Rabu, 19 Januari 2011

Value-Free

Ada sebuah pernyataan dari sebagian masyarakat, yang saya kira perlu dicermati dan alangkah lebih baiknya dijelaskan -mungkin mereka kurang begitu memahaminya-. Pernyataan ini terkait dengan moralitas dan prestasi anak didik. Secara tidak langsung saya uraikan begini;
ketika ada seorang siswa memiliki moralitas yang kurang baik -atau akhlakul madzmumah-, maka secara spontan mereka (masyakat) mengatakan "anak itu kok perilakunya jelek, suka membentak-bentak orang tua, suka mencuri, suka berkata jorok sih... siapa sih guru agamanya? siapa sih guru ngajinya?". Sebaliknya, ketika ada seorang anak yang pandai dan berprestasi seringkali masyarakat mengatakan: "si anu tuh kok pinter banget ya.. siapa sih orang tuanya?"
Terlepas dari pernyataan yang kedua, kita bisa menelaah pada pernyataan pertama di mana yang sering kena getahnya adalah para pendidik yang mengampu mata pelajaran yang kebetulan ada embel-embelnya "agama" atau "islam" atau mungkin juga agama lain. Pernyataan di atas -dipandang dari sudut pendidikan- bisa juga karena kita seringkali (menganggap) kewajiban menyampaikan dan mengajarkan nilai-nilai moralitas itu adalah guru ngaji, atau guru agama. Di sisi lain, guru mata pelajaran selain guru agama tidak berkewajiban membentuk moralitas anak atau ikut menyampaikan nilai-nilai moral kepada anak didik. Saya kira inilah yang kemudian menjadikan pendidikan kita selama ini tergolong pendidikan sekuler, dimana yang tidak bebas nilai itu hanya pendidikan agama saja, sedangkan pendidikan umum lainnya bebas nilai.
Untuk menjembatani hal semacam itu, maka akan lebih baik bila kita memiliki pandangan bahwa setiap ilmu itu tidak ada yang bebas nilai (value-free). Pendidikan moral (nilai-nilai) tidak hanya dibebankan pada pendidikan agama saja, akan tetapi pelajaran lain pun memiliki andil di dalamnya. Bisa saja yang disampaikan di kelas itu pelajaran Biologi, akan tetapi guru harus mampu menanamkan nilai relegiusitas pada siswa dengan menumbuhkan perasaan takjub (tafakkur) pada kebesaran Ilahi. misal saja, ketika guru biologi menerangkan bab pembentukan janin yang kemudian menjadi manusia utuh yang bisa berjalan, berbicara, makan, minum dan lain sebagainya. Seorang guru tersebut harus mampu mengarahkan pada peserta didik akan kebesaran Tuhan dalam menciptakan dari setetes air mani menjadi bentuk manusia utuh seperti itu. Di sinilah value itu di sampaikan. Pokok persoalan di sini terletak pada esensi nilai yang akan disampaikan bukan pada media penyampainya. Semua ilmu dapat menyampaikan nilai-nilai yang diharapkan, hanya saja mungkin dengan menggunakan pendekatan yang berbeda di sesuaikan dengan bidang ilmu masing-masing.
Begitu juga dalam pelajaran atau ilmu-ilmu lain, semuanya tidak ada yang bebas nilai, seperti pandangan sekulerisme -yang mengatakan ilmu itu bebas nilai-.
Oleh karena itu saya kira, mulai dari sekarang pikiran yang berbau sekulerisme semacam yang disampaikan di atas tersebut betul-betul harus kita rubah menjadi paradigma yang lebih luas, yakni integralisme dalam ilmu. Apapun bidang keilmuan yang diajarkan di situlah terletak nilai (value) yang perlu diajarkan kepada peserta didik/siswa. Jangan sampai hanya dibebankan pada guru PAI atau lebih luasnya tokoh agama saja yang memiliki kewajiban menyampaikan nilai kemuliaan. Siapapun kita, bidang kajian apapun yang kita dalami, kita semua memiliki kewajiban menyampaikan nilai (moralitas) kepada si penerima. wallahu'alam bish-showab

tulisan yang sedikit dan -menurut penulis- banyak pengulangan di sana sini ini semoga bermanfaat. amien. jogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar