskriminatif atas agama-agama selain lima agama di Indonesia (Islam, Katholik, Protestan, Budha, dan Hindu). Sekarang ini, pemeluk agama Yahudi masih ada di Surabaya, dan mereka mengajarkan tradisi-tradisi Yahudi kepada anak-anak mereka.
Selain Yahudi, agama Baha’i juga telah memiliki komunitas. Beberapa aktivisnya di Jakarta bahkan telah ikut aktif dalam menggagas agama dan perdamaian. Bahkan, ketua badan eksekutif ICRP di Jakarta, pernah dipegang seorang yang beragama Baha’i.
Di luar komunitas agama Yahudi dan Baha’i ini, masih ada agama-agama local di bumi Indonesia. Misalnya di Gunung Kidul, sebagaimana diinformasikan oleh Darmaningtyas ketika meneliti fenomena bunuh diri di Gunung Kidul, ada hal menarik yang ditemukan. Menurut penemuan Darmaningtyas, di Gunung Kidul ada agama yang bernama Boda (bukan Budha) yang dipeluk oleh orang-orang tua Gunung Kidul yang juga memiliki ritual sacral dan mengakui adanya Tuhan. Agama ini hampir punah akibat kristenisasi dan islamisasi yang dilakukan oleh kalangan agama besar dan juga karena diskriminasi Negara.
Selain hal di atas, menurut catatan yang diberikan oleh Rahmat Subagya ketika meneliti Katholik dan Kebatinan, tercatat ada banyak sekali agama-agama lokal di bumi Indonesia. Misalnya di daerah Surakarta, kelompok-kelompok agama local di Jawa sebagian mendirikan Paguyuban Ngesti Tunggal (PANGESTU) pada tahun 1949. Sedangkan sebagian agama-agama lokal lain di Jawa dan luar Jawa pada tahun 1955 mendirikan Badan Konggres Kebatinan Seluruh Indonesia (BKKSI) yang diketuai Mr. Wongsonegoro, dan tahun 1973 sudah memiliki 113 cabang. Bahkan, Depag tahun 1953 mencatat ada 350 agama baru di Indonesia. Pada tahun 1968, kelompok-kelompok agama lokal di seluruh Indonesia telah mendirikan Paguyuban Ulah Kebatinan Seluruh Indonesia (PUKSI).
Jadi, adanya agama-agama yang ada di Indonesia tidak hanya terbatas pada Islam, Katholik, Budha, Hindu, Protestan, dan Konghucu, tetapi juga masih ada yang lain, sebagaimana yang telah disebutkan yang merupakan hal yang faktual. Kita ketahui pula banyak agama-agama baru yang bermunculan pada akhir-akhir ini.
III. Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
1. Respon terhadap Pluralisme Agama
Perbincangan seputar isu pluralisme keagamaan di tanah air ini, lebih-lebih dnegan semakin sering terjadinya kasus konflik antar anggota masyarakat yang diduga dipicu oleh unsur SARA, begitu marak. Isu pluralisme keagamaan yang berkembang, apabila kita cermati setidaknya dapat kita rangkum dalam dua poin : pertama, pentingnya mengembangkan sikap toleransi/sikap saling menghormati dan menghargai terhadap perbedaan dalam beragama; dan kedua, perlunya pengakuan seseorang terhadap kebenaran agama lain, di luar agama yang dipeluk. Menurut sebagian pendapat, bahwa tidak ada agama yang benar secara absolute, tetapi yang ada adalah kebenaran yang relative (relativisme teologis).
Menanggapi isu pluralisme keagamaan seperti itu, harus bersikap hati-hati. Terhadap isu pertama memang kita harus menerima dan mendukungnya karena dalam agama kita (Islam) juga ada ajaran ke arah sana. Hal ini dapat kita lihat misalnya dalam QS. Al-Kafirun, QS. Al-Baqarah ayat 256, yang secara tegas mengajarkan kepada kita untuk bersikap toleran dan menghormati serta menghargai pemeluk agama lain serta member kebebasan bagi mereka untuk menjalankan keagamaan sesuai dengan keyakinannya.
Sedang terhadap isu yang kedua, kita harus berhati-hati jangan begitu saja menerima gagasan semacam itu. Dalam hal ini perlu kita perhatikan pernyataan Muhaimin, yaitu bahwa klaim kebenaran bagi setiap agama adalah sangat absah adanya, karena tanpa klaim tersebut, maka agama sebagai sistem kehidupan tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang cukup menarik bagi pengikutnya. Selain itu, agama mempunyai asumsi dasar perlunya manusia mempunyai pegangan hidup yang tidak berubah-ubah dan stabil. Karena itu setiap pemeluk suatu agama akan berusaha memposisikan diri sebagai pelaku agamanya yang loyal, memiliki personal commitment (keterikatan diri) terhadap ajaran agamanya, memiliki semangat dedikasi dan bahkan berjuang, serta rela berkurban untuk agamanya kalau memang diperlukan.
Di samping itu, Adian Husaini menyatakan, bahwa pengembangan “relativisme teologis” sebenarnya membawa dampak yang sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Teologi ini mengajak penganutnya untuk “tidak meyakini” kebenaran agamanya dan berpangkal pada keimanan yang abstrak dan kabur. Ujungnya adalah pengingkaran kepada kebenaran “wahyu dan kenabian” serta menyerahkan kebenaran kepada “nurani” manusia yang serba nisbi dan tidak jelas parameter kebenarannya.
Faktanya, konsep teologis masing-masing agama seringkali begitu jauh bahkan bertabrakan. Islam, misalnya, menolak konsep Trinitas Kristen dan secara tegas menyebut penganut Trinitas sebagai kaum “kafir”. Begitulah, konsep ketuhanan Yesus ditolak keras oleh Islam. “Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, Sesungguhnya Allah ialah Al Masih, putra Maryam…” (Al-Maidah : 72). Pada ayat lain dikatakan : “Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan; bahwasanya Allah adalah satu dari yang tiga…” (Al-Maidah : 73)
Teologi Islam dengan tegas menyatakan bahwa agama yang benar dan diakui Allah adalah Islam. Surat Ali Imran ayat 19 menegaskan bahwa, “Sesungguhnya, agama (yang diridhai) Allah hanyalah Islam…”. Sedangkan ayat 85 menyatakan, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.”
Pada tataran teologis, keyakinan akan “kebenaran satu-satunya” pada agama yang dianutnya justru diperlukan. Keyakinan itu pun dalam konsepsi teologis Islam harus tidak disertai dengan keraguan (laa raiba fiihi). Masuknya unsur keraguan terhadap kebenaran teologis Islam dikategorikan sebagai “syirik” (kotor atau bercampur). Dalam urusan akidah, teologi Islam justru mensyaratkan “kebenaran dan keyakinan mutlak.” Karena itu, banyak ulama mensyaratkan : dalil-dalil dalam akidah haruslah bersifat pasti atau mutlak kebenarannya, baik dari sudut sumber (wurud) maupun maknanya (dalalah).
2. Pengembangan Pendidikan Agama Islam dalam Era Pluralisme Agama
Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah di Indonesia sampai sekarang diakui memang masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan terutama kalau dikaitkan dengan pluralisme beragama. Haidar Baqir di dalam SKH Kompas menyatakan bahwa pendidikan agama kita tak lebih sebuah formalitas belaka, yang tidak “berbekas” pada anak didik. Pendidikan agama kita saat ini masih berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistic, dan legal formal. Ada survey yang menunjukkan peningkatan signifikan dalam kesalihan-kesalihan ritual. Cara berpakaian ala muslim (misal; memakai jilbab) mengalami perkembangan. Model dan pemakaiannya semakin terlihat lebih banyak di jalanan. Melonjaknya arus yang menunaikan haji dan umroh, dan makin tingginya laju islamisasi di berbagai bidang –termasuk makin besarnya minat orang terhadap berbagai barang konsumsi dan aksesoris yang menampilkan citra Islam-, makin berkembangnya industri buku dan produk-produk informasi keislaman. Kita cenderung puas dengan mengenakan simbol-simbol keagamaan. Penghayatan keagamaan kita cenderung berpusat pada pelaksanaan ritual.
Kelemahan lain pendidikan agama adalah hanya terfokus pada ranah kognitif (intelektual-pengetahuan), sehingga ukuran keberhasilan anak didik dinilai ketika mampu menghafal, menguasai materi pendidikan, bukan bagaimana nilai-nilai pendidikan agama seperti keadilan, menghormati, tasamuh, dan silaturahim, dihayati (mencakup emosi) sungguh-sungguh dan kemudian dipraktikkan (psikomotorik). Haidar Baqir menggugat pendidikan agama yang tidak mencakup dimensi psikomotorik dan afektif. Pendidikan agama yang menekankan aspek kognitif saja mengakibatkan anak didik tidak menjadi manusia yang tawadlu’, manusia yang salih secara individu dan sosial. Akibat dari pendidikan agama seperti itu sekalipun negeri ini dikatakan sebagai negeri religius, ternyata korupsinya nomor wahid.
Hal senada dengan pendapat di atas, menurut Musa Asy’ari, realitas pendidikan agama yang diberikan di sekolah, ternyata masih bersifat doktrinal, monolog, dan dipenuhi muatan formalitas yang cenderung menolak realitas plural dalam keagamaan. Selain itu, penilaiannya cenderung bias, karena tolok ukurnya yang tidak jelas apakah pada penguasaan formal ajaran keagamaan sebagai sebuah doktrin, atau lebih lagi pada realitas kesalihan sosial sebagai manifestasi dari iman seseorang yang beragama.
Inilah realitas pendidikan agama kita di sekolah-sekolah yang sedang diharapkan dapat memberikan kontribusinya terhadap perdamaian dan kerukunan agama di Indonesia. Harapan ini akan mustahil apabila kita tidak mampu mengubah arah dan watak pendidikan agama kita saat ini.
Pluralitas adalah anugerah Illahi yang harus dirangkai menjadi simfoni keindahan yang harmonis. Mustahil kita hidup dalam satu kesatuan yang seragam. Anak didik harus dibuka mata dan wawasannya untuk melihat sekian perbedaan yang ada di sekitarnya. Inilah realitas bangsa yang multi-kultural dan multi-religius. Kekeyaan ini harus dijaga menjadi keragaman di bawah semangat kebersamaan, bukan penyatuan (agama).
Untuk menggapai hal tersebut kita membutuhkan instrument pendidikan yang mampu mengarahkan kemajemukan ini. Pendidikan berwawasan kemajemukan (pluralisme) adalah salah satu jawabannya. Pendidikan berwawasan kemajemukan adalah pendidikan yang mampu mengorientasikan peserta didik untuk melihat, menyapa, dan menghormati perbedaan.
Oleh karena itu, paling tidak metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum harus memenuhi tiga hal. Pertama, membongkar kurikulum yang eksklusif doktriner dengan kurikulum yang pluralis yang mampu membebaskan peserta didik keluar dari pandangan eksklusif.
Kedua, porsi moralitas dan etika universal harus diberikan secara lebih proporsional dengan pengajaran ritualistik-formalis. Sebab, dititik inilah setiap agama dapat bertemu dalam satu tujuan. Karena mustahil agama mengajak penganutnya untuk berbuat jelek terhadap orang lain. Harapannya sejak dini peserta didik telah diperkenalkan untuk bekerjasama dan berinteraksi tanpa kenal batas agama. Jadi, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekolah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertical (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah pendidikan seperti itu diharapkan, anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.
Ketiga, di dalam kurikulum nasional, terutama untuk level pendidikan menengah atas hingga perguruan tinggi, perlu diperkenalkan suatu mata pelajaran/mata kuliah yang mengulas tentang ajaran-ajaran agama lain. Sehingga dengan demikian anak didik akan memiliki wawasan yang cukup untuk menghargai/menghormati agama lain. Ketidakmengertian terhadap agama-agama lain sering kali menimbulkan asumsi miring bahkan negative terhadap agama lain. Mengajarkan mata pelajaran sejarah agama-agama, perbandingan agama ataupun ilmu agama menjadi satu keniscayaan bagi peserta didik. Pada era 30 sampai 40-an pola seperti ini pernah dilakukan di sekolah menengah di Indonesia. Harapannya peserta didik akan diberikan wawasan tentang agama lain sehingga tidak terjebak pada pandangan yang sinis dan minor terhadap agama lain.
IV. Penutup
Berdasar apa yang telah dipaparkan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Pertama, sikap pluralisme yang perlu kita kembangkan dalam menghadapi pluralisme beragama bukanlah pluralisme yang mengarah kepada pengembangan relativisme teologis, tetapi pluralisme konfensional, yakni meyakini kebenaran agamanya secara mantap tanpa ragu-ragu tetapi bersamaan itu dikembangkan sikap saling menghargai, menghormati keyakinan/agama lain.
Kedua, pelaksanaan pendidikan agama Islam dalam konteks pluralisme beragama diakui memang masih mengandung kelemahan-kelemahan. Kelemahan tersebut di antaranya adalah pendidikan agama masih terjebak pada hal-hal yang bersifat ritualistik, formalitas, simbolik, dan kurang mengakomodir adanya realitas keberagaman beragama. Di samping itu, pendidikan agama juga masih terbatas pada pengembangan aspek kesalihan sosial. Oleh karena itu, arah pendidikan agama (termasuk PAI) di sekoah ke depan perlu dirubah. Kalau selama ini lebih menekankan pada aspek kesalihan vertikal (aspek ritual), maka harus diperbaharui dengan menekankan baik aspek kesalihan vertical maupun horizontal. Dengan arah seperti itu diharapkan anak didik di samping tetap akan memiliki keimanan yang benar sesuai dengan agamanya, juga memiliki sikap toleransi yang tinggi seperti yang dituntut oleh kondisi masyarakat yang plural.

--------------------------


Daftar Pustaka

Adian Husaini, “Paradigma Munafik : Tanggapan untuk Mohammad Ali” dalam www. Al-Islam.id
Akbar S. Ahmed, Posmodernism and Islam : Predicament and Promise, London : Roulledge, 1992
Alwi Shihab, “Pertemuan Islam-Kristen di Indonesia : Sebuah Tinjauan Historis”, dalam Islam Inklusif, Bandung : Mizan, 1999
Burhanuddin Daya, Agama Dialogis: Merenda Dialektika Idealita dan Realita Hubungan Antaragama, Yogyakarta : Mataram-Minang Lintas Budaya, 2004
Haidar Baqir, Kompas, 28 Februari 2003
Imam Moedjono, “Peran Pendidikan Islam dalam Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama”, dalam Pendidikan Islam dalam Peradaban Industrial, Yogyakarta : Aditya Media, 1997
John M. Echols dan Hasan Shadly, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1992
Muhaimin, Arah Baru Pengembangan Pendidikan Islam : Pemberdayaan, Pengembangan Kurikulum hingga Redefinisi Islamisasi Pengetahuan, Bandung : Nuansa, 2003
Musa Asy’ari, Dialektika Agama untuk Pembebasan Spiritual, Yogyakarta : Lesfi, 2002
---------, Kompas, 29 Maret 2003
Nur Khalik Ridwan, “Dalih Agama untuk Kekerasan”, dalam Abdul Qodir Shalih, Agama Kekarasan, Yogyakarta : Prismasophie, 2003
Onghokham, “Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah”, dalam Elga Sarapung dkk (Ed), Dialog: Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta : Interfidei, 2004
Siti Nadroh, Wacana Keagamaan dan Politik Nurcholis Madjid, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar